Pada tulisan pertama, saya menceritakan perihal perubahan bentuk Tugu dari Golong Gilig menjadi Persegi dan Lancip seperti sekarang ini, dengan ornamen prasasti yang melekat di semua sisinya.
Tugu Jogja tidak sekedar bangunan pal putih, tapi sebuah tugu yang memiliki mitos berkaitan erat dengan keistimewaan Yogyakarta. Di tulisan terdahulu saya sempat menyinggung Sumbu Filosofi Yogyakarta berupa Garis Imajiner yang membentuk garis lurus dari Gunung Merapi sampai Pantai Parangkusumo. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya inilah yang menarik minat para wisatawan tidak hanya awam tapi para ahli budayawan dunia. Dan Tugu ini sampai sekarang menjadi obyek wisatawan. Menjadi salah satu pertanda atau ciri dari kota Yogyakarta.
Warna putih pada tugu melambangkan hati yang suci. Sedang golong gilig diartikan sebagai satu tekad menuju kepada kesejahteraan rakyat. Jadi kalau disatukan menjadi satu tekad yang tulus dari Ngarsa Dalem/Sri Sultan untuk mensejahterakan rakyatnya dengan didasari hati yang suci.
Sumber: bpcbdiy.kemendikbud.go.id
Kalau kita berjalan dari alun-alun kidul atau alun-alun selatan ke arah selatan , kita akan menemui sebuah bangunan putih berbentuk kubus. Di kanan kiri ada anak tangga dan kita bisa naik. Di tempat-tempat sejarah semacam ini di Yogyakarta kita tidak diperkenankan untuk berbuat seenaknya. Harus menghormati bangunan peninggalan leluhur karena mengandung nilai filosifis yang sampai sekarang masih ada.
Menurut cerita bahwa krapyak ini adalah sebuah hutan yang banyak dihuni oleh rusa/menjangan. Salah satu kerabat Sri Sultan meninggal di hutan krapyak ini kemudian beliau mendapat gelar Panembahan Seda Krapyak.
Adapun menurut sejarah, Panggung Krapyak ini dibangun tahun 1760 oleh Sri Sultan HB I, sebagai pos untuk berburu sekaligus perlindungan dari binatang buas.
Panggung Krapyak ini memiliki ukuran panjang 17,6 m lebar 15 m dan tinggi 10 m. Tempat ini juga dipakai untuk memantau  musuh dari arah selatan sehingga bisa memberikan peringatan kepada keraton jika ada bahaya.