Mentari belum terjaga, embun masih menusuk hingga ke tulang-tulang. Namun Ibu Sutinah sudah keluar dari gubuk tuanya. Ia menjinjing sapu tuanya untuk menggenggam segelintir harapan dan menjalin asa. Kedua anaknya masih terlelap, mereka masih butuh istirahat untuk berangkat ke sekolah. Ia mulai menyapu pinggiran-pinggiran jalan yang tidak jauh dari rumahnya. Beberapa temannya juga sudah berkumpul di tempat yang sama.
Sebuah topi yang ditutupi sapu tangan panjang menutupi kepalanya. Baju seragam kebersihan kota sudah membalut tubuhnya. Tak ada waktu untuk bersenda gurau baginya, ia terus dan terus menyapu hingga ke sudut-sudut kota, sampah-sampah dipungutnya, dipilah-pilahnya mana yang bisa menambah penghasilannya. Sesekali diusapnya peluh yang mengalir di dahinya, bahkan dinginnya embun pagi sudah tak dirasakannya lagi.
Kebahagiaannya hanyalah melihat anaknya masih bisa bersekolah seperti anak-anak lainnya. Setidaknya ia juga masih bisa mendidik anak lelakinya untuk menjadi laki-laki yang tangguh, dan bertanggung jawab. Bahkan menumbuhkan rasa ingin sukses dan mau bekerja keras dalam diri kedua anaknya. Ada banyak orang yang memiliki segalanya tapi tidak banyak yang memiliki kemauan untuk menggapai kesuksesan mereka. Kalau belum ada hari ini, barangkali masih ada esok dan nanti.
****
Langit jingga menghiasi angkasa raya. Jalanan dipenuhi kendaraan-kendaraan orang-orang yang ingin segera tiba di rumah mereka. Namun berbeda dengan Sunia, anak perempuan Ibu Sutinah satu-satunya ini masih sibuk dengan aktivitasnya. Ia tampak giat membersihkan piring-piring yang sudah memenuhi meja yang digunakan tempat cuci piring ini. Sisa-sisa makanan disisihkannya pada sebuah plastik hitam besar, kemudian dicucinya piring itu. Ya, Sunia bekerja sebagai gadis pencuci piring di sebuah rumah makan yang tidak jauh dari rumahnya.
Sepulang sekolah Sunia membereskan gubuk tua mereka. Ketika jam weker mereka menunjukkan pukul 13.45 WIB, Sunia bergegas berangkat menuju rumah makan tempatnya bekerja. Di tempat ini ia menggantungkan segenggam harapan untuk bisa menyicil uang bukunya pada tahun ajaran baru nanti. Ada banyak keperluan sekolahnya yang tidak bisa dipenuhi sang ibu, tapi itu tidak dijadikannya alasan untuk menyalahkan ibunya. Ia rela menjadi gadis pencuci piring demi memperjuangkan pendidikannya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 20.30 WIB, Sunia segera membereskan piring yang sudah dicucinya. Meja-meja penyimpanan piring yang dibasahi air dilapnya hingga kering, beberapa meja pelanggan yang sudah kosong pun dilapnya juga. "Bu, saya sudah selesai." ujar Sunia pada majikannya. "Oh, sudah ya? Makasih banyak ya, Sunia. Ini upah kamu, ini ada sedikit makanan untuk kamu bawa pulang." ujar majikannya menyerahkan selembar uang dua puluh ribu rupiah dan sebungkus makanan.
"Terima kasih, Bu. Saya pamit pulang dulu." ujar Sunia santun sembari meninggalkan warung nasi tempatnya bekerja. "Iya, hati-hati ya, Nak." jawab majikannya. Lima belas menit berjalan kaki akhirnya Sunia tiba di depan pintu gubuk tua mereka. "Kak Supri, Sunia pulang." panggil Sunia setengah berteriak. "Iya, sebentar. Kakak lagi di belakang." jawab Supri jauh dari balik pintu. Tak sampai lima menit kemudian Supri sudah tiba di depan wajah Sunia.
"Kakak gak masak kan? Tadi aku dikasih lauk sama bos-ku." ucap Sunia menyodorkan bungkusan yang dibawanya. "Belum. Kakak juga belum makan, nasinya baru masak." ujar Supri membuka bungkusan yang dibawa adiknya. "Kita tunggu ibu dulu ya, Kak. Barang kali sebentar lagi ibu pulang." ucap Sunia sambil meraih celengan ayamnya dan memasukkan uang dua puluh ribu rupiah yang diterimanya dari majikannya ke dalam celengan ayam itu. Supri melihat Sunia dengan penuh rasa cinta yang lahir dari lubuk hatinya pada adik sematawayangnya ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H