Mohon tunggu...
Divisi Riset RKIM UB
Divisi Riset RKIM UB Mohon Tunggu... Lainnya - Riset dan Karya Ilmiah Mahasiswa Universitas Brawijaya

Divisi Riset RKIM UB Merupakan divisi yang bergerak di bidang riset yang dinaungi oleh UKM Riset dan Karya Ilmiah Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menelisik Akar Ateisme Tokoh Sita dalam Film Horor 'Siksa Kubur' Melalui Lensa Psikologi Sosial

30 April 2024   20:00 Diperbarui: 30 April 2024   20:03 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Siksa Kubur" film garapan Joko Anwar ini kembali menghantui bioskop di tahun 2024. Film ini merupakan remake dari film pendek berjudul "Grave Torture" yang disutradarai Joko Anwar di tahun 2012. Berbeda dengan versi terdahulunya, Siksa Kubur 2024 ini lebih berfokus pada eksplorasi psikologis karakter utama, Sita, seorang wanita yang dilanda keraguan iman akibat tragedi masa lalunya.

Film ini mengikuti kisah Sita, seorang anak yang trauma setelah kedua orang tuanya menjadi korban bom bunuh diri. Kehilangan kepercayaan pada Tuhan, Sita bertekad untuk membuktikan bahwa siksa kubur hanyalah mitos. Ia pun mencari orang yang paling berdosa, dan mengikuti hingga ajal kematiannya untuk menyaksikan siksa kubur secara langsung. Namun, niat Sita dihadapkan teror mencekam dalam kubur dan pertentangan batinnya tentang keberadaan Tuhan.

Sita digambarkan sebagai wanita cerdas  dan mandiri yang menyimpan luka emosional mendalam. Tragedi kematian orang tuanya memicu krisis iman dan mendorongnya menjadi seorang ateis. Sita mempertanyakan keberadaan Tuhan yang membiarkan tragedi seperti itu terjadi. Sikap ateismenya kian menguat saat ia melihat banyak kemunafikan dan kejahatan di dunia.

Dengan tujuan untuk mengkaji faktor-faktor psikologis dan sosial yang mendorong ateisme Sita dalam film Siksa Kubur. Analisis ini dibuat menggunakan perspektif psikologi sosial untuk memahami bagaimana pengalaman traumatis, krisis kepercayaan dan interaksi sosial memengaruhi keyakinan Sita. Film Siksa Kubur menghadirkan kisah yang mencekam dan serat makna. Ateisme Sita menjadi elemen penting dalam film ini, membuka ruang diskusi tentang eksistensi trauma, dan pencarian makna hidup di tengah teror dan keraguan.

Di balik teror mencekam film Siksa Kubur karya Joko Anwar, terdapat refleksi mendalam tentang dinamika sosial yang dapat dikaji dengan ilmu psikologi sosial. Berdasarkan buku "Pengantar Psikologi Sosial" karya Faturochman menjelaskan bahwa Psikologi sosial adalah cabang ilmu psikologi yang mempelajari perilaku individu dalam konteks sosial. Definisi ini menyoroti dua unsur utama: perilaku individu dan konteks sosial. Psikologi sosial menekankan pentingnya memahami bagaimana individu bereaksi terhadap lingkungan sosial mereka, termasuk interaksi dengan orang lain, norma sosial, dan struktur sosial.

Ciri khas psikologi sosial adalah penekanannya pada aspek-aspek psikologis seperti kognisi (pemikiran), emosi, dan motivasi dalam memahami perilaku manusia dalam konteks sosial. Ilmu ini mempelajari bagaimana pemikiran, perasaan, dan perilaku individu dipengaruhi oleh kehadiran orang lain, baik secara aktual maupun imajinatif.

Dalam konteks analisis ateisme Sita dalam film "Siksa Kubur", ilmu psikologi sosial memiliki relevansi yang kuat. Faktor-faktor seperti sikap dan prasangka, persepsi sosial, afeksi dan emosi, dinamika kelompok, pengaruh sosial, dan konformitas semuanya dapat memengaruhi sikap dan keyakinan Sita terhadap agama dan Tuhan. Melalui perspektif psikologi sosial, terdapat aspek serta faktor yang dapat memengaruhi keputusan sita untuk menjadi seorang ateis.

 

Aspek-Aspek Psikologis yang Memengaruhi Ateisme Sita

  1. Kognisi (Pemikiran): menurut Albert Bandura, kemampuan dan kecerdasan dalam berpikir simbolik memberikan alat yang efektif untuk menangani lingkungan, seperti menyimpan pengalaman dalam bentuk verbal dan gambaran imajinatif untuk digunakan dalam perilaku di masa depan berdasarkan konsep Cognition  dan  Self-regulation (Rosyidi, 2015). Pemikiran Sita tentang agama, Tuhan, dan siksa kubur dipengaruhi oleh pengalaman-pengalamannya serta interpretasinya terhadap kejadian-kejadian yang dia alami. Misalnya, pengalaman traumatis kehilangan orang tua dalam serangan bom bunuh diri membentuk keraguan dan skeptisisme Sita terhadap konsep agama dan keberadaan Tuhan.
  2. Emosi: Sudarsono (1993) mengungkapkan bahwa emosi adalah keadaan kompleks yang mana individu yang mengalami perasaan tertentu akan mengalami perubahan dalam organ tubuh yang bersifat luas seperti denyut jantung meningkat. Umumnya, perasaan kuat ini juga cenderung mengarah pada perilaku atau tindakan tertentu. Khadijah (2006) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan individu untuk mengelola emosinya secara sehat, khususnya dalam interaksi dengan orang lain. Sama halnya emosi yang dirasakan oleh Sita, kemarahan timbul sebagai efek dari tewasnya kedua orang tua Sita akibat perbuatan egois orang lain dan kesedihan muncul karena kehilangan orang terkasih. Kebencian pun menjadi dampak emosional dari kondisi Sita yang mempertanyakan keberadaan siksa kubur oleh Tuhan bila di dunia masih banyak orang yang berani berbuat dosa.
  3. Motivasi: teori "Piramida Kebutuhan Maslow" yang dikemukakan Maslow (1943) bahwa motivasi manusia didorong oleh lima kebutuhan yang tersusun hierarkis seperti piramida. Ketika kebutuhan pada tingkat bawah terpenuhi, individu cenderung terdorong untuk mencapai kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi.  Secara berurutan, kelima tingkat tersebut adalah kebutuhan fisik, keamanan, cinta dan kasih sayang, penghargaan, dan aktualisasi diri (Prihantony, 2021). Motivasi Sita untuk membuktikan bahwa siksa kubur hanyalah mitos dan bahwa agama adalah bohong merupakan dorongan yang kuat dalam perjalanan karakternya dalam film. Motivasi ini mendorongnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, seperti mencari orang paling berdosa hingga melakukan pembuktian dengan mengubur dirinya sendiri.
  4. Sikap dan Prasangka: prasangka adalah sikap negatif terhadap suatu kelompok atau individu dalam kelompok tertentu tanpa alasan yang valid (Kuncoro, 2008). Sikap skeptis dan prasangka Sita terhadap agama, terutama terhadap orang-orang yang terobsesi dengan siksa kubur, memengaruhi interaksi dan hubungannya dengan lingkungan sosialnya. Sikap ini dapat memperkuat alienasi sosialnya atau memicu konflik dengan individu-individu yang memiliki keyakinan yang berbeda.
  5. Persepsi Sosial: menurut Alizamar dan Couto (2016), persepsi sosial merupakan suatu proses yang melibatkan pengenalan, interpretasi, dan penilaian terhadap orang lain. Kasus kekerasan seksual yang dilakukan Pak Wahyu kepada para santri khususnya Adil, maupun pembunuhan yang dilakukan orang asing terhadap orang tua Sita membuat pandangan sosial Sita runtuh terhadap kebenaran akan keberadaan Tuhan yang akan memberikan siksa kubur bagi orang-orang berdosa. Ketika Sita mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial-Nya, seperti mengapa Tuhan membiarkan tragedi mengenaskan terjadi, interaksinya dengan guru agama di pesantren tidak memberikan kejelasan yang memuaskan. Ustazahnya cenderung memberikan jawaban-jawaban yang kaku dan otoriter, tanpa memberikan ruang untuk diskusi atau pemahaman yang lebih dalam. Persepsi tersebut menjadi tercermin dalam cara Sita bertindak ke depannya.
  6. Dinamika Kelompok: menurut Benjamin B. Wolman (1979) dalam bukunya "Dictionary of Behavioral Science", dinamika kelompok adalah studi yang  mempelajari kausalitas dalam hubungan di dalam suatu kelompok, evolusi hubungan sebab-akibat di dalam kelompok, serta metode untuk memodifikasi interaksi interpersonal dan sikap di dalam kelompok. Dinamika kelompok dalam film "Siksa Kubur" tercermin dalam interaksi Sita dengan individu-individu di sekitarnya, terutama di pesantren tempat dia tinggal. Salah satu contoh yang mencolok adalah interaksi antara Sita dan Pak Wahyu, seorang donatur pesantren yang menunjukkan sikap otoriter terhadap aturan di pesantren. Dalam adegan tersebut, Sita mengungkapkan keraguan dan skeptisismenya terhadap agama kepada Pak Wahyu, namun Pak Wahyu menanggapinya dengan sikap yang memaksa, meminta Adil  untuk mematuhi apapun yang ia minta hingga pada tindakan sexual harassment tanpa memberikan ruang untuk "bergerak". Ini menggambarkan bagaimana otoritas dalam kelompok dapat menekan individu yang mencoba mengajukan pertanyaan atau menyatakan keraguan. Selain itu, interaksi Sita dengan ustazahnya juga menunjukkan dinamika yang serupa. Ketika Sita mencoba mengajukan pertanyaan yang menantang, ustazahnya memberikan jawaban yang kurang memuaskan, menyebabkan lebih banyak keraguan dalam pikiran Sita tentang agama. Dengan demikian, melalui adegan-adegan ini, film menggambarkan bagaimana dinamika kehidupan di pesantren dapat memperkuat keraguan dan skeptisisme Sita terhadap agama, serta menciptakan ketegangan antara individu yang mencari jawaban dan otoritas yang menegaskan norma-norma yang ada.

Merleau-Ponty (2004) menjelaskan bahwa penilaian (judgement) bisa diinterpretasikan sebagai persepsi dari serangkaian objek yang dipersepsi. Penilaian melibatkan suatu proses transendental yang menghubungkan antara alasan dan pengalaman. Persepsi tidak hanya terbatas pada sensasi atau interpretasi semata. Kesadaran merupakan suatu proses yang mencakup penalaran dan alasan di dalamnya.

Fenomena tersebut berkaitan dengan keputusan Sita untuk menjadi ateis, sebuah perjalanan spiritual yang dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman pahit dan penuh dengan ketidakadilan. Melalui perjalanan hidupnya yang penuh dengan tragedi, kekerasan, dan ketidakpercayaan, Sita menemukan dirinya terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan yang mendalam tentang keberadaan kekuatan yang lebih tinggi. Kehilangan yang mendalam atas kematian mendadak kedua orang tuanya menjadi pukulan awal bagi imannya, sementara paparan pada kejahatan dan ketidakadilan dalam lingkungannya mengguncang keyakinannya akan kebaikan dan keadilan agama.

Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan American Psychological Association beberapa tahun lalu, 72% dari 429 orang dewasa Amerika yang mengekspresikan gejala ateisme memiliki alasan-alasan yang bersifat relasional dan emosional untuk tidak percaya Tuhan berkaitan dengan berbagai indikator emosional negatif, seperti kemarahan bawaan, hak psikologis, dan gaya penuh ketakutan.

Kehilangan dan Kematian, film "Siksa Kubur" menggambarkan kehidupan keluarga Adil dan Sita yang damai dan tentram, tetapi hancur akibat peristiwa tragis "bom bunuh diri" yang menewaskan orang tua mereka. Kejadian ini memicu rasa trauma, kehilangan akibat kematian yang tidak terduga, dan kehilangan mendalam bagi Adil dan Sita.

