Artikel ditulis pada 18 Juni 2016 oleh Maria Anindita Nareswari
Keributan persoalan taksi aplikasi versus taksi konvensional yang menghiasi pemberitaan di negara ini cukup mengundang kontroversi. Taksi berbasis aplikasi, dengan inovasinya dianggap penyebab taksi konvensional “mati perlahan” karena kalah bersaing. Banyak orang mengatakan hilangnya pasar mereka merupakan kesalahan internal di perusahaan dalam respon keseimbangan baru di industri, seperti yang ditulis dalam Majalah Tempo edisi 28 Maret 2016. Masalahnya, kalau dilihat secara jeli bukan pertarungan inovasi teknologi dan non-teknologi tetapi kesiapan pemerintah dan aturan yang menjadi payung perusahaan angkutan berbasis aplikasi. Baik taksi online maupun konvensional harus tunduk pada regulasi. Aplikasionline yang lebih murah karena mengganti salah satu proses, namun perusahaan aplikasi tetap harus bermitra dengan perusahaan yang memiliki kendaraan dan supir. Aturan regulasi dari pemerintah belum jelas untuk mitra perusahaan aplikasi tersebut yang seharusnya membayar tarif yang sama dengan perusahaan angkutan lainnya.
Taksi online dirasa masyarakat juga lebih efisien, karena hanya menunggu saja di tempat pemesan tersebut berada. Pemerintah yang harus tegas dalam memilih regulasi karena nyatanya yang menjadi korban bukanlah pengusaha. Melainkan sesama pelaku kecil, para sopir yang cemburu satu sama lain. Pemicunya perbedaan tarif pelat kuning dan pelat hitam.Regulated price harus dibuat seadil mungkin. Semua perkembangan teknologi ini harus mengarahkan negara menjaga keseimbangan dan perubahan yang sehat karena persaingan.
Sejak zaman Yunani Kuno, keadilan menjadi jiwa dari pemikiran hukum baik pada Plato (427-347 SM) maupun Aristoteles (384-322 SM)[1] Keadilan merupakan keutamaan atau ideal yang bernilai dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, bertindak adil adalah perbuatan yang baik begitu saja tanpa harus dikaitkan dengan untung atau rugi secara praktis. Bagi Plato, adil ini ada dalam diri manusia tetapi tidak mungkin dimiliki orang secara acak. Maka, terhadap tuntutan para supir taksi konvensional, aturan main yang dibuat pemerintah harus berkaca pada dunia idea sesuai metode berpikir Plato, dunia yang adil, baik, indah, dan satu.[2]Hukum pada zaman Yunani kuno bukanlah hukum positif, tetapi merupakan ius, hukum manusia yang merefleksikan hukum kodrat. Ada aspek legal dan moral di dalamnya maka hukum dan moral tidak terpisahkan. Hukum kodrat itu yang abadi dan terus menerus. Ius sebagai hukum yang dibuat manusia harus mencerminkan keadilan bagi masyarakat umum. Dalam hal ini, pemerintah harus mengatur sedemikian rupa agar konflik sopir taksi, yang merupakan bagian kecil dari masyarakat tidak berlanjut terus menerus. Rakyat harus diakomodir dengan rasa tanggung jawab demi kesejahteraan. [3]
Dalam buku Politea, Plato melukasikan suatu model tentang negara yang adil. Negara harus diatur secara seimbang menurut bagian-bagiannya, supaya adil. Dalam negara macam itu, tiap-tiap golongan mempunyai tempat alamiahnya. Timbullah keadilan, bila tiap-tiap kelompok (filsuf, tentara, pekerja) berbuat apa yang sesuai dengan tempatnya dan tugasnya.[4]Konsensus ketiga kelompok ini penting dalam sebuah negara agar mencapai keadaan yang adil tersebut. Dasarnya adalah ide para filsuf, kebijaksanaan/wisdom para filsuf inilah yang mampu merekatkan ketiganya, karena tidak hanya keadilan yang tercermin karena secara legal mengikat, tetapi juga secara moral.[5]
Plato berbicara tentang kebijaksanaan, keberanian, dan kebaijkan dari keadilan.[6] Pentingnya pengetahuan tentang keadilan itu, 4 (empat) konsep penting perlu menjadi perhatian yaitu temperance, courage, wisdom and justice[7], uraian garis besar pandangannya dalam keadaan ideal.
