Nenek moyang kita jaman dulu sangat memahami hubungan dengan lingkungan. Mereka sadar bahwa tidak ada satu makhluk pun bisa hidup sendiri. Adanya hidup saling ketergantungan telah diresapi dengan baik sehingga mereka menyampaikan ungkapan rasa terima kasih atau syukur melalui persembahan yang dikenal pada saat ini sebagai sesajen atau mungkin bisa dimakanai sebagai sesaji.
Sungguh indah bahwa dengan menyajikan aatu mempersembahkan sesuatu merupakan ungkapan rasa terima kasih atas kebaikan alam berbagi terhadap manusia. Dengan cara ini sesungguhnya nenek moyang nusantara membuktikan kelembutan jiwa atau rasa. Pada saat mempersembahkan mereka juga melakukan komunikasi dengan dewa atau penguasa.Â
Yang saya maksudkan dengan dewa adalah makhluk bercahaya yang diberikan kuasa oleh Keberadaan. Misalnya daam tradisi kuno hujan dikuasai oleh dewa Indra; angin dikuasai oleh dewa Bayu. Saya tidak membandingkan dengan tradisi dari kebiasaan di luar Nusantara. Namun, saya meyakini bahwa tradisi atau kebiasaan persembahan seperti ini merupakan sesuatu yang luhur atau mulia.
Saya dulu tidak memahami tentang nenek saya yang memberikan sesaji di tepi sumur. Biasanya diletakkan pada hari-hari tertentu, misalnya hari Kamis. Yang diberikan atau diletakkan sekuntum bunga, itu pun biasanya yang sudah jatuh di atas tanah. Dengan kata lain bahwa yang dipersembahkan tidak diambil secara paksa dari pohon. Sungguh indah tradisi nenek saya, dan beliau saat itu memberitahu bahwa air dari sumur diambil setiap hari. Oleh karena itu, kita wajib menyampaikan terima kasih pada air karena kebaikannya. Dan saya lihat beliau merangkapkan tangan sebagai rasa terima kasih. Beliau bilang saat itu, ia berkomunikasi sebagai rasa syukur bahwa air telah membantu hidupnya. Tampaknya sepele, tetapi ketika beberapa tahun lalu, seorang Mazaru Emoto melakukan penelitian bahwa air memahami rasa ini
Ya, air memiliki kemampuan rekaman sangat peka terhadap yang disampaikan oleh manusia. Berdasarkan penelitian Mazaru Emoto, air yang diberikan rasa terima kasih, kristal air dari molekul memberikan bentuk yang indah. Sebaliknya, bila air yang sama dicaci maki, maka kristal molekul air akan berbentuk buruk. Ini juga membuktikan mengapa otak kita terdiri dari 95% lebih dari carikan sehingga dengan mudah menyimpan memori ingatan. Dengan kata lain, semakin banyak kandungan cairan semakin mudah menyimpan memori terhadap sekitarnya.
Oleh karena itu, kita harus sangat hati-hati dan waspada terhadap pergaulan. Karena sesungguhnya segala sesuatu yang terdengar, terlihat, terasa di kulit atau pada rasa pencecap kita direkam dengan baik. Saya ingat cerita seorang teman.
Saat di sekolah lanjutan atas (SMA), ia sering bergaul dengan teman yang suka memaki. Yang dikeluarkan saat marah merupakan segala hewan berkaki 4 (empat). Ia tidak menyadari bahwa memorinya sangat merekam. Dan pada suatu saat ia marah, tanpa disadarinya terucapkan nama hewan-hewan berkaki 4. Dan sangat sedih bisa seakan dengan ucapan hewan berkaki 4, kita marasa bangga. Kita tidak sadar bahwa bisa saja sifat hewan yang berkaki 4 tersebut juga semakin menguasai watak atau sifat kita.
Kembali pada kearifan sesajen.
Menurut pemahaman saya, sebaiknya mengapresiasi yang diwariskan leluhur sungguhnya amat mulia. Janganlah melihat dari sudut pandang mereka yang belum atau bahkan tidak bisa belum memahami adanya interdependence antar makhluk. Saling menghargai atau apresiasi sangat membantu membentuk kelambutan Jiwa atau perasaan, inilah kemanusiaan dalam setiap manusia. Kemuliaan manusia ditujukkan dalam nilai kemanusiaan.Â
Oh ya, persembahan berupa tumbuhan, air atau bunga, atau bisa saja berupa aroma sangat membantu melembutkan rasa kita sehingga bisa lebih peka untuk mengembangkan rasa empati. Rasa empati berarti memahami kebutuhan oarng atau makhluk lain. Janganlah mempersembahkan sesuatu di luar kemampuan atau makhluk hidup. Karena tidak satu pun makhluk hidup bersedia dijadikan korna. Selain itu, ini merupakan tindakan kekerasan.Â