Nabi adalah utusan untuk berbagi berita kebaikan serta kegembiraan. Bagi pemahaman saya, nabi tidak perlu dipilih olehNya. Karena setiap orang juga telah manunggal dengan Dia. Tidak ada seorang atau makhluk satu pun di luar Dia. Bukan kah dalam semua kitab, terutama yang secara khusus diturunkan di wilayah yang sering ricuh, 'Dia lebih dekat dari urat lehermu; WajahNya di barat , di timur, dan di mana-mana.'Â
Kemukjizatan seorang utusan adalah sifatnya mulia. Kemuliaan mereka terletak pada rasa kasihNya terhadap alam semesta. Yang mereka perbuat selalu mengutamakan kepentingan bersama atau mungkin bisa saya pendekkan hidup selaras dengan alam. Pikiran, ucapan serta perbuatan para suci tidak berpihak pada kepentingan golongan serta pribadi. Mereka hidup berlandaskan buddhi atau intelegensia. Bukan intelektual.
Nah bukan kah tergantung diri kita?Â
Akahkah kita hidup di ranah intelektual yang memiliki dua sifat yang selalu bertentangan, atau kita berupaya hidup selaras dengan alam?Â
Dari pesan gambar di atas, saya baru menyadari bahwa amat sangat memungkinkan bagi setiap orang untuk menentukan pilihan, mau jadi manusia pilihan semesta atau menjadi insan yang bukan pilihan alam semesta. Menjadi pilihan alam semesta berarti kita melakukan misi yang juga dilakukan oleh para suci, nabi atau utusan Tuhan. Jangan berharap mukjizat yang mungkin kita anggap luar biasa seperti bisa menymebuhkan orang buta, membangkitkan kematian seperti Jesus.Â
Namun pernahkah kita ingat, apa yang dikatakan Jesus saat menyembuhkan orang buta atau lumpuh? Dia berkata : "Keyakinanmu yang menyembuhkan dirimu" Dia tidak pernah berkata bahwa beliau yang menyembuhkan kebutaan atau kelumpuhan seseorang. Bila kita mau melakukan juga bisa, tetapi bukan kebutaan atau kelumpuhan phisik. Tanpa kita sadar bahwa sesungguhnya kita buta dan lumpuh. Â Dengan demikian yang mesti kita sembuhkan adalah diri kita yang buta dan lumpuh.
Buta terhadap pengetahuan sejati, pengetahuan yang telah juga disampaikan para suci bahwa kita mesti memberdaya diri sendiri. Jangan terjebak dengan pengetahuan yang menarik kita menjadi manusia dengan identitas palsu. Identitas yang disematkan oleh lingkungan kita, baik seperti gelar, orang pinter, orang kaya, atau orang baik. Pujian-pujian dari orang yang tidak menyadari adanya keilahian dalam diri sama saja pujan yang semakin menjauhkan kesejatian diri kita.
Kelumpuhan yang kita derita adalah ketidakmampuan kita untuk bangkit dari keterpurukan, dari kejatuhan kita. Ketahuilah bahwa kelahiran saat ini merupakan peluang emas yang diberikan oleh alam semesta. Dengan kelahiran kita saat ini, sesungguhnya secara tidak langsung alam semesta telah menunjuk kita menjadi insan terpilih.Â
Bila kita mampu menyembuhkan diri dari kebutaan dan kelumpuhan, selanjutnya kita berbagi dengfan sekitar atau masyarakat sekitar dengan cara melayani sesama manusia serta alam sekitar. Marilah kita tanamkan daam diri kita bahwa sebenarnya kita tidak bisa menyelamtkan alam, yang bisa kita lakukan adalah melayani alam. Kita tidak memiliki kemampuan menyelamatkan alam. Alamlah yang bisa menyelamatkan kita dengan catatan : 'KIta melayani alam.' Memang siapa diri kita bisa menyelamatkan alam.
Bila kita mengatakan bahwa diri kita bisa menyelamatkan alam, tanpa sadar kita telah meninggikan ego, beda bila kita menempatkan diri lebih rendah; melayani alam.
Ingatlan bahwa penderitaan kita terjadi karena ego atau ahamkara. Sifat yang menghacurkan alam sekitar serta lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H