Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Criticism Bukanlah Critical Thinking

13 April 2024   06:30 Diperbarui: 13 April 2024   06:42 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak sekarang orang yang begitu mudah melakukan kritis, namun sesungguhnya belum bisa dianggap menggunakan pemikiran kritis (Critical Thinking). Mereka yang berteriak seakan meneriakkan kritis, sesungguhnya belum memahami pola pikir yang kritis.

Kritik yang saat ini banyak dilontarkan di medsos masih berdasarkan emosi. Padahal segala hal yang masih berlandaskan emosi belum menggunakan neocortex. Emosi masih pada ranah penggunaan otak mamalia, reaktif. Yang disebut emosi pun merupakan energy in motion. Energi yang senantiasa berubah. Bisa juga mereka yang melakukan kritik semata hanya untuk kepentingan diri sendiri, atau lebih besar lagi golongan yang disukainya.

Kadang kritiknya begitu tidak sopan. Kita lupa bahwa budaya yang kita warisi begitu luhur, sehingga kita melupakan kesantunan yang merupakan tradisi ketimuran. Hal ini tidak lepas dari pola pendidikan. Dengan demikian, segala kritik yang begitu reaktif hanyalah sebagai lontaran rasa tidak suka. Kita bisa melihat bagaimana sifat atau nada kritik yang dilontarkan, bila tanpa solusi yang membangun berarti sekadar luapan rasa tidak suka.

Bila hanya berdasarkan emosi akan tampak pada saat melontarkan kritik. Mereka tidak lagi melakukannya dengan tata cara orang timur yang mengerti sopan santun. Karena mereka menganggap bahwa cara orang barat yang frontal dan terus terang dianggap baik. Mungkin hal seperti ini baik, sesuai dengan kebiasaan atau lingkungan mereka yang belum mengerti bagaimana menghargai orang lebih tua, atau lebih tinggi jabatannya. Mengapa saya mengatakan demikian?

Karena criticism yang sekarang banyak kita baca atau dengar di media sosial tampaknya benar, namun bila masih menggunakan emosi hanyalah merupakan ungkapan rasa tidak suka. Emosi muncul dari ego, merasa paling benar serta baik sendiri. Yang lebih memprihatinkan lagi bila disertai kata yang kasar. Inilah sifat utama ego.

Critical Thinking, atau pemikiran kritis menggunakan kecerdasan intelejensi. Dengan kata lain, critical thinking telah menggunakan neocortex. Mereka yang berpikiran kritis bukan hanya berlandaskan emosi, tetapi mereka berpikir lebih luas dengan cara memberikan solusi juga. Inilah yang disebut kritik membangun. Tindakan yang responsif. 

Mereka yang berpikir secara kritis tidak langsung menolak mentah-mentah, namun memberikan pertimbangan juga alasan mengapa menolak. Mereka cenderung membuka pintu dialog sehingga bisa memberikan solusi yang bermanfaat bagi banyak orang. Mungkin lebih luas lagi dikaitkan selaras dengan alam atau tidak. Segala sesuatu yang selaras dengan hukum alam dipastikan bermanfaat bagi orang banyak. Pemikiran yang berlandaskan kemanusiaan, 'Perlakukan orang lain sebagaimana dirimu ingin diperlakukan'

https://sokrates.id/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun