Menurut Pasal 1 angka 9 UU nomor 19 tahun 1997 yang mana terakhir diubah dengan UU nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) disebutkan bahwa Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak segera melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, sampai dengan menjual barang yang disita.
Dasar hukum Tindakan pajak yang dilakukan oleh DJP tersebut adalah Pasal 18 UU nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) terakhir diubah dengan UU nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), urutan dasar penagihan pajak adalah Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), SKPKB Tambahan, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar oleh seorang wajib pajak bertambah. Jika DJP telah menerbitkan produk -- produk diatas, berarti lonceng atas proses penagihan pajak dimulai.
Sebenarnya dari proses Panjang penagihan pajak tersebut dapat kita bagi tiga kategori besar yakni penagihan pasif/persuasif, penagihan aktif, dan penagihan seketika dan sekaligus yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 189 tahun 2020.Â
Nah apa itu Penagihan pasif? Â Penagihan Pasif yaitu penagihan saat diterbitkannya dasar penagihan pajak hingga jatuh tempo dasar penagihan pajak tersebut, contoh 1 bulan dari saat terbit untuk SKPKB. Lalu apabila Wajib Pajak/Penanggung Pajak masih belum juga melunasi hutang pajaknya, penagihan aktif dimulai dengan mengirimkan surat teguran paling cepat 7 hari setelah jatuh tempo tersebut. Kemudian dalam waktu paling cepat 21 hari kemudian, jurusita pajak KPP tempat Wajib Pajak terdaftar akan mendatangi wajib pajak untuk mengirimkan surat paksa yang memiliki hak eksekutorial.
Dengan adanya surat paksa, berarti telah timbul biaya penagihan pajak, dan semakin lama Anda menunggak pajak maka akan semakin berat konsekuensi yang diterima atas biaya tersebut.
Lalu disaat inilah penagihan pajak dapat bermacam-macam bentuk pelaksanaannya. Dimana sangat tergantung pada pertimbangan subjektif dan objektif wajib pajak. Perlakuan terhadap wajib pajak dapat berupa penyitaan, pengumuman di media massa, pemblokiran, pencegahan, hingga penyanderaan.Â
Ya lebih seram dari pada Penagihan Pinjol (Pinjaman Online) yang Anda baca di berita-berita, namun tentu saja ada bedanya, lebih sopan dan penagihan yang ini ada dasar hukum sebagai tamengnya.
Jika sampai dilakukan penyitaan terhadap aset wajib pajak, maka aset tersebut berpotensi akan dilakukan lelang demi melunasi hutang pajaknya. Dan catatan penting bagi wajib pajak bahwa proses penagihan aktif ini dapat berlangsung sangat lama yang tentunya dapat mengganggu keberlangsungan hidup dan usaha wajib pajak.
Ada lagi  jenis yang ketiga adalah penagihan seketika dan sekaligus. Penagihan jenis ini akan dijalankan oleh jurusita pajak terhadap wajib pajak/penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pelunasan pajak, yang meliputi seluruh hutang pajak.Â
Seram bukan kedengarannya? Lalu apa penyebabnya bisa sampai ke tahap ini, seperti kita ketahui sesuai dengan yang tercantum pasal 8 PMK 189 2020, beberapa penyebabnya adalah ketika penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia selamanya, memindahtangankan aset yang dimiliki atau dikuasai untuk mengecilkan kegiatan usaha, terdapat tanda bahwa wajib pajak badan akan dibubarkan atau dilakukan perubahan bentuk, aset penanggung pajak disita pihak ketiga, atau terdapat tanda - tanda kepailitan.Â
Dengan kata lain, jenis penagihan ini adalah penagihan yang dianggap sangat diperlukan dan wajib segera dijalankan oleh DJP dengan kekhawatiran mereka demi mengamankan aset wajib pajak sebelum aset tersebut berada di luar jangkauannya, sehingga nantinya malah membuat hutang pajak tidak dapat ditagih.