Setiap kota biasanya mempunyai sebuah simbol khusus berupa tugu atau monumen yang terletak di tengah kota di tempat yang strategis dan ramai dilewati kendaraan yang menggambarkan ciri khas kotanya. Begitu pula dengan Yogyakarta. Tugu Jogja yang telah mengalami renovasi menjadi lebih terlihat menarik dan berkharisma, terletak di tengah-tengah perempatan antara Jl. Mangkubumi, Jenderal Sudirman, AM. Sangaji dan Jl. Diponegoro. Tugu Jogja ini merupakan bagian dari ikon sejarah Yogyakarta.
Di Yogyakarta kita mengenal juga dengan gunung yang cukup aktif yakni Gunung Merapi yang saat ini sedang mengeluarkan laharnya. Selain itu kita mengenal Yogyakarta dengan Keraton dan Rajanya. Pantai Parangtritis di selatan Yogyakarta. Â Tempat-tempat inilah yang menjadi sumbu filosofi Yogyakarta yang digambarkan sebagai Garis Imajiner Yogyakarta karena letaknya merupakan garis lurus dari Gunung Merapi, Tugu Yogya, Keraton, Panggung Krapyak sampai ke Laut Selatan, Parangtritis. Mari kita bahas satu persatu tentang ini pada tulisan saya mendatang. Masing-masing mempunyai nilai historis dan filosofinya. Yakni yang menggambarkan hubungan manusia dengan Sang Pencipta, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan mahluk yang tidak kasat mata.Â
Ada satu hal yang membuat Yogyakarta menjadi istimewa tidak hanya dari segi budaya, kuliner dan pendidikannya. Namun dari segi filosofi budaya yang mendasari dibangunnya beberapa tempat istimewa yang tersebut di atas. Disebutkan dalam beberapa literatur dan artikel bahwa antara Gunung Merapi, Tugu Jogja, Keraton dan Pantai Selatan Parangkusumo terletak pada satu garis lurus. Inilah Sumbu Filosofi Yogyakarta yang disebut sebagai Garis Imajiner Yogyakarta. Dan memang sudah dibuktikan dari udara atau satelit bahwa tempat-tempat tersebut terletak pada satu garis lurus.Â
Bentuk Tugu yang sekarang sudah mengalami perubahan dari Gilig menjadi Lancip dan Golong menjadi Persegi, Â dikarenakan pernah runtuh karena terjadinya gempa bumi berskala 8 SR pada 10 Juni 1867 pagi. Dan pada tahun 1889 diresmikanlah tugu baru yang semula berbentuk golong/silinder dan gilig/bulat menjadi berbentuk persegi dan lancip. Yang semula setinggi 25 meter menjadi 15 meter saja. Desain tugu ini dirubah total oleh Belanda sebagai taktik untuk mengikis makna filosofis jawa yaitu persatuan rakyat dan rajanya.
Di sisi Barat, ada tulisan berbahasa Jawa "YASAN DALEM INGKANG SINUHUN KANJENG SULTAN HAMENGKUBUWANA KAPING VII" artinya bahwa tugu ini dibangun pada masa Sri Sultan Hamengkubuwana VII jumeneng.
Di sisi Timur, "INGKANG MANGAYUBAGYA KARSA DALEM KANJENG TUWAN RESIDHEN Y.MULLEMESTER" , yakni bahwa Y. Mullesmester Residen  Yogyakarta menyambut baik pembangunan tugu tersebut.
Di sisi Selatan, "WIWARA HARJA MANGGALA PRAJA, KAPING VII SAPAR ALIP 1819", artinya WIWARA itu  gerbang, mewakili angka 9; HARJA itu kemakmuran, mewakili angka 1; MANGGALA berarti pemimpin, mewakili angka 8 dan PRAJA, itu bermakna negara mewakili angka 1. Sehingga kalau disatu artikan bahwa perjalanan menuju gerbang kemakmuran dimulai dari pemimpin negara. Sengkalan ini menunjuk angka 1819.
Di sisi Utara, "PAKARYANIPUN SINEMBADAN PATIH DALEM KANJENG RADEN ADIPATI DANUREJA INGKANG KAPING V. KAUNDHAGEN DENING TUWAN YPF BAN BRUSSEL. OPSIHTER WATERSTAAT",artinya bahwa pembangunan tugu ini dipimpin oleh Patih Danurejo V (1879-1899) dan arsitek oleh YPF Van Brussel, seorang petugas Dinas Pengairan Belanda yang bertugas di Yogyakarta.