Mohon tunggu...
Maria Ayu
Maria Ayu Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Everything is art Email : ayudivayulita@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Turah", Lukisan Duka Nestapa Kaum Marginal

12 Oktober 2020   09:08 Diperbarui: 13 Oktober 2020   18:47 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika saya berkirim pesan dengan salah satu rekan baik saya, Kalis, ia memberikan rekomendasi film untuk saya. 

Walaupun hanya potongan adegan saja yang ia tonton, ia langsung memberitahu saya untuk menontonnya. "Wajib nonton film ini. Sesuai selera Mbak," katanya. Kebetulan, ia mempunyai selera film yang kurang lebih sama dengan saya.

Kemudian, saya mulai penasaran dengan film tersebut. Sebagai kebiasaan, sebelum menonton, agenda saya adalah mencari informasi tentang film tersebut sebanyak-banyaknya. Saya menggali dahulu sebagai bekal pengetahuan awal saya.

Bukan berarti, saya sangat pemilih dalam hal menonton film. Tetapi, ketika film itu ingin saya ulas, saya harus memilihnya dengan kehati-hatian. Setelah, saya mencari informasi tentang film tersebut.

Bila batin saya berkata, "Wah, menarik wajib ditonton", barulah saya menikmati setiap inci alur cerita dari film tersebut.

Film apa itu? Film tersebut berangkat dari realitas yang ada di bumi pertiwi kita ini. Menjadi keprihatinan bagi bangsa dan negara Indonesia karena permasalahan tersebut tidak kunjung usai, malahan semakin hari makin menjalar ke mana-mana.

Ya, masalah kemiskinan. Mungkin di antara kita sering mengabaikannya. Kita acuh tak acuh layaknya es yang beku. Kita melihat di sekeliling kita banyak sekali orang-orang yang kesusahan, tetapi kita memilih untuk menutup mata.

Film tersebut berjudul "Turah". Film ini tayang di bioskop tahun 2017 dan disutradari Wicaksono Wisnu Legowo.

Pemeran utama dimainkan aktor Ubaidillah sebagai Turah dan Slamet Ambadari sebagai Jadag. Aktor dan aktris dari film Turah tak lain mengambil dari penduduk setempat.

Makanya, pemeran utamanya saja masih asing terdengar di telinga kita bukan? Atau bahkan, Anda tidak tahu sebelumnya film "Turah" tersebut? 

Film "Turah" mengambil latar belakang tempat yang sesuai dengan kondisi kehidupan di Kampung Tirang, Tegal, Jawa Tengah.

Tangkapan layar dari imdb.com
Tangkapan layar dari imdb.com

Secara geografis, Kampung Tirang sendiri, merupakan pulau terpencil yang dikelilingi pesisir pantai. Pulau tersebut dihuni oleh nelayan kecil. Belum tersentuh listrik. Rumah sederhana dari kayu (Arif, 2019)

Sutradara "Turah" berasal dari Tegal. Menurut saya, alasan ia menulis cerita dan kemudian cerita tersebut difilmkan, berangkat dari kegelisahan-kegelisahan ketika ia melihat kondisi di kampung halamannya. Sehingga, hatinya terketuk, dan muncullah ide untuk memfilmkan kondisi kampung halamannya.

Menurutnya, kemiskinan bukan murni berasal dari dalam diri sendiri. Kemiskinan bisa dimungkinkan terjadi karena adanya relasi kekuasaan (Tempo, 2017).

Turah dalam bahasa Jawa berarti sisa. Jika ditilik dari judulnya saja, saya pribadi sudah bisa membayangkan kira-kira bagaimana inti cerita film tersebut. Menggambarkan masyarakat yang tertinggal dari berbagai aspek kehidupan.

 Film "Turah" mendapatkan segudang prestasi di Asean International Film Festival and Award 2017, Singapore International  Film Festival 2016, Seoul International Agape Film Festival 2017, Bengaluru International Film Festival 2017 dan sebagainya ( Priyanto, 2017).

Selain itu, film Turah berhasil menembus tahap pertama proses seleksi ajang Piala Oscar 2018 dalam kategori film Berbahasa Asing Terbaik. Juga, aktor pemeran Turah dan Jadag mendapatkan penghargaan.