Taksi-taksi online seperti uber, grab, harus ditentukan apakah mereka termasuk perusahaan aplikasi atau perusahaan transportasi. Keadilan tercermin dalam diri filsuf bagi Plato, maka regulator di negara kita yang seolah posisinya seperti filsuf. Jika perusahaan online tersebut memilih perusahaan aplikasi/application service provider (ASP) harus mengikuti aturan yang dibuat Kementerian Komunikasi dan Informatika, tetapi mitranya yaitu perusahaan untuk penyedia kendaraan dan sopir tetap patuh pada Kementerian Perhubungan. Regulator harus menggariskan secara jelas regulated price bagi perusahaan aplikasi sehingga tidak timbul kecemburuan bagi para supir taksi, regulator ini ibaratnya si filsuf, harus mengarahkan negara agar menjaga keseimbangan dan perubahan yang sehat karena persaingan, dunia idea itu sendiri.
Thomas Aquinas berpendapat lain. Hukum positif yang dibuat manusia prompt to error. Moral tidak semata-mata yang ada di rasio, tetapi juga divina.[8] Moral dari divina bukan keadilan tapi yang baik buruk menurut Tuhan, yakni moralitas yang spritual. Aquinas juga mendamaikan agama dan rasio, moralitas datangnya dari akal sehat dan agama. Thomas Aquinas mengatakan hukum positif promp to error, hukum positif harus terima lex divina/The Divine Law. Human lawprompt to error tapi bukan berarti tidak ada. Yang dibuat legislatif biarlah tetap menjadi hukum positif. Tetapi yang berkaitan dengan “divina” tetap divina adanya. Divina berasal dari Allah dan menjadi panduan manusia untuk melaksanakan tindakannya.[9]Hukum positif yang dibuat manusia prompt to error, maka regulasi perizinan, tarif, dan aturan pajak dalam penyelesaian masalah ini harus dibuat identik dengan keadilan, dan sesuai lex divina.
Immanuel Kant menyempurnakan Leibniz dan Hume, antara pengetahuan dari rasio dan pengalaman, Kant mengemukakan konsep pengetahuan dibagi 3: 1) Indrawi; 2) Akal Budi; 3) Intelek. Moralitas bagi Imanuel Kant didasarkan pada konsep kebebasan, atau otonomi. Seseorang dengan bebas (atau otonom), tidak hanya bertindak tetapi mampu mencerminkan dan memutuskan apakah akan bertindak dengan cara tertentu.[10] Menurut Kant, seseorang yang bertindak demi hukum moralberarti bertindak berdasarkan kewajiban sebagai pengejawantahan dari kehendak baik dan karenanya tindakan itu baik secara moral.[11]
Maka, semakin bermoral semakin beragama seseorang. Konsepsi rasional ada di indrawi dan akal budi. Kant tidak melihat semata-mata hanya benda atau objek (masalah aplikasi dan bukan aplikasi) tapi fenomenanya, pengalaman dari objek tersebut yaitu dalam kasus ini tindakan pemerintah yang harus tegas dalam penetapan tarif bagi perusahaan angkutan dengan aplikasi, agar tidak terjadi konflik horizontal antar sopir taksi. Karena saat ini regulasi yang tidak ada bagi perusahaan angkutan yang adalah mitra perusahaan aplikasi tersebut.
Thomas Hobbes menjelaskan pandangan tentang hubungan manusia dengan sistem negara. Konsep manusia dari sudut pandang empirisme-materialisme. Sebagai penganut empirisme, Hobbes menganggap bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman semata-mata. Pengalaman adalah awal dari pengetahuan. Segala ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman.[12] Pengalaman akan transportasi online yang hadir di tengah masyarakat, dirasa membantu masyarakat. Kejadian baru ini tentunya membuka lapangan kerja bagi masyarakat. Tetapi apakah pemerintah sudah menyediakan regulasi yang jelas untuk perusahaan angkutan berbasis transportasi ini? Kewajiban-kewajiban tertentu harus ditegaskan agar tidak menimbulkan kecemburuan.