Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengapa Para Pelaku Kejahatan Sering Diberikan Panjang Umur?

6 September 2024   06:37 Diperbarui: 6 September 2024   06:37 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu saya juga heran dan kesulitan menjawab pertanyaan ini, namun dengan perjalanan waktu melakoni meditasi (Gaya Hidup), saya memahaminya sebagai kemurahan Gusti. Hyang Maha Besar memberikan peluang untuk sadar akan kesalahan yang telah diperbuatnya. 

Dengan tidak segera diberikan umur pendek, sesungguhnya adalah berkahNya juga agar orang tersebut memiliki kesempatan untuk tobat serta kemudian memperbaiki diri. Sayangnya, banyak orang tidak memahami kebijakan Nya. 

Karena kita selalu mengukur berdasarkan kepicikan kita. Sama sekali kita tidak memahami kehendakNya. Ini juga berkaitan dengan kebodohan atau kepicikan kita sendiri yang mengukur kehendakNya sesuai keinginan kita. rasa tidak terima mengapa mereka yang telah berbuat jahat atau korupsi diberikan umur panjang hanya berlandaskan wawasan kepicikan kita. 

Bila direnungkan tampaknya adanya rasa iri hati atau adanya keinginan untuk melakukan hal yang sama; kejahatan yang sama. Hanya sayangnya, mereka berani melakukan sedangkan kita tidak. Oleh karena itu kemudian kita 'protes'

Ketidakberanian untuk melakukan yang merugikan sesungguhnya merupakan berkah. dengan demikian, sebenarnya kita mesti bersyukur akan hal ini, nah agar kita tidak iri hati karena tidak berani, maka sebaiknya kita mesti fokus pada berkah yang sudah diberikan olehNya. caranya sangat mudah...

Kembali fokus serta bersyukur terhadap segala sesuatu yang kita telah terima. Senantiasa bersykur serta terus menggali ke dalam diri sendiri agar bisa bertemu dengan Dia. Saya ingat kata bijak yang disampaikan seorang suci : "Hanya saat di dunia ini, kita bisa bertemu dengan Tuhan. Jangan berharap bisa bertemu dengan Tuhan setelah kematian tubuh."

Setelah saya renungkan, yang disampaikan oleh orang bijak tersebut memang sungguh betul. Bukankah dalam salah satu kitab suci yang disampaikan oleh seorang nabi di Timur Tengah juga sama : "Lihatlah wajah Allah di barat dan timur serta di mana-mana". 

Oleh karena itu dengan selalu mengingat pesan ini, maka kita berupaya terus menerus menyadarkan diri sendiri bahwa persembahan atau pelayanan kepada Tuhan hanya bisa dilakukan dengan melayani manifestasiNya, yaitu sesama serta lingkungan.

Sama sekali kita tidak berhak atau memiliki otoritas untuk menghakimi kebijakanNya. Yang kita tahu adalah bahwa kelahiran ini berkah, tanpa ada kelahiran kita tidak bisa memperbaiki diri sendiri. 

Dan, tujuan utama kelahiran adalah untuk memperbaiki diri sendiri. Ingatlan bahwa kelahiran kita terjadi karena adanya keburukan daam diri kita. Fokuslah selalu memperbaiki diri sendiri tanpa 'kepo' mengurusi orang lain, walaupun dalam pandangan kita, orang tersebut telah berbuat jahat. Jakinilah kebijakanNya.

Bila kita merasa terusik oleh kebijakan Gusti, berarti kita meragukanNya. Memang siapa kita? Don't play GOD. 

Dalam suatu kisah di dalam kitab Injil, Jesus bercerita akan seorang pemilik kebun anggur.

Seorang pemiliki kebun anggur memperkerjakan parah pekerjanya. Ketika seorang pekerja mulai pagi diberikan upah sama dengan pekerja 1/2 hari. Nah pekerja yang 'merasa' kerja dari pagi melakukannya protes. Mengapa yang baru datang pada siang hari diberikan upah sama. 

Inilah pikiran picik kita. Irihati karena merasa paling baik sehingga kita abai terhadap kebijakanNya. Yang sangat penting kita lakukan adalah fokus untuk perbakian diri sendiri. Dengan laku ini akan membuat kita bahagia dan sehat serta puas terhadap yang kita lakukan.

Setiap orang diberikan peran masing-masing. Satu hal lagi, bukan kah Dia juga yang bersemayam dalam diri kita? Sungguh menggelikan permainan Gusti, Dia yang menciptakan; Dia juga yang sedang bermain di panggung sandiwara. 

Penyakit irihati atau kepicikan pikiran hanyalah membuktikan ketidakmampuan kita untuk melakukan tranformasi intelektual. Sangat sederhana, kepicikan muncul dari intelektual, bukan intelegensi atau buddhi. 

Mohon maaf bila membingungkan pembaca atas artikel ini.........

Karena yang saya tuangkan juga merupakan kebingungan saya sendiri............. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun