Demokrasi memiliki makna luas dan mengandung banyak elemen yang kompleks. Demokrasi adalah suatu metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga negara diberi kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara[1]. Dengan kata lain dapat diungkap bahwa demokrasi adalah suatu metode penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik, dimana individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam meraih suara.
Â
Pelaksanaan demokrasi di Indonesia saat ini terutama di tahun politik 2019 ini masih belum mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan partisipasi warga masyarakat dalam berdemokrasi hal ini disebabkan oleh berbagai patologi yang diderita oleh pelaksanaan demokrasi itu sendiri[2]. Sebagai contohnya pada beberapa kontes Pilkades, modal penting yang dimiliki calon kepala desa selain dukungan yakni duit atau uang, dan dukun.
Â
Suburnya politik uang itu juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang permisif terhadap politik uang itu. Pada proses demokrasi di Indonesia, termasuk demokrasi di level akar rumput (pilkades) praktek money politics tumbuh subur, karena dianggap suatu kewajaran masyarakat tidak peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya karena tidak merasa bahwa money politics secara normatif adalah perilaku yang harus dijauhi[3]. Selain itu, budaya Jawa mengenal profesi dukun, paranormal atau wong pinter. Mereka dipercaya memiliki kekuatan magis yang bisa berkomunikasi dengan kekuatan gaib. Banyaknya iklan yang muncul di dalam media tentang jasa dukun politik dan berita-berita mistis menunjukkan bahwa di dalam masyarakat praktik tersebut ada[4].
Â
Pada penelitian sebelumnya yang ditulis oleh Agus Trihartono, membahas tentang keberadaan jasa dukun dalam politik kontemporer. Ini bertujuan untuk membuktikan reatitas empiris apakah ilmu mistik yang gaib dari para dukun itu benar adanya. Penulis ingin menyampaikan bahwa fenomena dukun dalam banyak kasus tidak bisa dipisahkan dari kontestasi politik Indonesia bahkan sampai sekarang saat telah menjamumya lembaga polling (pollster) yang dianggap sebagai salah satu tolak ukur demokrasi modern. Panggung politik adalah ajang terbuka bagi para aktor politik untuk bertarung merebut dan mempertahankan kekuasaan. Persaingan yang sangat ketat menciptakan banyak cara dalam berkompetisi, termasuk penggunaan jasa dukun. Berkembangnya praktek perdukunan dalam Pemilu khususnya Pilkada) disebabkan oleh paling tidak tiga alasan. Pertama, tingginya tingkat kompetisi dan kompleksitas Pilkada. Kedua, masih lemahnya kepercayaan kandidat tim sukses terhadap aktor-aktor penyelenggara Pemilu (KPU, Panwaslu, KPPS). Ketiga, di beberapa daerah, dukun sudah lebih dulu ada dibanding konsultan politik modem dan dianggap sebagai fenomena budaya yang bisa diterima masyarakat[5].
Â
Sedangkan artikel ini akan mengambil studi kasus Pilkades di Desa Pucakwangi tahun 2019. Alasan penulis mengambil studi kasus ini, karena Desa Pucakwangi berada di wilayah kabupaten Pati yang sudah terkenal sebagai sebagai Hogwarts van Java, karena sejak zaman Majapahit hingga sekarang, banyak warga yang masih menekuni ilmu mistis, mau itu ilmu putih maupun ilmu hitam. Dukun juga mudah ditemukan di sini, sampai-sampai Pati identik dengan klenik. Para ahli supranatural yang disebut dukun ini terang-terangan membuka praktik hampir di seluruh wilayah Pati. Hingga pada modern ini, walaupun calon kepala desa mengandalkan kekuataan material, hampir semua calon kepala desa (khususnya di Pucakwangi) yang bertarung dalam kontestasi Pilkades juga menggunakan sumber kekuasaan yang nonmaterial yakni dukun. Dukun dianggap sebagai modal utama dalam mencapai kemenangan karena dapat mempengaruhi calon kepala desa, sabet (tim sukses), dan tentunya masyarakat sebagai calon pemilih agar bisa memenangkan calon kepala desa. Namun disisi lain juga terdapat beberapa resiko yang harus dihadapi oleh calon kepala desa yang ingin mencapai atau mempertahankan kekuasaan dengan melibatkan dukun sebagai kekuatan magis.
Â
Selain itu, dari tahun ke tahun Pilkades di Pucakwangi juga selalu menggunakan duit atau money politic dalam upaya memenangkan calon, dan pada Pilkades 2019 money politic ini diberikan kepada calon pemilih dengan nilai yang sangat fantastis dari kedua calon dengan selisih tipis. Hal ini termasuk dalam patologi demokrasi, yang tentunya menimbulkan berbagai macam dampak yang tidak baik terlebih kepada masyarakat.