Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Saya Sedang Belajar Jadi Manusia

26 September 2024   06:30 Diperbarui: 26 September 2024   06:37 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar, membaca serta melihat berita pada layar kaca, saya semakin merenungkan diri sendiri, sepertinya sampai saat ini saya sedang belajar jadi manusia. Karena saya ingat satu ayat yang dituliskan pada salah satu kitab kuno, veda yang dituliskan oleh seorang resi : "Jadilah manusia"; manurbhava. Mungkinkah seorang lahir sudah langsung jadi manusia?

Belum tentu, perhatikan banyak berita di layar kaca tentang kesadisan seorang ayah di Jakarta Selatandengan kepala dingin telah membunuh anak kandungnya hanya karena cemburu pada istrinya. Masih adalagi peristiwa seorang ibu dengan sadar membiarkan anaknya digagahi oleh selingkuhannya. Ya, begitu sering kita membeca berita tentang tindak kekerasan di luar batas kemanusiaan. 

Yang saya sebutkan di atas masih sebatas tindakan kekerasan pada taran fisik, tetapi ketika kita berupaya melakukannya tindakan kekerasan untuk membunuh karakter seseorang dengan cara menyebarluaskan aib, ini juga bukan tindakan yang manusiawi. Keinginan atau kebuasan hewanniah yang terdapat dalam diri manusia diwujudkan dengan cara pembuhuhan karakter. 

Dengan hanya ters meyebarkanluaskan berita yang menjatuhkan nama orang yang tidak disukainya, ia telah melakukannya tindak kekerasan. Orang yang selalu terus mencari keburukan orang lain, tampaknya baik, tetapi inilah cerminan kekejaman yang ada dalam dirinya. Tampaknya tindakan kepahlawanan adalah sifat kehewanian yang terselubung. Dengan kata lain, sesungguhnya ia tidak sadar bahwa yang dilakukan seakan ia belum pernah melakukannya keburukan atau kesalahan. Ingatlah yang dikatakan Jesus ketika banyak orang melempari seorang wanita pendosa, kemudian Jesus berkata : "Yang merasa dirinya tidak berdosa boleh membatui wanita ini."

Berdasarkan hal tersebut, saya baru sadar bahwa saya saat ini juga sedang terus belajar menjadi manusia seutuhnya dengan cara belajar bagaimana memanggunakan neocortex dengan tepat. Karena hanya manusia yang dikarunia neocortex, bagian otak baru yang tugas dan fungsinya untuk menimbang dengan tepat segala perbuatan, pikiran serta ucapan Pada bagian otak baru inilah pikiran kritis kita terjadi. Bila belum juga memanfaatkan neocortex, berarti selama ini kita masih berada pada penggunaan sistem limbik, otak mamalia dan otak reptil.

Penggunaan otak mamalia berarti saya hanya hidup berdasarkan emosi, inilah sifat reaktif. Bukankah hewan juga hidup secara reaktif, lantas bedanya di bagian mana bila kita sekadar hidup berdasarkan emosi?

Dalam hal makan pun kita terkadang mengejar kenikmatan lidah, padahal sesungguhnya belum lapar sekali. Bandingkan dengan singa yang hanya memburu bila ia betul-betul lapar, dan bila masih ada sisa dari hewan buruan, sisanya disimpan. Setelah itu, ia tidur. Kita manusia? Terus menimbun makanan, bakan pada saat terjadi bencana alam, kita memburu baran pangan di super market tanpa memikirkan kebutuhan orang lain. Kita menimbun sebanyak mungkin untuk diri sendiri atau keluarga. Inilah keserakahan manusia.

Saat Ini mungkin saya bisa hidup dengan sadar bahwa sesama manusia juga butuh makanan sehingga kita bisa berbagi, namun siapa bisa menjamin bila besok saat terjadi bencana alam saya juga berlaku dengan serakah? Sama sekali tidak ada jaminan, kan? Sangat berbeda bila saat atau hari ini saya meninggal dalam keadaan sadar, sehingga tiada lagi hari esok saya bertindak seperti hewan dengan segala kerakusan dan nafsunya demi memuaskan nafsu indrawi.

Dengan kata lain, saya terus berupaya hidup sebagai manusia dengan terus menggunakan neocortex dalam berpikir, bicara serras bertindak. Sangat mudah caranya : "Perlakukan sesamamu sebagaimana dirimu ingin diperlakukan" Bila tidak mau dicubit, janganlah mencubit. Hanya dengan cara inilah kita terus berupaya mengembangkan kemanusiaan dalam diri kita. 

Jadi tidak mengherankan bila banyak orang yang abai terhadap anugerah Tuhan paling berharga : NEOCORTEX. Kebanyakan kita masih menurusi tiga hal : Makan/minum, tidur/kenyamanan indrawi serta seks. Ketiga Hal Ini diurusi oleh sistem limbik atau intelektual, neocortex berkaitan dengan intelegensi/buddhi.     

https://teologiareformed.blogspot.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun