Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Arsitek - Pensiunan Dosen

Ayurveda Hypnotherapist

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Membunuh Waktu atau Dibunuh Waktu?

17 Maret 2024   06:30 Diperbarui: 17 Maret 2024   06:44 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: twitter.com/bsi

Adalah suatu arogansi atau kesombongan diri, ketika kita mengucapkan atau mengatakan bisa membunuh waktu. Waktu adalah Hyang Mahakuasa. Kita pikir Tuhan yang maha kursa, tetapi waktu jauh lebih berkuasa. Bila kita abai menghormati waktu, kita bisa dibunuh oleh Sang Waktu. 

Banyak orang merasa hebat ketika mengatakan; 'Aku sedang membunuh waktu....' Tanpa sadar dia terbunuh oleh waktu. Waktu sungguh sangat berharga. 

Hal ini seringkali temukan saat pergi ke suatu tempat, apakah ke warung atau cafe ataupun tempat lainnya dengan alasan untuk membunuh waktu. Mungkinkah?

Sama sekali tidak mungkin. Suatu kesempatan yang ada pada saat ini, bisa tidak akan terulang di masa akan datang. Karena kita abai memanggunakan waktu dengan tepat, kita yang dibunuh olah waktu. Yang sering juga kita lakukan adalat ketika kita menunda suatu pekerjaan, akhirnya sesuatu yang berharga terlewatkan.

Nasehat para bijak, kerjakan sesuatu sekrang untuk yang harus diserahkan esok hari. Kita telah banyak mengabaikan waktu yang sesungguhnya sangat berharga. Misalnya kita hanya mengejar kenyamanan indrawi sehingga lupa akan tujuan kelahiran atau keberadaan di bumi ini. Akhirnya harus mengulang lagi di masa akan datang. Bukan 'kah hidup hanya pengulangan?

Perhatikan saja : Penyakit manusia tetap sama : 'Memburu 3 (tiga) "TA". Hanya casingnya saja berubah, dulu si K, sekarang si C. Yang diburu tetap : Har-Ta; Tah-Ta; dan Wani-Ta. Nafsunya tetap, sama sekali tiada progres. Progres berarti ada perubahan yang diburu, misalnya mengejar bagaimana melakukan transformasi dari intelektual/kepintaran pikiran menjadi intelejensia atau buddhi; berpikir untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi sesama makhluk hidup. Bila kita hanya mengejar kenyamanan indrawi, apa bedanya dengan si kaki 4? Sama-sama hanya menggunakan mamalian atau reptilian brain, ini yang disebut tanpa progres. Ini juga terlihat pada saat kita menghadapi suatu kejadian, bila masih reaktif berarti kita masih menggunakan emosi, sifat dasar hewan dengan otak mamalia.

Jika semuanya hanya berkaitan dengan tubuh, apa bedanya dengan hewan? Kita lupa bahwa dahulunya kita sudah pernah hidup sebagai hewan, itulah sebabnya kita saat ini menjadi manusia untuk menjalani evolusi lebih mulia. Mengapa kita masih terjebak pada permainan kenyamanan tubuh yang semestinya sudah harus mulai kita lampaui?

Sadarlah teman-teman, tiada yang baru di bumi ini, 'Nothing is Under The Sun' Banyak sekali yang kita tidak mau tahu tentang tujuan kelahiran atau melakukannya progres. Mayoritas orang kehadiran nya di bumi sekedar mencari kenyamanan badan. Ini yang disebut stagnant atau statusquo. Makan/minum, seksualitas serta kenyamanan tubuh lainnya. Bahkan banyak orang rela bepergian ke tempat jauh kemudian mengantri lama sekedar untuk mencicipi makanan. Kenyamanan rasa lidah. Ataupun pergi ke suatu tempat yang katanya pandangan nya indah. Kebanyakan lupa bahwa tanpa rasa bahagia tiada keindahan di luar tubuh.

Ketidaktahuan kita memanfaatkan waktu sehingga tampak hebat kita bisa membunuh waktu. Inilah ciri arogansi diri karena kegelapan hati kita yg diselubungi oleh sampah pikiran/emosi. Banyak pelajaran tentang pengetahuan SEJATI yang kita abaikan saat kita diperbudak oleh indrawi kita. Kita jadi budak dunia. Kita lupa bahwa waktu adalah aset atau modal kita yang sangat berharga untuk mendapatkan pengetahuan Sejati.

Kita dibunuh oleh waktu karena kita melalaikan pesan para suci dan para avatar sebelumnya. Mereka selalu hadir. Kita yang menutup diri terhadap adanya petunjuk Ilahi. Kita selalu mencari kambing hitam yang ga habis-habis juga kita buru untuk dikorbankan demi pembenaran kemalasan kita.

Adalah tugas para rasul,nabi, para suci selalu hadir untuk senantiasa mengingatkan tujuan keberadaan di bumi. Seringkali kita abai bahwa Tuhan/Dia senantiasa mewujudkan diri dalam tubuh kasar untuk mengingatkan tujuan utama keberadaan kita di bumi. Dengan tidak menganggap bahwa para suci bukan manifestasi Tuhan, kita tidak bisa mematuhi apa yang disampaikan. Tanpa sadar sesungguhnya kita melakukannya tindakan bunuh diri. Abaikan waktu tidak beda dengan abai terhadap berkah Tuhan.

https://twitter.com/bsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun