Amat sangat memungkinkan hidup dalam dunia yang sama, tetapi alam beda. Dunia yang kita kenal selama ini adalah dunia benda, alam pikiran kita bisa beda. Misalnya, kita duduk bersama sambil minum kopi, tetapi setiap orang duduk sambil memegang hape masing-masing. Setiap orang sedang berselancar dalam alam pikiran masing-masing. Belum lagi bila tampaknya ngobrol serta tertawa, tapi setiap orang sedang memikirkan masalah kantor atau keluarga. Bukan kah mereka hidup dalam alam pikiran masing-masing?
Kemampuan untuk hidup di alam masing-masing amat sangat berguna untuk melampaui dunia benda. Masih ingat bahwa ketika kita terbenam dalam dunia benda, maka dapat dipastikan kita hidup daam penderitaan. Karena ini merupakan ranah pikiran/intelektual, ranah dualitas; ada duka ada suka. Untuk melampaui alam pikiran atau mind hanya bisa dilakukan dengan melakukan transformasi dari intelektual menjadi intelegensi/buddhi.Â
Ya hanya bisa dilakukan saat masih berbadan kasar, karena kita masih memiliki perangkat keras atau hardware tanpa otak sebagai perangkat keras, transformasi tidak akan bisa. Seandainya semasa kita di dunia benda atau masih hidup, seluruh perhatian atau pikiran kita masih berada di ranah alam benda, maka setelah kematian, roh kita yang terdiri dari pikiran dan emosi terus berada di alam benda. Bukan kah dunia benda juga menarik dunia pikiran bendawi?
Pikiran yang berkualitas bendawi akan memiliki gravitasi sehingga tidak bisa lepas ke dimensi yang beda. Inilah sebabnya kebanyakan roh yang belum bisa move on dari dunia benda hidup di sekitar manusia. Celakanya lagi, banyak orang yang tidak memahami bahwa si roh mesti melakukan perjalanan lebih lanjut, malahan kadang dipanggil oleh orang-orang tertentu.
Bila kita bisa melakukan transformasi intelektual menjadi intelegensi, maka kita bisa bisa hidup dengan tanpa keluhan terhadap segala peristiwa yang kita hadapi di dunia. Kita bisa memandang seutuhnya, karena kita bisa memahami bahwa kehidupan memang demikian adanya.Â
Ada siang ada malam; ada senang ada sedih; ada siang ada malam; ada sehat ada sakit. Keluhan terjadi sebagai akibat kita merasa menderita sendiri. Bukan kah sinetron yang kita tonton berasa hambar, bahkan sama sekali tidak menarik bila semua pemainnya damai. Emosi si penonton tidak akan dimainkan naik dan turun bila semuanya baik. Adanya si jahat dalam sinetron, kemudian ada yang baik, maka kita menjadi tertarik atau suka terus menonton sandiwara tersebut.
Dengan kita bisa melampaui alam mind atau pikiran/intelektual, kita bisa melihat dengan pikiran lebih terbuka. Ibarat kita sebelumya berada di lantai satu, kemudian kita bisa nain ke lantai 3 (tiga), maka kita bisa melihat segala sesuatu menjadi lebih indah. Saat di lantai satu yang kita lihat hanyalah semak belukar, begitu berada di lantai 3 (tiga), kita bisa melihat bahwa di balik smak belukar ada pemandangan yang lebih indah.
Ada kisah seorang suci, ketika mereka ditanya : 'Apa bedanya sebelum pencerahan dan setelah pencerahan?'
Sang petapa pun menjawab : 'Sebelum sadar saya minum teh sebagai hal biasa saja. Namun setelah pencerahan, saya bisa bersyukur dan merasa bahwa begitu besar anugerah Tuhan dengan minum teh yang sama.' Teh yang diminum tetap sama, alam perasaan atau cara pandang dalam mensyukurinya beda.Â
Dengan pola pikir yang lebih ceria serta terbuka, sang petapa melayani sesama makhluk hidup sebagai ungkapan syukurnya. Bukan karena terpaksa, ia bisa dengan ceria melayani sesama. Walaupun terkadang yang dilayani tidak bisa menerimanya dengan pikiran terbuka, sang retapa tetap ceria. Ia bisa melihat bahwa setiap orang maman memiliki keuinikan masing-masing. Inilah keberagaman dunia benda..........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H