Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Lakoni Kehidupan Sebagaimana Burung Berkicau Ceria

16 Agustus 2024   06:30 Diperbarui: 16 Agustus 2024   06:34 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penderitaan serta kepedihan yang kita rasakan sebagai akibat hasil yang tidak sesuai dengan harapan. Inilah program yang diseting oleh  intelektual. Selama kita berada di ranah intelektual, kita akan selalu mengalami penderitaan. Dengan kata lain, kita berada pada kemelrkatan dunia benda. Atau yang lebih parah lagi kita menjadi budak bendawi atau indrawi. Inikah kualitas hidup yang kita dambakan?

Sama sekali tidak tepat. Setiap manusia ingin menggapai kebahagiaan. Yang jadi masalah adalah bahwa kita belum bisa mengerti tentang atau makna kebahagiaan. Selama ini pemahaman kebahagiaan masih pada ranah intelektual atas dasar untung rugi. Tidak salah memang, karena kita hidup dalam dunia benda. Yang jadi pertanyaan adalah : "Mungkinkah kita melampaui dunia benda saat hidup di dunia?"

Jawabannya sangat jelas : "Inilah saatnya kita hidup melampaui dunia benda. Sama sekali tidak ada gunanya kita menunda atau menunggu setelah kematian menjemput." Bila ini yang kita lakukan, kita telah mengabaikan anugerah kehidupan. Tidak mudah teman bagi yang telah lahir saat ini." Banyak roh antri untuk lahir kembali. Bila kita bisa memahami bahwa hidup saat ini merupakan peluang emas agar bisa melakukannya transformasi dari intelektual menjadi intelejensia, maka kita mesti bersyukur dengan jalan memanfaatkan dengan baik berkah kelahiran. Dan ini sangat memungkinkan....

Baranya sangat mudah, 'Hiduplah dengan ceria seperti burung berkicau dengan bebas di alam' Tidak rasa khawatir, takut atau gelisah si burung berkicau dengan ceria di pagi hari. Bebas dari rasa takut, khawatir atau gelisah. Setelah saya renungkan, jawabannya sangat sederhana, burung berkicau dengan ceria karena mereka menyadari bahwa hidup di dunia merupakan ungkapan adanya kemanunggalan dengan Hyang Mahahidup. Tidak ada keterpisahan antara sang pencipta dan yang diciptakan.  Penderitaan terjadi bila ada perasaan keterpisahan antara kita dan Tuhan. Cara pikir ini secara turun temurun diwariskan oleh generasi tua ke generasi berikutnya.

Mari simak pesan Bhagavad Gita yang merupakan warisan leluhur nusantara. Leluhur kita semua, 

"Berkaryalah dengan kesadaran Jiwa, kemanunggalan diri dengan semesta, wahai Dhananjaya (Arjuna, Penakluk Kebendaan. Berkaryalah tanpa keterikatan pada hasil, tanpa memikirkan keberhasilan maupun kegagalan. Keseimbangn diri seperti itulah yang disebutkan Yoga" (2:48)

Ya, kesadaran dengan semesta merupakan keniscayaan. Kita hidup secara manunggal dengan Dia. Sama sekali tidak ada keterpisahan antara manusia dan Tuhan. Ingatlah bahwa kita ini merupakan sinar, dan Dia sang matahari. Tidak ada sinar matahari bisa eksis tanpa matahari. Itulah kita serta semua benda di sekitar kita. 

Nah bila kita ciptaanNya dan Sang Pencipta telah secara almi manunggal, berarti kita memiliki kekuatanNya juga. Karena Dia ada dalam diri sera melingkupi kita. Sangat tidak tepat bila kita meletakkan diri kita di bawah sesama ciptaan, benda serta alam. Namun bukan berarti kita merendahkan semua benda serta alam. Tanpa kehadiran alam serta segala pernak-pernik alam, kita akan hancur atau mati juga.

Burung berkicau merdu sebagai ungkapan rasa syukur, mereka tidak butuh penghargaan atau pujian dari manusia untuk berkicau dengan merdu. Tanpa rasa khawatir atau kecewa bila tidak dipuji oleh manusia. Mungkin banyak orang akan membantah, mereka, kan hewan, beda dengan manusia. Sangat betul, ini karena kita berharap akan hasil dari kerja kita. Namun ingatlah bahwa penderitaan kita terjadi karena hasil tidak sesuai dengan harapan. Sesungguhnya dengan kata lain adalah bahwa kita tidak yakin akan kemanunggalan kita dengan semesta atau Tuhan. Pikiran picik kita yang menciptakan pemisahan antara ciptaan dan Sang Pencipta. Inilah anggapan dari pikiran yang menjadi sumber masalah penyakit atau penderitaan kita.

Oleh karena itu, Marilah kita melampaui pikiran intelektual yang menjadi sumber penyakit dengan cara melakukan transformasi  intelektual menjadi intelegensi. Pada ranah buddhi kita berada di ranah senantiasa bersyukur. Berita gembiranya, transformasi ini hanya bisa dilakukan pada saat kita hidup di dunia benda.

Dengan meyakini adanya hukum alam : Setiap Aksi akan menimbulkan Reaksi. Ini hukum tak terbantahkn. Bila kita berupaya keras, mk hasil yang baik pun akan datang. Timbul bantahan lain : "Banyak yang sudah berupaya dengan keras, tetapi tidak sesuai dengan upayanya"

Hal ini juga sangat mungkin. Sebagai contoh, seorang petani telah menanam dengan segala proses yang baik, namun masih ada faktor cuaca di luar kendali kita, maka hasil panen pun gagal. Ya, tidak bisa dihindari masih ada hukum lain, hukum sebab-akibat. Ingatlah bahwa kita mesti melakukan introspeksi diri, apakah perbuatan kita sebelumnya baik atau pernah melakukan sebab buruk sehingga kita mesti memetik hasilnya pada masa panen?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun