Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Membuktikan Diri Penyembah Tuhan

8 Juni 2024   06:30 Diperbarui: 8 Juni 2024   07:04 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya berkata bahwa saya penyembah Tuhan, tanpa disadari kita membuat batas perpisahan. Bagaimana tidak? 

Kata berasal dari pikiran, dengan kata bahwa saya sudah menyembah Tuhan, saya membuat jarak antara Tuhan dan diri. Mungkinkah kita terpisah? Sangat tidak mungkin. Apalagi bila kita berteriak bahwa Dia Maha Besar. Bila Dia Maha Besar, mungkinkah kita di luar Nya?

Apalagi kita berkata bahwa bisa membela Tuhan. Saat merasa bisa membela, saat itu terjadi keterpisahan. Ketika mengatakan keterpisahan, ia sudah mengingkari ayat atau pesan Suci yang tertuliskan daam satu kitab, : 'Tuhan lebih dekat dari urat lehermu'

Makna atau ungkapan tersebut berarti tidak ada keterpisahan antara Tuhan dan manusia. Karena bila terjadi keterpisahan, saat itu juga tiada kehidupan. Kehidupan berarti perkembangan. Boleh dikatakan pikiran gila...... 

Tiada yang melarang. Tetapi coba rasakan...

Kembali ke pokok masalah, lantas bagaimana membuktikan bahwa sebagai panembah Nya?

Mulai dri ucapan, ucapan serta perbuatan selaras dengan Dia. Karena ketika kita mengatakan saja tanpa berbuat, kita telah menunjukkan kesombongan karena menyatakan adanya keterpisahan. Mengapa? 

Karena merasa bisa hidup di luar Dia Hyang Maha Hidup. Sama sekali tidak masuk akal saya.

Seseorang sombong, berarti ia seorang yang tidak berani bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Bukan kah dalam kitab suci yang sama juga dikatakan bahwa setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri? Bahkan lebih detail dikatakan bahwa setiap anggota tubuhmu bertanggung jawab atas perbuatannya. Sayangnya pada saat ini, ayat ini sudah dilupakan, atau mungkin tidak lagi diyakini kebenarannya. Ini terbukti dari segala ucapan serta perbuatannya. Paling sederhana dengan mengatakan ucapan SELAMAT SAJA dianggap tidak benar, bagaimana lagi bisa berkata bahwa kepercayaan yang kuanut tidak lebih baik daripada yang kau anut.

Semakin orang merasa bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, ia akan semakin rendah hati. Ia semakin takut untuk melakukan perbuatan yang di kemudian hari akan berakibat pula pada dirinya. Ia sangat yakin adanya hukum sebab-akibat yang memelihara kehidupan. Ia tidak lagi bisa menipu dengan beralasan bahwa perbuatan buruknya akan bisa dibeli dengan perbuatan baik. Di sana merampok duit rakyat, di sini beramal pada anak yatim. Ia telah memperkosa hukum Tuhan.

Banyak orang yang menganggap Tuhan tukang pencuci dosa. Begitu kata pemimpin kepercayaannya. Ah...menyumbang sekian lah dari hasil rampokan duit rakyat. Ya, cukup sekian persen bisa mencuci dosanya. Maman Tuhan pencuci dosa? Enakkk sekali cara berpikir seperti inj. Ia lupa bahwa perbuatan baik dibalas baik. Perbuatan buruk dibalas buruk. Jika perbuatan buruk bisa dibeli perbuatan baik, ini bukan hukum timbal balik. Ini hukum dagang. Hukum manusia yang suka suap menyuap. Mengapa masih menggunakan hukum manusia yang penuh tipu daya ketika berusan dengan diri sendiri?

Baca dan renungkan yang hasil temuan DR. Masaru Emoto. The Hidden Massage from Water. Ini juga membuktikan bahwa Tuhan dalam seorang Masaru Emoto membuktikan yang pernah diungkapkan para suci sebelumnya.

 Pesan untuk mengingatkan bahwa tubuh manusia teridiri dari 70 persen air. Singkat kata saat kita berpikir buruk terhadap orang lain sesungguhnya kita sudah menciderai diri sendiri.

Dari buku The Miracle of Endorphin by Dr. Shigeo Haruyama kita semua mendapatkan bukti bahwa ayat Ilahi juga bertebaran di muka bumi. Ternyata pesan tidak harus disampaikan melalui agama tertentu. Dokter dari Jepang yang melakukan penelitian bahwa saat kita bersyukur dan berpikir serta berbuat baik, maka tubuh menghasilkan hormon beta endophin. Hormon yang membuat tubuh sehat. Sebaliknya, ketika pikiran kita marah, kecewa, sakit hati, dendam dan marah, saat itu tubuh menghasilkan hormon beracun yang disebut nor - adrenalin.

Suka - suka Dia. Memang kita yang memiliki kewenangan mengatur Tuhan??? Bukan kah jika kita menganggap bahwa pesan suci harus disampaikan oleh orang agama tertentu sesungguhnya kita juga sudah berpikir melenceng dari kitab suci yang diyakininya? Bukan kah jelas tertulis bahwa Ayat Tuhan beretbaran di atas bumi. Bukan kah 'Wajah Allah di barat, timur, dan di mana - mana? Kenikmatan apa lagi yang kau ingkari?

Semoga kita selalu ingat pesan suci. Tuhan lebih dekat dari urat lehermu. Ini bukan kesombongan, sebaliknya merasa bertanggung jawab bahwa sifat yang terkait dengan Dia semestinya menjadi laku kehidupan. Sabar adalah pintu ntuk menembus gerbang Nya....

https://id.wikipedia.org/wiki/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun