Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengapa Sampai saat Ini, Kita Belum Bisa Melahirkan Manusia Unggul

23 Mei 2024   06:30 Diperbarui: 23 Mei 2024   06:31 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang saya maksudkan sebagai manusia unggul adalah yang sekualitas pujangga kita dulu, seperti Sanusi Pane, Mohammad Hatta, Soekarno dan ahli ekonom seperti Soemitro, Adam Malik, dan politikus era tahun 1960 an atau sebelumnya.

Karena mereka memang ditempa atau digembleng atau dibentuk oleh keadaan yang seabag sulit. Ya, bagaikan seekor kepompong yang hendak bertransformasi menjadi kupu-kupu. Bila saat si kepompong masih di dalam kemudian saatnya hendak membuka kepompong, kita bantu, maka dipastikan sayap kupu tidak akan terbentuk. Saat si larva selesai bertapa dalam kepompong mau menjadi kupu, saat itu si larva menggunakan seluruh energi dan daya ciptanya. Akhirnya sayapnya pun terbentuk.

Demikian juga sosok manusia unggul tidak akan bisa lahir saat dalam keadaan aman dan damai. Apalagi kelahiran era sekarang yang kesadaran untuk konsumsi jenis makanan yang berkualitas terhadap Kesehatan pun tidak memiliki. Bahkan mereka sama sekali menjadikan diri manja. Ini juga karena kurangnya kesadaran dari para ortu yang cendrung meninabobokan anak. Misalnya di sekolah, saat seorang guru sedikit membentak saja, si anak sudah melaporkan kepada ortunya. Alhasil, bukan si anak yang dikeluarkan atau diberikan hukuman, tetapi si guru yang mendapatkan sanksi berupa teguran. Keadaan seperti ini yang menjadikan anak manja seta tidak mandiri. Hampir tidak memiliki daya juang.

Para ortu tergalu melindungi si anak, mereka tidak memiliki keberanian untuk berjuang di atas kemampuannya sendiri. Anggapan yang salah terhadap yang disebut atau dinamakan kasih telah mengalami distorsi. Rasa kasih mendorong anak mandiri dan berani bertanggung jawab atas perbuatan sendiri. Kasihan membuat si anak tidak memiliki kemampuan untuk mendiri; OVER PROTECTED.

Belum lagi dari kualitas atau jenis makanan yang membuat seorang anak menjadi bebal. 

Tentang asupan yang diberikan pada anak pun kita belum mengerti bahwa makanan junk food telah mengalami proses yang berlebihan sehingga menghilangkan segala nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Dengan kata lain, si anak menerima asupan sampah, alias tanna nutrisi. Semata demi kenyamanan indrawi/lidah dan kemudahan untuk memasak.

Segala makanan yang dibuat oleh para pedagang sama sekali tidak memikirkan nustrisi yang diburuhkan tubuh, karena memang tujuan mereka berjualan untuk menghasilkan uang. Sangat beda dengan maiakan yang dibuat oleh seorang ibu. Mereka memasak demi menyajikan masakan yang memiliki nutrisi tinggi untuk Kesehatan anak. Memasak penuh rasa kasih.

Kualitas lingkungan yang serba instan juga telah mendorong seseorang menjadi malas. Rasa malas ini mendorong kita semakin lemah terhadap kemampuan untuk berpikir kritis. Kita cendrung menggunakan emosi untuk menganalisa, suka atau tidak suka. Hal ini juga tidak lepas dari dunia medsos yang semakin membanjiri rumah kita. Informasi instant tanpa lagi ada proses pengolahan seperti junk food membuat kita sema kin malas baca buku. Karena saat membaca buku, nalar atau otak kita juga melakukannya analisa. Medsos yang penuh kebohongan ditelan begitu saja, tanta lagi melakukannya cek dan recek. Dengan emosi atau otak limbik/mamalian brain kita bereaksi; reaktif. Bukankah reaktif merupakan sifat atau instink hewan?

Terus terang, saya sebagai generasi kelahiran tahun 1950 an, sangat khawatir tentang masa depan negara ini. Tetapi yan sudah lah, apa yang menjadi keresahan atau kekhawatiran telah saya tuangkan pada tulisan ini, cukuplah.......

Dunia materialistik semakin menguat, ya kaum tua seperti angkatan saya hanya bisa berdoa.......

Ternyata kualitas pemimpin ke depan pun akan semakin terpuruk. Bagaimana tidak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun