Bagi para bibliophile atau pecinta buku, hari ini seharusnya menjadi momen yang bersejarah bagi kalian. 562 tahun lalu, di tanggal yang sama, untuk pertama kalinya sebuah buku cetak dipublikasikan.Â
Buku berjudul Mainz Psalter yang dipublikasikan oleh Johan Fust dan Peter Schoeffer tersebut merupakan suatu himpunan kidung Kitab Mazmur yang dibuat bagi Uskup Agung Mainz di tahun 1457.Â
Meskipun didahului oleh Alkitab Gutenberg (Maret 1455), Mainz Psalter sendiri memiliki beberapa elemen inovatif yang tidak terdapat pada Alkitab Gutenberg. Aspek inovatif Mainz Psalter di antaranya adalah terdapatnya elemen colophon yang mengandung data publikasi dan penanda printer, dua tipe ukuran buku serta cetakan dekorasi inisial.Â
Selain itu, buku ini merupakan buku cetak pertama yang dicetak dengan tiga warna. Pada bagian colophon-nya tercantum tanggal publikasi (14 Agustus 1457) serta nama publisher, di mana hal ini merupakan yang pertama kalinya di Eropa.
Sebelumnya, Fust dan Schoeffer adalah rekan dari Johannes Gutenberg, sang inovator dari mesin cetak tipe movable mekanik di Eropa. Berbicara mengenai mesin cetak tipe movable, seorang seniman sekaligus inventor berkebangsaan Cina, Bi Sheng, sesungguhnya telah menemukan tipe mesin cetak senada di tahun 1040, pada zaman Dinasti Song Utara.Â
Mesin ciptaan Bi Sheng tersebut menggunakan material porselin. Selanjutnya, masih di Asia Timur, sebuah buku cetak tebal tertua, Jikji, yang merupakan suatu Dokumen Buddhist Korea kuno, dicetak di Korea dengan tipe mesin cetak serupa berbahan metal pada tahun 1377 di zaman Dinasti Goryeo.Â
Adapun perpaduan antara kedua temuan tersebut telah digunakan secara terbatas di Asia Timur. Beberapa penemuan mesin cetak pada Zaman Kegelapan Eropa juga pernah terjadi mendahului penemuan mesin cetak Gutenberg, sayangnya hal-hal tersebut tidak diperhitungkan.Â
Adapun terobosan mesin cetak Gutenberg selanjutnya menginisiasi Revolusi Percetakan di benua Eropa dan sesudahnya, dan bahkan memiliki peran esensial bagi perkembangan zaman Renaissance, Reformasi Gereja, Era Pencerahan hingga Revolusi Ilmiah.
Fust dan Schoeffer pada akhirnya berpisah dari Gutenberg, sang inovator, di mana perpisahan tersebut agaknya terkait masalah finansial. Fust sendiri lebih menyerupai seorang pebisnis ketimbang seorang inventor sejati, sebagaima laiknya Gutenberg.Â
Terkait perselisihannya dengan Gutenberg, ia mengklaim telah memberi donasi terhadap riset inovatif mesin cetak Gutenberg tersebut, di mana percekcokan in pun berujung ke meja hijau dan dimenangkan oleh Fust.Â
Adapun Schoeffer, yang di kemudian hari mempersunting satu-satunya anak perempuan Fust, memilih untuk mendukung Fust dan menjadi rekan bisnis percetakannya. Perpisahan dengan Gutenberg tersebut terjadi 3 tahun sebelum Mainz Psalter dibuat.
Terlepas dari intrik yang terjadi di kalangan publisher-nya, Mainz Psalter sendiri merupakan karya agung nan indah. Buku ini memadukan cetakan teks dan elemen relief tercetak (woodcraft) dwiwarna yang artistik.Â
Mainz Psalter dicetak dengan tinta hitam dan merah dengan inisial dwiwarna. Adapun huruf-huruf kapital berukuran besar pada buku ini dicetak dalam perpaduan warna biru-merah. Huruf-huruf kapital berukuran besar tersebut merupakan buah karya dari seniman yang bekerja pada Fust. Salah satu elemen inovatif lainnya adalah adanya dua tipe (versi) dari buku ini, yakni versi pendek (short issue) maupun versi panjang (long issue).
Namun, tidak seperti karya legendaris Alkitab Gutenberg yang diproduksi secara masif di Eropa - yang menandai Revolusi Gutenberg - buku Mainz Psalter nan inovatif ini memiliki jumlah eksemplar yang relatif terbatas.Â
Salah satu kopi dari buku ini masih dipakai dalam ibadah di sebuah biara hingga pertengahan abad ke-18. Beberapa fragmen dari buku ini juga agaknya masih survive hingga hari ini.Â
Dari semua eksemplar yang dicetak pada tahun 1457, baik versi long issue maupun short issue, 10 di antaranya masih tersimpan di beberapa perpustakaan di benua Eropa hingga hari ini, di antaranya di French National Library, Paris, Perancis, di Austrian National Library, Austria serta di Darmstadt University and Public Library, Jerman.Â
Jika sobat pecinta buku berkesempatan untuk mengunjungi negara-negara di atas, mungkin tidak ada salahnya untuk sesekali mengunjungi perpustakaan-perpustakaan tersebut, untuk sekedar melihat-lihat peninggalan bersejarah yang mulai terlupakan ini (Sumber: Wikipedia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H