Jadi bila kita hidup sepenuhnya berdasarkan emosi; reaktif, maka kita hidup sebagai hewan bertubuh manusia. Hidup tanpa memikirkan perasaan atau kepentingan bersama. Ada seperti ini? Sangat banyak disekitar kita. Janganlah mencari pembenaran bahwa kita tidak demikian. Selama pola pikir kita belum sebagaimana pesan para suci :'Perlakukan sesamamu sebagaimana dirimu ingin diperlakukan', selama itu pula kita belum hidup tanpa Kesadaran Sang Aku..
Dengan demikian, sesungguhnya kita semua bisa hidup karena ada percikan Ilahi sebagai kusir. Hanya terkadang sang kusir mengidentifikasikan sebagai pikiran, indrawi. Dengan kata lain si kusir melabelkan diri dengan identifikasi palsu.Â
Jadi tujuan utama manusia lahir di dunia adalah untuk membebaskan kusir dari identifikasi palsu agar tidak terjebak di dunia ilusi kebendaan, emosi serta pikiran.
Nah, ketika tubuh dikatakan mati, tubuh halus minus badan kasar yang mati, tetap ada untuk mencari tubuh lagi. Bagaikan software. Otak yang merupakan bagian dari tubuh sebagai hardware yang tidak lagi kompatibel bagi perangkat lunak mesti istirahat di dunia untuk terurai lagi ke unsur alaminya.
Perangkat lunak mesti mencari perangkat kasar demi peningkatan yang lebih tinggi.......
bagaikan perangkat keras komputer yang tidak lagi kompatibel untuk perangkat lunak mesti di-upgrade ke lebih tinggi. Demikian seterusnya, sampoai suatu ketika terurai secara total. Itulah yang terjadi dengan perangkat lunak para suci atau avatar...
https://www.booksindonesia.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H