Tidak terasa sudah berjalan lebih dari limabelas tahun saya mengajar. Tahun 2007 silam, saya memulai karir saya sebagai guru sekolah dasar. Â Asiknya mengenal anak-anak, menilik pengalaman mengajar saya di kelas 2 hingga kelas 5 SD. Akhir-akhir ini saya banyak berperan dalam mengajar siswa-siswa berusia tujuh hingga delapan tahun di sekolah dasar yang masuk dalam kategori siswa berusia dini.
Ketika saya mengajar, saya belajar memahami murid-murid saya. Ya, mengajar juga berarti belajar. Sebagai guru saya tidak mutlak mengetahui segala sesuatu. Terutama tentang keutamaan. Siswa-siswi sayalah yang mengajarkan saya tentang hal ini. Belajar dari kehidupan siswa siswi saya yang beraneka ragam, saya menyadari bahwa komunikasi dengan setiap siswa harus dikondisikan pula dengan kekhasannya.
Kita pasti sangat familiar dengan cerita dan pengalaman guru-guru yang harus mengajar anak didiknya yang berjumlah 20 hingga 40 siswa di dalam satu kelas saja. Pernah terbayang bagaimana seorang guru bisa mengenal setiap siswanya? Â
Tentu sulit, ya. Setiap siswa punya sifat dan karakter yang unik dan guru harus menghargai anak didiknya dengan keunikannya. Apa yang membuat anak-anak ini terlihat begitu unik adalah bagaimana sifat, temperamen, dan perilaku yang mengisi kelas dan lingkungan sekolahnya.
Siswa siswi saya pun unik. Saya menanggapi dan merespon dengan cara yang berbeda. Jika Riri adalah seorang anak yang sensitif dan mudah menangis, sebagai guru saya harus bersikap lebih halus dan empatik. Bagi Deni, seorang anak peragu, saya dapat memberinya stimulasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang membantunya mengambil keputusan yang tepat.Â
Saya bisa mencoba mengajak Wendy, seorang anak yang pendiam, mengobrol berdua saja di waktu senggang tanpa memaksanya untuk bermain bersama yang lain hingga ia siap untuk bersosialisasi. Saya akan memberikan banyak pertanyaan tentang dirinya agar Wendy dapat bercerita. Berbeda dengan Yoyok, anak extrovert yang ceria.Â
Tanpa ditanya ia akan mendatangi saya dan bercerita tentang kejadian apa saja yang terjadi saat itu. Saya akan menanggapinya dengan senang hati. Berbicara dengan Yoyok akan menjadi obrolan yang asik. Menjumpai Kiki yang kurang menunjukkan sikap inisiatif, saya sering bertanya dan mengajaknya misalnya, 'Kiki, bisakah kamu membantu Ibu merapikan meja?'Â
Tak lama, ia akan menanggapi dan bergerak bersama gurunya. Dengan seorang anak yang agresif seperti Dodi, saya akan bersikap lebih tenang, mendampingi dan menanggapinya hanya ketika ia memahami bagaimana bersikap baik.Â
Setelah itu, kami bisa bercerita banyak hal dengan cara memancingnya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang hal yang ia sukai. Lalu, suasana bisa menjadi makin luwes.
Ada banyak yang bisa saya sharingkan namun tidak cukup pendek untuk dituliskan di sini. Kekhasan masing-masing anak mengajarkan saya untuk memutuskan secara lebih bijak dalam berkomunikasi agar mereka seyogyanya merasa nyaman belajar di sekolah. Saya percaya sekolah menjadi salah satu faktor berkembangnya kemampuan kognitif dan pola pikir siswa. Namun, apa yang menyebabkan keberagaman temperamen siswa ini?