Mohon tunggu...
Maria Perdana
Maria Perdana Mohon Tunggu... profesional -

A mother, a housewife, a translator and fashion designer for profession, and has deep passion for writing, love-hate relationship with spiritualism, eventually... just me :)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tiada Spiritualisme di Bali

15 Oktober 2010   16:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:24 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saya merasa malu karena sudah pernah mengunjungi beberapa tempat di dunia luar sana, tapi belum pernah ke Bali.Jadi ketika saya punya kesempatan untuk akhirnya pergi ke Bali, serta merta saya menyambarnya.Saya sudah banyak mendengar cerita tentang Bali – terlalu banyak malahan.Semua cerita-cerita itu mengundang penasaran saya sebagai seorang peminat spiritualisme; apalagi sejak terbitnya buku “Eat, Pray, Love” setahun yang lalu.Saya penasaran karena begitu banyak orang yang mengatakan bahwa Bali itu adalah tempat spiritual indah yang cocok untuk “merentang” resah hati, menguraikannya untuk kembali lurus, untuk kemudian memperoleh inspirasi baru yang mengagumkan.Saya merasa bahwa hati saya memang resah dan lelah; banyak pertanyaan tentang diri saya yang belum pernah terjawab. Maka saya niatkan dengan lurus untuk pergi keBali dan memperoleh pengalaman spiritual seperti dalam buku “Eat, Pray, Love”.

Ketika saya menginjakkan kaki di Bali untuk pertama kalinya, wangi dupa dan bunga-bungaan yang menyergap makin menggelitik rasa penasaran saya.Saya bertekad – setengah memaksa malahan – agar kami (saya dan suami) bisa mengunjungi Tampaksiring, atau mungkin ke Tanah Lot sekalian.Saya terus bertanya kepada suami saya sepanjang perjalanan kami (yang pernah menikmati hari-hari bekerja yang cukup lama di Bali selama kira-kira setahun) mengenai Bali, bagaimana orang-orangnya, makanannya, situasinya?Suami saya hanya menjawab pendek, you will see.

Ternyata kedatangan saya di Bali tak semulus perencanaan terdahulu.Kesibukan seminar (karena memang saya datang kesana bukan dalam rangka liburan), petualangan mencari hotel jam 11 malam, berkumpul dengan teman-teman baru, dan deg-degan akibat bertualang under budget, telah memupuskan rencana saya untuk pergi mengunjungi obyek-obyek wisata.Saya menempati hotel yang berlokasi di jalan Poppies II Legian - Kuta, selama tiga hari.Hiruk pikuk musik disko dan tawa para wisatawan Australia memenuhi tempat itu sampai larut malam.Saya mulai putus asa.Modernisasi tempat hiburan kelihatannya telah menelan spiritualisme yang saya cari, saya berpikir dengan sedih.

Setelah menjalani Seminar Translation Masterclass di Ubud dengan sukses (terlalu sukses malahan, hasil terjemahan saya dibantai habis oleh Pembicara Seminar dan saya pulang dengan hati puas dan penuh ilmu baru), saya dan suami jatuh tertidur kecapekan di hotel kami.Makan malam yang meriah bersama sahabat-sahabat baru, terasa sampai ke alam mimpi.Sekitar jam 6 pagi, saya terbangun dan keluar ke beranda kamar hotel saya, duduk mengamati rona langit fajar, yang disapu awan mendung puluhan kali.Bau dupa mulai tercium samar-samar, diiringi bau bunga.Para penduduk mulai keluar dan meletakkan canang mereka di depan pintu (canang adalah sesajen kecil yang diletakkan setiap pagi dan tengah hari di depan pintu masuk suatu bangunan) dan kemudian mereka berdoa.Suasana sepi - saya tak berani bilang khidmat, karena para turis Australia sudah mulai tertawa-tawa dan keluar memakai baju renang mereka yang dililit kain Bali.Saya melamun di beranda, dan merasakan hati saya sendiri, yang tiba-tiba terasa senyap tanpa ada hingar bingar online dan chat di pagi hari, tangisan anak-anak dan suara motor-motor tetangga yang menderu.Nikmatnya sarapan sederhana dari hotel yang berupa roti bakar pisang dan kopi asli Bali, membuat hati saya terasa aneh.Saya merasa… damai, dan diijinkan untuk berpikir demi diri saya sendiri.

Sore harinya saya dan suami pergi ke pantai Kuta dengan berjalan kaki. Obrolan kami menjadi semakin panjang, dimulai dari Bali dan berakhir dengan curhat.Rasanya lama sekali semenjak saya mengobrol demikian dengan suami saya, dan rasanya lama sekali sejak saya memaki karena klakson di jalanan macet kota Bandung.Di Bali, mereka tak pernah mengklakson. Biarpun jalan pantai Kuta macet bagaikan ada pohon tumbang berkali-kali, semua mengantri dengan sabar.Tak ada motor yang nyelonong tahu-tahu dan hampir menabrak pejalan kaki (padahal motor di Bali kencang-kencang loh), dan tak ada satupun muka yang memberengut karena terlambat untuk sampai entah dimana itu.Semua berjalan seperti semestinya, tak akan lari gunung dikejar.Dan dalam momen inilah, saya tiba-tiba “mendengar “ spiritualisme.Bukan dari canang, bukan dari Pura megah tujuan wisata, ataupun dari deburan ombak pantai Kuta yang mendung waktu itu.Tapi dari dalam hati saya, dari sanubari saya yang terdalam.

Spiritualisme itu berbisik tentang cinta, yang saya miliki untuk pasangan dan anak-anak kami, terhadap pekerjaan dan terhadap prestasi saya , yang masih segini-gini aja, tapi saya telah mempertahankannya dengan tulus bersama darah dan airmata.Spiritualisme itu bersuara tentang diri saya yang bisa baik atau buruk di mata orang lain, tapi akan tetap dicintai jika saya tak berhenti mendengarkan suaraNya dan berjalan di jalanNya – jika saya selalu meyakini keputusan-keputusan saya dan tak pernah menyesali masa lalu.Saya mendengar suara saya sendiri, suara kalbu saya yang sudah tertelan sekian lama oleh kebisingan kota dan ambisi-ambisi orang lain.

Saya melihat sepasang orang asing yang mengobrol mesra sambil melihat deburan ombak, dan saya berpikir tentang alasan mereka datang ke Bali.Tak ada kedamaian, walaupun sikap orang Bali memang mendamaikan.Tak ada cinta, walaupun semua suvenir di Bali dibuat oleh tangan-tangan penuh cinta.Tak ada apapun di Bali kecuali suara diri sendiri; suara hati yang diamplifikasi oleh kebesaranNya, dielus oleh kasihNya, dan dibisiki oleh kebenaranNya.Seringkali manusia lupa dengan kata hati.Dan semua yang saya cari, ternyata ada di dalam diri saya sendiri.Tak akan ada gunanya saya jauh-jauh mencari ke Bali jika saya gagal untuk mendengarkan suara hati saya, nun jauh di dalam sana.

Tak akan ada spiritualisme di Bali, andaikan saya nggak mau ngaca.

Sepulangnya saya dari pantai Kuta, badan terasa lelah tapi otak saya mengambang dengan segar.Rasanya tak sabar untuk menuliskan pengalaman spiritual saya di Bali.

Tenang, susun kata-katamu dengan sabar

– bisikan hati saya muncul lagi –

Tak akan lari gunung dikejar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun