Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Matilah Selagi Hidup Untuk Kebaikan Roh

30 Agustus 2024   06:30 Diperbarui: 30 Agustus 2024   06:32 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : anandashram.com

Ya, hanya semasa tubuh hidup, perbaikan roh bisa dilakukan. Saya yakin cara pandang ini aman sangat tidak umum, namun inilah cara pandang saya yang memang tidak umum. Mengapa artikel ini saya buat?

Ketika saya renungkan bagaimana perjalanan roh yang disebut juga tubuh halus atau suksma sarira meninggalkan tubuh setelah otak tidak lagi aktif, bukan jantung ya. Karena ketika seseorang sedating dalam keadaan sakit parah di RS, sering diberikan bantuan alat untuk membantu karja jantung agar tetap berdenyut. Terkadang atau bahkan sering bahwa otak kita telah mati atau brain death yang berarti sebenarnya se seorang sudah mati beneran, namun bila dilihat dari monitor pemantau jantung, tampaknya masih ada denyut.

Denyut otak sangat sulit dimonitor kecuali alat khusus sehingga saat seseorang di ICU, tampaknya jantung masih ada denyut, tetapi besar kemungkinan otaknya telah mengalami kematian. Nah bila otak telah mengalami kematian, barulah seseorang dinyatakan meninggal dunia.

Saat otak mengalami kematian, kualitas roh kita tergantung saat akhir kematian, bila yang dipikirkan mengenai kebendaan atau dunia berarti roh yang meninggalkan tubuh sekualitas saat akhir kematian. Karena hanya melalui perangkat keras atau hardware otaklah kualitas pikiran bisa diubah. Tanpa adanya otak sebagai perangkat keras untuk mengekspresikan pikiran atau mind bisa mengalami transformasi.

Adalah tujuan kehidupan ini transformasi intelektual menjadi intelegensi; dari pikiran tentang kebendaan, intelektual menjadi buddhi atau intelegensi. 

Perlu dipahami bahwa penggunaan intelektual berarti semata berkaitan dengan nafsu indrawi. Segala sesuatu yang berkailan dengan nafsu indrawi dapat dipastikan menggunakan intelektual. Belajar untuk mendapatkan gelar, menyumbang agar data nama baik atau jaminan surga setelah kematian, berhubungan dengan sesama manusia demi kenyamanan indrawi semuanya menggunakan intelektual.

Sangat berbeda dengan intelegensi atau buddhi yang terkait dengan perbuatan tanpa pamrih atau kepemilikan. Melayani sesama demi kebaikan bersama atau katakan segala perbuatan yang memiliki tujuan untuk kesejahteraan bersama atau perbuatan yang selaras dengan alam atau dharma inilah yang disebut perbuatan mulia.

Para suci, nabi atau avatar menggunakan intelegensi, sedang kita yang belum sadar akan kesejatian diri mayoritas berada di ranah intelektual. Transformasi intelektual menjadi intelegensi hanya bisa dilakukan semasa ada perangkat keras atau hardware. Bila saat hidup kita bisa melakaukan transformasi tersebut, saat roh mesti meninggalkan tubuh, kualitas roh kita memiliki kemuliaan.

Transformasi tersebut hanya bisa dilakukan pada saat memiliki otak atau perangkat keras. Seakan syaraf otak kita tersusun sedemikian rupa sebagaimana susunan syaraf para suci yang semasa hidup memang dalam kualitas intrelegensi atau buddhi. 

Dengan demikian gunakan waktu hidup kita untuk melakukan transformasi tersebut. Dalam hal keadaan ini disebut 'MATILAH SELAGI MASIH HIDUP'

Apa yang mesti kita matikan atau shut off? Pikiran intelektual atau pola pikiran yang semata hanya mementingkan diri atau kelompok atau golongan sendiri. Kita tidak memikirkan kepentingan umum atau kesejahteraan bersama. Bisakah ini terjadi?

Amat sangat bisa, hidup secara meditatif atau hidup berkesadaran. Meditasi adalah gaya hidup secara sadar. Latihan-latihan meditasi adalah persiapan agar bisa hidup secara meditatif.

Oleh karena itu, janganlah sampai kita mensia-siakan otak kita hanya untuk memikirkan kenyamanan badan. Sungguh berkah kita lahir dengan tubuh lengkap serta sehat. 

Hidup hanya untuk kenyamanan tubuh atau indrawi berarti kita berbudek pada kebendaan. Betapa ruginya hidup yang demikian. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun