Indonesia menurut UUD 1945 adalah negara hukum (rechtstaat). Semua tindakan individu dan institusi tidak bisa dilepaskan dari aturan dan hukum yang mengikat warga negara. Hal ini sejalan dengan opini Masdar Hilmy, dosen dan pemerhati hukum dan demokrasi, menulis dalam harian Kompas, konstitusi tidak dapat memuaskan semua orang. Tapi harus dapat melindungi kepentingan sebanyak mungkin warga negara. Maka, masyarakat harus mendapat pengayoman dari aturan tersebut sekalipun kebutuhan semua orang tidak semuanya dapat dipuaskan.
Korban narkoba di Indonesia meningkat setiap tahunnya, memang sedemikian mengerikannya, terlebih bagi generasi muda. Maka, semua berseru hukuman mati harus diberlakukan agar semuanya setimpal dengan nasib korban itu.
Hukuman harusnya dijatuhkan tidak hanya kurir tetapi juga bandar narkoba itu sendiri. Sudah adilkah hukuman yang dijatuhkan pada para terpidana yang telah dihukum mati? Keadilan memang relatif. Bagi para penegak hukum dan disetujui oleh sebagian besar rakyat Indonesia, perbuatan menawarkan untuk dijual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima narkotika yang memang dalam Undang-Undang Narkotika hukuman terberatnya adalah hukuman mati. Tapi benarkah, hukuman itu yang paling adil? Membalas nyawa yang melayang dengan nyawa juga. Prosedur pidana dianggap sempurna tanpa salah. Apakah tidak ada yang salah pada proses penyelesaian kasus? Apakah benar semuanya sudah sempurna?
Hal ini menjadi batu sandungan, proseduralisme hukum yang positivistik dan mengabaikan rasa keadilan. Hukum kaku kalau mengingat filsuf Hart mengatakan tentang positivisme hukum, dimana aturan harus dijunjung tinggi, namun akhirnya lupa bahwa ada hal-hal lain dari tujuan diciptakannya hukum itu. Dari ajaran mengenai moral, kita menuju pada 3 titik pandang.
Pandangan dalam Moral
Pandangan baik dan buruk dapat diartikan demikian. Baik berarti selaras dengan penegakan martabat manusia, jahat berarti sebaliknya yakni tak selaras dengan martabat manusia. Baik buruk dalam moral didekati lewat berbagai titik tolak.
Deontologis yakni proses pertimbangan moral yang bertitik tolak dari norma atau hukum, atau esensi persoalannya. Kekuatannya, kita bisa dengan cepat mengambil keputusan. Namun, jika hanya bertitik tolak dengan norma, kita bisa jatuh dalam formalisme moral. Berbeda dengan deontologis, teleologis memandang proses pertimbangan moral yang bertitik tolak dari tujuan yang baik. Kekuatannya, keputusan kita terarah jelas, namun demi sesuatu yang baik, kita bisa terjebak dalam penghalalan segala cara. Relasional melihat proses pertimbangan moral yang bertitik tolak pada sebab dan akibatnya, dampak bagi orang lain. Kekuatannya pendekatan ini terbuka terhadap situasi baru dan fleksibel. Namun, begitu fleksibelnya kita bisa jatuh pada relativisme moral. Mengapa? Karena baik itu menjadi relatif, tergantung situasinya. Maka ini disebut pula moral situasional.
Untuk mengambil sebuah keputusan, perlu pendekatan ketiganya, tidak dapat hanya satu saja yang dipakai. Maka penjatuhan hukuman mati tidak bisa hanya bertitik tolak pada norma/hukum yang dalam hal ini UU Narkotika dengan hukuman maksimal hukuman mati, dipilih agar jera dan membalas karena melihat rakyat kita yang terjerat narkoba sedemikian hebatnya. Akhirnya, tidak ada pertimbangan moral. Padahal sangat dimungkinkan orang tersebut hanya kurir atau barang tersebut diselundupkan padanya. Proses penyidikan hingga pengadilan yang menentukan.
Â
Proses Peradilan Jauh Dari Sempurna
Kenyataannya, sistem peradilan pidana kita masih rapuh. Rekayasa kasus masih terjadi, polisi seringkali hanya kejar target (wrongful conviction). Hukum acara yang dipakai dalam memproses terpidana masih lemah. Kebutuhan atas suatu proses peradilan: bantuan hukum, ketersediaan advokat dan penerjemah bagi yang tidak dapat berbahasa Indonesia seperti yang terjadi kepada salah satu terpidana asal Filipina. Apakah itu adil? Penelitian ELSAM, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, juga mengatakan kurangnya kontrol peradilan yang efektif, tidak ada mekanisme banding yang efektif, dan hal-hal lain yang masih jauh dari sempurna. Kalau memakai pendapat filsuf Hart, hukum bisa dikatakan adil jika kompensasi yang diberikan sesuai dengan kerugian yang dibuat. Bisa saja terjadi hukum yang tidak adil dilaksanakan secara adil. Apakah yang demikian bisa dikatakan adil? Lain halnya dengan Dworkin, konsepsinya tentang keadilan yakni terjadinya keseimbangan antara nilai-nilai yang tertuang dalam sistem hukum. Segala aspek harus diperhatikan.