Mohon tunggu...
Maria Elly Rusfendy Saragih
Maria Elly Rusfendy Saragih Mohon Tunggu... Penulis - Pemimpin Redaksi

Menulis buku, memasak, membaca, menonton, menggabut (Hehehe ...)

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Sapu Tua - Kenyataan Hidup #2

3 Juli 2023   17:16 Diperbarui: 3 Juli 2023   17:29 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok Maria Elly Rusfendy Saragih

        

Barang-barang daur ulang itu akan dijualnya kalau sudah pada jumlah yang mencukupi atau ketika ia membutuhkan uang. Gajinya per-bulan tidak akan bisa diharapkan untuk memenuhi kebutuhan sekolah kedua anaknya, Supri dan Sunia. Sunia yang masih duduk di bangku kelas 2 SMP memang masih bisa bersekolah gratis dengan dana BOS pemerintah daerah tapi bagaimana dengan Supri yang sudah duduk di bangku kelas 3 SMA? Mungkin bisa dikatakan tidak ada bantuan lain dari pemerintah selain beasiswa.

Uang Rp. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) yang diterimanya hanya cukup untuk biaya mereka sehari-hari, tagihan listrik saja dan ongkos berangkat sekolah kedua anaknya.  Barang-barang rongsokan inilah yang menjadi lilin kecil ditengah kegelapan harapan sekolah Supri.

Sejak awal 2006, hidup mereka mulai berubah 180 derajat. Ketika peristiwa tragis merenggut nyawa ayah kedua anak Ibu Sutinah. Waktu itu suaminya bekerja sebagai seorang pegawai kantoran di sebuah perusahaan yang cukup terkenal di kota ini. Kehidupan mereka masih sangat layak dari pada kondisi saat ini.

Mentari masih bersinar menghangatkan sore itu, ketika suaminya pulang dari kantor. "Bu, tolong masak air panas buat air mandi Ayah, ya," pinta suaminya sembari membaringkan tubuh di sofa ruang tamu mereka. Tidak biasanya Pak Surya meminta Ibu Sutinah untuk memasak air panas untuk air mandinya. Biasanya ia lebih memilih mandi air dingin meskipun hari sudah larut malam. "Ada apa? Ayah sakit?" tanya Ibu Sutinah lembut sambil menyodorkan segelas air hangat. "Tidak. Ayah hanya ingin mandi air hangat. Barangkali akan lebih segar sore ini," ujar Pak Surya menyembunyikan rasa sakitnya.

Tanpa banyak tanya Ibu Sutinah menjalankan perintah suaminya. Ia menukar air bak menjadi air hangat untuk mandi suaminya. Ia lantas mengambilkan handuk bersih dan pakaian ganti sebelum memanggil Pak Surya. "Ayah, airnya sudah siap. Sudah ada handuk dan baju ganti juga," ujar Ibu Sutinah membantu Pak Surya berdiri dari tempat duduknya. "Makasih, Bu," jawab Pak Surya. Setelah melangkahkan kakinya beberapa langkah tiba-tiba Pak Surya nyaris rubuh. "Eh, Yah," ucap Ibu Sutinah bergegas memapah Pak Surya kembali ke sofa.

"Ayah kalau sakit jangan dipaksakan," ujar Ibu Sutinah mengusap wajah suaminya dengan sapu tangan yang diambil dari sakunya.

"Bu, tolong papah Ayah ke kamar mandi ya," pinta Pak Surya pada istrinya.

Ibu Sutinah memapah suaminya ke kamar mandi bahkan ia membantu suaminya mandi dan mengganti pakaiannya. Setelah memandikan Pak Surya, ia menghidangkan sup hangat sebagai santapan malam. Hingga hari menjelang malam, Pak Surya semakin melemah, wajahnya tampak lesu dan pucat. Kedua anaknya ikut menemani Pak Surya yang terbaring lemah. "Pak, kita ke rumah sakit ya." ajak Ibu Sutinah cemas. Beberapa kali ia terus menolak permintaan istrinya hingga harus dilarikan ke rumah sakit setelah tidak sadarkan diri lagi. Isak tangis mengiringi keberangkatan Pak Surya menuju ruang perawatan intensif-nya di ICU.

Keesokan harinya Ibu Sutinah menerima vonis dokter tentang penyakit suaminya. Anemia Hemolitik sudah menggerogoti tubuhnya sejak setahun belakangan ini. Bahkan sudah kecil kemungkinan untuk penyembuhannya namun hasratnya tak urung untuk berusaha menyembuhkan suaminya. Penyembuhan dengan X-Ray, kemotherapy, donor darah dan perawatan tradisional dilakukannya demi kesembuhan Pak Surya. Sesekali kondisi Pak Surya mulai membaik namun beberapa waktu kemudian menurun lagi.

Biaya yang begitu besar belum membuat mereka gentar, meski kini sudah tidak ada lagi penghasilan bulanan yang biasa dihasilkan Pak Surya. Mulai dari mobil pribadi, sepeda motor pribadi, rumah pribadi atas nama Ibu Sutinah, hingga tabungan mereka terkuras untuk pengobatan itu. Hingga klimaksnya tahun 2008, Ibu Sutinah sudah tidak memiliki cukup dana lagi untuk menopang pengobatan ayah kedua anaknya. Tepat 17 Agustus 2008, Pak Surya meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Begitupun mereka harus keluar dari rumah pribadi atas nama Pak Surya yang merupakan harta mereka satu-satunya yang masih tersisa.

Rumah yang memang terlalu besar untuk dihuni dua orang anak dan seorang istri yang ditinggalkan Pak Surya ini. Rencananya mereka akan mengganti dengan rumah yang lebih kecil dan lebih murah. Sebagian uangnya akan digunakan untuk membayar pinjaman uang untuk biaya mereka belakangan sebelum Pak Surya meninggal. Sisanya untuk modal jualan makanan di depan rumah baru mereka. Namun itupun tidak berlangsung lama, dua tahun kemudian rumah ini juga terjual untuk biaya mereka. Kejamnya ibu kota membuat mereka harus tinggal di gubuk tua dan mengadu nasib di balik kelamnya kerlap-kerlip malam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun