Selama ini, kita membayangkan bahwa kesempurnaan diri adalah bila masyarakat sekeliling kita tidak komplain terhadap yang kita perbuat. Suatu anggapan yang keliru sekali. Tidak satupun manusia bisa menyenangkan semua orang, bahkan nabi yang kita anggap jadi panutan pun pada akhirnya kecewa, dalam arti mereka merasa begitu berat mengubah cara pandang masyarakat.Â
Para suci atau utusan Hyang Maha Sempurna juga bingung, bagaimana cara menyampaikan bahwa yang ia alami juga bisa dialami oleh orang awam. Â Tiada satu orang pun yang istimewa. Setiap orang mesti melakoni suatu proses agar menjadi baik atau sampurna. Kita anggap bahwa kesempurnaan akan terjadi bila tidak ada tuntutan ini dan itu terhadap kita. Kita lupa bahwa tuntutan dari masyarakat berasal dari pikiran yang tidak sampurna.Â
Sebenarnya tuntutan dari masyarakat agar seseorang menjadi sempurna adalah muncul dari ungkapan cerminan dari dalam diri. Karena ketidakmampuannya, maka ia mengharapkan adanya kesempurnaan dari orang lain, apalagi yang dianggap sebagai panutannya. Lucunya, orang tersebut tidak bersedia dikritik demi menggapai sesuatu yang lebih baik.
Pikiran yang masih didasarkan pada kesadaran tampilan luar. Ya hanya pada kesempurnaan menurut ukuran mereka. Padahal, kita tahu bahwa yang namanya kesempurnaan tidak bisa muncul dari sesuatu yang tidak sempurna.
Segala tuntutan dari masyarakat tentu didasarkan pada ukuran sesuai standar diri mereka. Bila mereka juga tidak bisa dikatakan sempurna, bagaimana mungkin hasilnya juga bisa sempurna? Karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda. Memiliki cara pandang yang berbeda. Jadi tidak ada satupun yang sempurna di atas bumi ini.
Kita sendiri yang harus mengubah cara pandang atau persepsi, yaitu dengan cara menyadari bahwa kita berasal dari Hyang Mahasempurna. Dengan aqggapan ini diharapkan kita berhenti menuntut kesempurnaan dari orang lain. Saat kita mampu berhenti menuntut, kita ubah mengamati kondisi diri sendiri. Sadari adanya kesejatian diri, berhentilah menuntut kesempurnaan di luar diri. Dengan menyadari bahwa sesuatu menjadi indah dan baik, bila cara pandang kita baik.Â
Will bukanlah Desire
Seseorang yang saya anggap sebagai Master, pada suatu ketika mengutarakan wejangan; 'Will berbeda dengan Desire. Will adalah kesiapan diri untuk berupaya kuat, dan tidak menunggu waktu lagi untuk berpikir. Sementara 'desire' atau keinginan masih sebatas keinginan. Dengan kata lain, belum melakukan upaya; masih keinginan.
Dari buku yang dituliskan oleh Anand Krishna :
Kita tidak bisa mengendalikan orang lain, pun tidak dapat mengendalikan kondisi di luar. Tetapi, kita bisa mengendalikan diri. Sebab itu, kita juga bisa mengubah diri, mengatur diri, dan mengupayakan kesempurnaan diri.
Ya, selama ini kita anggap bisa mengendalikan kondisi sekitar kita. Ini yang dilakukan oleh Hitler. Ia berusaha menguasai dunia. Menurut pikirannya, bila ia bisa mengusai dunia, maka ia akan bisa menciptakan kedamaian dunia. Yang terjadi sebaliknya. Kekacauan. Karena keinginan atau desire untuk menciptakan kedamaian berasal dari nafsu. Keinginan merupakan manifestasi dari nafsu. Ini dari pikiran yang belum terkendali atau belum sempurna, ini yang disebut intelektual. Pikiran yang belum bertransformasi menjadi intelejensia atau Buddhi.
Kedamaian bisa terwujud bila dan bila setiap orang memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri. Dan saat itu kedamaian merupakan suatu kejadian. Bukan lagi keinginan tetapi merupakan keadaan. Keadaan yang terjadi akibat setiap orang mampu mengubah intelektual menjadi Buddhi.