Anehnya masyarakat.
Ketika kita menyimpan gambar bintang idola dari mulai penyanyi, pemain sinetron, atau pemain sepakbola dianggap wajar, tetapi ketika saudara kita yang memahami bahwa tanpa alam atau kekuatan dewa/alam kita hormati atau hargai, malahan dianggap menyembah berhala. Lantas apa bedanya?
Ya, karena memuja bi tang sinetron, penyanyi, atau pemain sepak bola dianggap biasa. Semuanya karena anggapan masyarakat. Pengaruh tekanan yang dianggap umum atau kebiasaan baik yang sudah tidak biasa di sekitar kita sering dwanggap sesat. Hanya masalah biasa atau tidak. Mungkin juga yang tampaknya umum sesungguhnya malahan sudah tersesat, warisan leluhur yang baik sesungguhnya tindakan tepat.
Bila merenungkan hal yang oleh khlayak umum wajar atau benar, namun sesungguhnya malahan menyembah berhala, ada pemikiran yang tidak tepat tetapi karena pendapat umum diikuti banyak orang, maka yang sedikit tindakan tepat dikatakan sesat. Aneh juga ya?
Memperhatikan keadaan tersebut di atas, jangan-jangan kebanyakan orang sudah terjebak dalam tipuan dunia ilusi sehingga yang tepat dilakukan, malahan dianggap sesat atau tidak boleh dilakukan?
Kekuatan suara tidak betul dilakukan, walaupun mayoritas dianggap baik secara moral. Mengenai yang disebut moral sesungguhnya karena dibuat oleh masyrakat, atau golongan yang banyak pengikutnya. Hal Ini sangat jelas ketika berada di dunia maya atau sosial media.
Terkadang suatu hal yang baik dikatakan, tetapi karena mayoritas netizen manganggap benar, maka itulah kebenaran. Sehingga tidak salah bila yang dikatakan oleh yang tidak tahu secara tepat, maka dianggap benar. Tidak salah bila yang dikatakan netizen 'maha benar'. Walaupun sesungguhnya hanya pendapat mayoritas orang yang kacau pikirannya. Inilah keadaan masyarakat kita.
Lantas apa yang diharapkan dari golongan yang tidak tahu dengan tepat akan menghasilkan sesuatu yang baik? Inilah yang dianggap demokrasi di negeri ini. Pokoknya yang banyak dianggap benar..........
Sangat tidak tepat bila ditinjau dari Sila ke 4,Â
"Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan"
Berarti, walaupun yang bijak hanya sedikit, tetapi semestinya suara minorias yang didengarkan atau jadi panutan. Bila demokrasi seperti ini yang dilakukan, maka kita menjadi waras. Karena setiap orang yang bijak atau menyuarakan hal yang bermanfaat bagi orang banyak akan jadi panutan.
Bila kita melihat berita, yang disampaikan oleh penulis berita adalah YANG DIINGINKAN OLEH MASYARAKAT bukan YANG DIBUTUHKAN.Â
Pokoknya banyak yang baca atau 'like' dianggap betul, walaupun bila direnungkan lebih jauh sesungguhnya tidak tepat. Atau malahan menjauhkan kita dari kebenaran sejati.
Kebenaran Sejati adalah yang mendekatkan diri kita ke Hyang Maha Sumber Kebenaran. Wah hebatnya permainan Hayng Maha Benar. Inilah sinetron kehidupan atau panggung sandiwara. Bukan kah semuanya juga dari Dia? Lantas mengapa mesti kecewa atau membuat kita hilang semangat bila yang semestinya selaras alam tidak disukai atau malahan dicemooh?
Buata atau tuliskan yang memang dibutuhkan oleh banyak orang, tidak peduli disukai atau tidak. Kepuasan diri lebih utama daripada mengikuti arus mayoritas. Bukan kah lahir, hidup, dan mati juga sendiri?
Rasa bahai bukan bergakung pada banyak orang bila tidak ingin kecewa atau hilang semangat.........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H