Saat duduk di bangku SMA, aku berperan menjadi LingFeng. Peran LingFeng aku dapatkan ketika ingin mengikuti lomba  festival monolog pelajar tingkat Kabupaten Purworejo.
Seperti yang sudah aku ceritakan dalam artikelku  "Kucumbu Tubuh Indahku, Secarik Catatan Pilu Lakon Penari Lengger" bahwa naskah yang aku bawakan yaitu Lilin'98 karya Hendrik Agustian.
Lilin'98 menceritakan tokoh LingFeng yang harus menjalani sisa hidupnya dengan menderita. Ia terkurung di rumah sakit jiwa atas kelamnya masa lalu dirinya. LingFeng berumur 49 tahun. Ia adalah keturunan Tionghoa, korban kerusuhan Mei 1998.
LingFeng menjadi orang gila akibat ia diperkosa. Selain itu, ia melihat anak dan suami tercintanya meninggal.
Waktu yang cukup singkat, yaitu selama kurang lebih tiga minggu, aku mendalami karakter LingFeng. Aku terbentur peliknya tugas-tugas sekolah. Pada saat itu sekolahku sedang mempersiapkan aneka lomba.
Aku terlibat dalam  kepanitiaan tersebut sebagai sekretaris. Aku harus membagi-bagi waktu dengan baik.  Aku harus memilih mana yang menjadi prioritas kegiatan utamaku. Namun, di situlah  aku belajar mengelola waktu.
Cukup kesulitan saat pertama kali aku mendalami karakter LingFeng. Butuh observasi, brain storming bersama teman-teman satu tim, dari mulai membedah naskah, mencari referensi literasi, dan  sebagainya. Roh LingFeng sulit untuk dihadirkan dalam jiwaku.
Seminggu awal saat aku latihan ya hanya seadanya saja. Aku tidak mengucapkan kata per kata memakai rasa. Bahkan sering sekali bercanda sampai diminta untuk lari di lapangan basket sambil menyanyikan lagu dengan suara lantang. Kalau aku ingat kenangan itu, aku malu.
Padahal naskah Lilin'98 adalah kisah pilu. Bagaimana tidak? Ketika ia bersama suaminya merayakan hari ulang tahun anaknya, tiba-tiba malapetaka itu datang. Hal ini menjadi sajian adegan pertama, LingFeng menyanyikan lagu ulang tahun dan tiup lilin untuk anaknya.
Bisa tercermin dengan jelas di adegan tersebut bahwa LingFeng sangat hancur lebur ketika hari yang spesial baginya, ia dilanda kegelapan.
Dua minggu sebelum lomba, aku ingat betul ketika aku menyempatkan diri di hari Minggu untuk latihan panjang. Pelatihku sengaja memantik emosiku sedari awal mulai latihan, hingga pada akhirnya selama dua jam aku dibakar lautan api yang sulit untuk padam.
Dari latihan emosi saat itu aku mulai mengeksplorasi diri, merasakan bagaimana diriku ketika mengamuk, bersedih, senang, ketawa di bawah tekanan  luka batin yang paling dalam. Di situlah aku menemukan celah dimana aku merasa menjadi "gila".
Akhirnya aku mulai bisa menghadirkan roh LingFeng ke dalam jiwaku. Aku sangat menekuni untuk mendalami peran itu, walaupun sempat terkendala, aku merasa ragu dengan diriku sendiri. Ketika hari dimana tecnical meeting itu datang, dan ternyata Wow! diluar dugaan pesertanya membludak.
Aku menarik diri, dan berkecil hati semakin takut untuk bercita-cita sebagai pemenang. Â Terlebih, ketika para peserta lainnya antusias untuk bertanya seperti sudah dipersiapkan dengan matang. Lain halnya dengan diriku. Hanya berdiam diri bagai tungku tanpa api.
Hingga rasa pusing menyerang diriku. Sampai akhirnya aku berkata pada diri sendiri, "Ya sudahlah, yang penting totalitas, menang itu bonus".
Bom waktu semakin memuncak, terlebih ketika sudah kurang tiga hari aku belum cukup hafal naskah adegan terakhir. Padahal, itu inti dari isi naskah tersebut. Aku rasakan fase buntu di dalam diriku. Kalut, resah tidak bisa berpikir secara jernih. Sangat menganggu waktuku untuk tidur.
Aku paksakan diriku dengan sisa waktu yang ada. Dengan berbagai cara aku hafalkan naskah itu. Selama tiga hari buku catatan pelajaran penuh dengan tulisan naskah. Latihan akhir tiba di waktu malam dan di saat itulah aku mulai lupa semuanya.
Aku merasa "roh" LingFeng pergi. Aku kehilangan dia. Aku merasa kecewa sekaligus bersalah, atas ketidakseriusanku dalam membawakan karakter LingFeng tersebut.
Waktunya tiba, aku berusaha mengendalikan diri dan berdoa pada Tuhan agar semuanya berjalan senatiasa sesuai kehendak-Nya. Puji Tuhan, saat pertunjukan dimulai, aku cukup senang bisa lancar membawakan naskah tersebut.
Aku mendapatkan nomor undi dua terakhir, kemudian sudah tidak berharap apa-apa. Pengumuman pemenang datang, akhirnya ketika aku ingin beranjak pulang.
Aku sudah melangkah pergi dari deretan kursi penonton dengan wajah murung dan lesu dan berkata kepada teman-temanku "Sudah, pulang saja, gak bakal menang". Aku tidak menyadari bahwa namaku dipanggil. Sedangkan, teman-temanku langsung melonjak kegirangan saat aku mendapatkan juara 3.
Menjadi LingFeng untuk pertama kali dalam monolog itu membuat aku merasakan pergolakan batin yang sangat kuat. Â Kompleksitas yang harus dibangun atas kondisi traumatik LingFeng yang berat membuat aku kelelahan.
Di sisi lain, aku juga merasa takut kalau "roh" LingFeng tidak bisa lepas dari dalam tubuhku. Namun, di sisi lain aku merasa menikmati ketika menjadi LingFeng.
LingFeng mengajariku banyak hal. LingFeng membuat aku menambah wawasan tentang kronologi secara detail kejadian yang terjadi saat tragedi 1998. Awal mulanya, hanya sekadar tahu karena muncul di pelajaran sejarah.
Kemudian, LingFeng juga mengasah kepekaanku terhadap orang-orang yang mengalami trauma seperti dirinya. Hal ini berdampak besar dalam perubahan diriku, aku menjadi  didekatkan dengan orang-orang di sekelilingku yang mempunyai kisah masa lalu dengan pilu, di situ aku menjadi sosok pendengar yang bisa memahami.
Selain itu, LingFeng memacu diriku untuk menjadi seorang Ayu yang percaya diri. Alasannya ketika LingFeng datang di dalam jiwa Ayu, Ayu merasa berhasil berperan sebagai orang gila seutuhnya.Â
Benar-benar sebuah proses, dari yang tadinya Ayu tidak tahu apa-apa. Tidak bisa menghidupkan karakter LingFeng. Hingga Ayu merasa bisa menanggalkan diri Ayu saat berperan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H