Film "Turah" menceritakan kondisi penduduk di Kampung Tirang di bawah tekanan kemiskinan. Masyarakat Kampung Tirang percaya bahwa mereka bertumpu untuk menyambung roda kehidupannya dengan mengabdi kepada Juragan Darso. 

Padahal, Darso bersama Pakel adalah sosok yang hanya memperalat masyarakat Kampung Tirang. Hingga Turah dan Jadag berusaha menegakkan ketidakadilan.

Namun, cara Turah dan Jadag menghadapi kondisi seperti itu berbeda. Jadag lebih memilih bersikap sebagai pemberontak untuk menyadarkan masyarakat lainnya. Nasib nahas, Jadag akhirnya mati mengenaskan di depan rumahnya dengan gantung diri.

Sedangkan, Turah sudah melihat bahwa Jadag dibunuh oleh segerombolan orang ketika malam sebelum Jadag meninggal. Di saat Turah sedang mengunjungi rumahnya, Turah langsung mengajak pergi istrinya dari Kampung Tirang. Kondisi hujat lebat pun sudah tidak dihiraukan olehnya dan istrinya.

"Turah" sangat mengangkat kearifan lokal dengan menyuguhkan dialek ciri khas orang Tegal yaitu "ngapak". Menurut saya, merupakan suatu corak yang berbeda karena belum banyak ditemukan film Indonesia yang menggunakan bahasa atau dialek daerah.

Dalam film "Turah" tercemin adanya dimensi budaya menurut Hosftede (Armina, 2002,h.206) tentang power distance yang berbicara adanya jarak kekuasaan sehingga adanya kesenjangan antara kumpulan masyarakat. Di film tersebut adalah munculnya kelas-kelas sosial.

Kecenderungan yang nampak atas kelas sosial yang terbentuk baik antara si kaya dan si miskin, ataupun ditilik dari latar belakang pendidikannya. Ini berdampak pada berpegaruhnya kontrol seseorang dalam satu kumpulan masyarakat.

Power distance tersebut tercermin dalam tokoh Darso. Ia digambarkan sebagai sosok yang berpendidikan dan kaya. Karakter tersebut tergambar dengan jelas dalam cara ia berpakaian, tutur bicara, gestur tubuh, dan sebagainya. 

Sedangkan, identitas masyarakat Kampung Tirang tergambar dengan jelas dalam cara mereka bertutur kata, berpakaian, latar tempat, hingga kebiasaan-kebiasaan yang kompleks.

High Power Distance nampak ketika masyarakat Kampung Tirang berada di zona nyaman, dan berpandangan bahwa Darso adalah sosok yang baik hati. High Power Distance berlaku ketika Darso berhasil mengendalikan seluruh masyarakat Kampung Tirang dan berhasil membuat masyarakat bergantung padanya.

Sikap masyarakat Kampung Tirang nampak dari setiap konflik-konflik kecil yang muncul sehingga munculnya perasaan  takut, pesimis yang membuat mereka terus terbelenggu dalam lingkaran kemiskinan.

Low Power Distance muncul dalam jati diri tokoh Turah dan Jadag ketika menyadari dan menyadarkan masyarakat Kampung Tirang untuk bangkit dalam keterpurukan mental hidup yang membawa ke arah optimisme untuk memerangi kemiskinan. Akibatnya, rantai relasi kekuasaan, kontrol Darson terputus.

Di sisi lain, power distance lekat dengan stereotip. Tercermin dalam film yang memunculkan bahwa masyarakat Kampung Tirang terjerat kemiskinan dan kebodohan identik dengan anak-anak yang putus sekolah, pekerjaan hanya mengandalkan fisik saja, dan sebagainya. 

Sedangkan, yang berada di atas baik tingkat pendidikan, atau harta digambarkan dalam segi pekerjaan cocok menjadi juragan.

Film "Turah" tersebut, menjadi refleksi akan angka kemiskinan yang ada di Indonesia. Kampung Tirang menjadi salah satu contoh dari sekian banyak daerah di Indonesia yang masih tertinggal, terisolasi, dan terabaikan. Kemiskinan membuat harapan akan hidupnya rendah. Hatinya ciut dan hanya memperjuangkan sisa-sisa kehidupan.

Namun, berkat diangkatnya Kampung Tirang ke dalam film "Turah", kampung tersebut menjadi ramai dikunjungi wisatawan. Diadakanlah relokasi dan pembangunan di kampung tersebut sehingga tidak hilang tenggelam diterpa asa.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun