Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pandanganmu Bagimu, Pandanganku Bagiku

5 Agustus 2024   06:30 Diperbarui: 5 Agustus 2024   06:37 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Cara pandang setiap orang beda-beda, walaupun obyeknya sama. Karena memang kebenaran banyak memiliki hudut pandang, yang mesti menjadi landasan adalah akibat perbuatannya, artinya bila sudut pandang kita dipaksakan terhadap orang lain, kita mesti menanggung sendiri. Tidak perlu bicara tentang karma, nanti akan beda lagi. Landasilah perbuatan kita dari sudut pandang hukum Newton; hukum aksi reaksi.

Sebagai contoh : hewan sapi. Sebagian besar orang memiliki cara pandang dari kenyamanan indra pencecap/ lidah, sehingga mereka mengkonsumsinya. Mungkin juga karena tidak ada larangan dari kepercayaan yang dianutnya, tetapi sebagian menyadari bahwa daging merupakan makanan yang disukai sel radikal atau kanker. Atau juga bisa belajar dari pengalaman bahwa konsums daging berdampak pada emosi. Bukankah obyeknya : daging sapi sama?

Demikian juga rasa gudeg. Bagi orang yang belum pernah mencoba rasanya, maka melihat tampilannya bisa menghilangkan selera makan. Ada kisahnya : "Ketika orang bule melihat teman dari Indonesia mendapatkan kiriman gudeg yang warnanya tidak menarik, si bule langsung ingin muntah. Namun setelah mencici[i, ketika pergi ke Yogyakarta, ia mencari gudeg sebagaimana persah dicicipinya. Inilah persepsi rasa...

Namun lucunya, banyak orang yang masih memaksakan kehendak bahwa kepercayaan yang dianutnya paling baik sehingga melakukan perbuatan yang berupa pemaksaan kehendak, tidak sadar bahwa ini disebut sebagai perbuatan kekerasan. Mereka yang melakukan perbuatan kekerasan mesti menanggung akibat perbuatannya. Tampaknya membela keyakinannya, tetapi orang tersebut telah berasumsi bahwa suatu cara pandang sesungguhnya memiliki banyak sisi.

Demikian juga saat kita mengikuti suatu kegiatan, misalnya kegiatan alumni yang hendak mengadakan reuni setelah puluhan tahun, tampaknya baik, namun kegiatan seperti ini hanya membuktikan bahwa saatnya bergerak ke depan. Berkumpul dengan teman waktu SMA setelah 50 tahunan sama sekali tidak memberikan manfaat, karena bisa saja terjadi sesuatu dalam pertemuan tersebut. Menurut cara pandang saya acara reuni seperti ini sama sekali tidak membuat kita lebih baik. Mengapa?

Kita kembali terjebak dengan pikiran positif palsu. Ketemu teman lama data dipastikan membicarakan tentang masa lalu. Dengan cara ini, kita tidak bisa melihat ke dapan. Kita kembali ke rekaman masa lalu yang mestinya sudah mulai dihapuskan. Ingatan masa lalu kebanyakan berupa emosi, dengan kata lain kita masih berada di ranah otak intelektual; emosi. Semakin banyak yang kita bicarakan dengan teman-teman lama, tampaknya senang, namun inilah yang disebut dengan positif palsu. Belum lagi bila ada perasaan sakit hati di masa lalu, bisa-bisa memori lama terpanggil kembali.

Dengan berkumpul teman lama, kita tidak berada di masa kini. Semakin banyak memori terpanggil, semakin kuat emosi semakin sulit berkembang intelegensi atau buddhi kita. Namun demikian, yang saya tuliskan di atas juga merupakan sudut pandang saya. Sama sekali tidak ada pemaksaan dalam melihat perspektif. Saling menghargai serta mengarifi membuat dunia semakin indah........  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun