Jeal duduk di kursi tengah mobil papanya, tepat di belakang papanya yang mengendalikan kemudi. Ia tampak tengah senyam-senyum sambil bertukar pesan dengan seseorang di hp-nya. Mamanya menoleh dengan tatapan tidak suka. "Cinta itu bukan cuma soal perasaan, Jeal. Tapi, soal hidup dan kehidupan!" Kalimat itu keluar dari mulut mamanya dengan penuh penekanan dan intonasi tidak suka. Mimik wajah Jeal berubah drastis setelah mendengar ucapan sang mama. Senyum bahagianya sirna tak bersisa.
"Mama ... kenapa sih, Ma?" bela papa Jeal.
"Anakmu itu harus dikasih tahu. Dia juga perlu masa depan, bukan cuma senyam-senyum sama si pelukis gila itu!" seru mama Jeal semakin meradang.
"Emang kenapa kalo dia pelukis, Ma? Pelukis juga manusia," bantah Jeal, berusaha dengan nada selembut mungkin.
"Pelukis juga bisa sukses, Ma. Jangan kolot deh." Lagi-lagi Jeal mendapat belaan dari papanya.
"Tahu! Tapi, mana? Anak itu kayak nggak ada usahanya mau sukses. Banyak kok pelukis yang idealis, tapi tetap realistis. Lukisannya terjual ratusan juta. Nggak usah deh ratusan juta, dia kayak Dika aja, udah cukup buat Mama." Mamanya masih tak mau kalah.Â
"Ya jangan samain Kak Dika sama Defan, Ma. Mama mau punya menantu genit begitu sama perempuan?" jawab Jeal dengan nada sedikit meninggi. Jeal juga manusia biasa, ada rasa tidak suka saat kekasihnya begitu dilucuti oleh mamanya sendiri meski Defan tak pernah mendengar kalimat-kalimat menyakitkan ini.Â
"Minimal Dika itu konsisten merealistiskan seninya. Nggak kayak Defan yang kayak nggak mau membangun masa depan."Â
"Ma, Defan juga kerja. Dia bisa hidup dari lukisannya."
"Iya, cuma dia 'kan? Kalo nanti nikah sama kamu? Bisa? Belum anak butuh susu, butuh sekolah. Apa sih yang kamu harapkan dari laki-laki yang nggak mau tahu sama masa depannya kayak gitu?" Ucapan mamanya kali ini begitu melukai hati Jeal, ia menyematkan handsfree dan memasang lagu dengan volume tertinggi dari tripod-nya. Ia tak lagi bisa mendengar perdebatan mama dan papanya, yang mungkin tentang Jeal dan Defan. Jeal menutup matanya, berharap bisa membendung air matanya tapi gagal. Air mata itu mengalir juga, bahkan begitu derasnya dari mata Jeal yang masih terpejam.Â