Menurut Alsubaei, et.al (2021) pada artikel "Religious Coping, Perceived Discrimination, And Posttraumatic Growth In An International Sample Of Forcibly Displaced Muslims" membahas tentang dampak coping strategies (strategi coping) religius dan non-religius terhadap gejala post-traumatic stress disorder (PTSD). Studi ini menemukan bahwa coping strategies religius pengalaman menyaksikan dan merasakan rasa trauma, kehilangan akibat kematian yang tidak terduga, memicu trauma yang mendalam dan ketidakpercayaan terhadap keberadaan Tuhan yang dirasa tidak mampu melindungi mereka dari penderitaan. Hal tersebut pun dialami Sita dan Adil yang merasa kehilangan mendalam akibat terbunuhnya orang tua karena tindakan egois orang lain.

Kekerasan dan Kriminalitas, pada Film "Siksa Kubur" Kekerasan muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari intimidasi terhadap Adil yang sering kali di-bully dan selalu bersikap pasif, hingga praktik sexual harassment di pesantren. serta menunjukkan unsur kriminalitas, seperti pencurian di toko roti dan pembunuhan yang dilakukan oleh karakter "jahat" di pesantren dan di panti jompo. Kejahatan-kejahatan ini dapat menimbulkan rasa tidak aman, ketakutan, dan ketidakpercayaan terhadap orang lain dan sistem yang ada.

Hal ini dapat mendorong Sita untuk mencari jawaban di luar agama, seperti ateisme. Teori "The Problem of Evil for Atheists" oleh Andry Tix 2016 dan "The Problem of Evil" karya Michael Tooley 2015 menjelaskan bagaimana pengalaman traumatis dapat menjadi faktor yang berkontribusi pada ateisme. Teori-teori ini mengemukakan bahwa pengalaman kekerasan dan kejahatan dapat menyebabkan disillusionment dengan agama dan questioning terhadap keyakinan agama.

Dalam film "Siksa Kubur" karya Joko Anwar, karakter utama Sita mengalami perjalanan psikologis yang mendalam setelah mengalami trauma masa lalu yang meliputi kehilangan orang tua dalam sebuah serangan bom bunuh diri. Tragedi ini memicu krisis iman dalam dirinya hingga Sita kemudian memutuskan untuk menjadi seorang ateis, meragukan keberadaan Tuhan dan menghadapi pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang kebaikan dan keadilan dalam agama.

Faktor-faktor seperti pengalaman trauma, kejahatan, kemunafikan dalam lingkungan sosial Sita, dan ketidakadilan yang dialaminya berkontribusi pada pemahaman ateisme dalam dirinya. Film ini tidak hanya menggambarkan perjalanan pribadi Sita, tetapi juga membuka diskusi tentang psikologi sosial dan dampaknya terhadap keyakinan agama seseorang.

PENULIS
Rafi Bintang Saputra, Damia Safira Ghassani

Universitas Brawijaya

REFERENSI

Alizamar  dan Couto, N. 2016. Psikologi Persepsi dan Desain Informasi: Sebuah Kajian Psikologi Persepsi dan Prinsip Kognitif untuk Kependidikan dan Desain Komunikasi Visual. Edisi ke-1. Media Akademi. Yogyakarta.

Alsubaie, M. K. M. Dolezal, I. S. Sheikh, P. Rosencrans, R. S. Walker, L. A. Zoellner, and J. Bentley. 2021. Religious coping, perceived discrimination, and posttraumatic growth in an international sample of forcibly displaced Muslims. Ment Health Relig Cult. 24(9): 976--992.

Faturochman. 2009. Pengantar Psikologi Sosial. PUSTAKA. Yogyakarta.

Kuncoro, J. 2008. PRASANGKA DAN DISKRIMINASI. Psikologi Proyeksi. 2(2):1-16.

Prihantony, D. I. 2021. Aspek Motivasi dalam Pembentukan Perilaku. Bestari. 2(1): 35-41.

Rakhmawati, Y. 2012. Membaca Pengalaman dan Kesadaran: Konstruksi dalam Perspektif Fenomenologi. Pamator. 5(2): 90-95.

Rosyidi, H. 2015. Psikologi Kepribadian: Paradigma Traits, Kognitif, Behavioristik dan Humanistik. Edisi ke-1. Jaudar Press. Surabaya.

Trakakis, N. N. 2018. The Problem of Evil: Eight Views in Dialogue. Oxford: Oxford University Press

Wolman, B. B. 1973. Dictionary of Behavioral Science. Van Nostrand Reinhold Company. New York.

Bradley, D. F., Exline, J. J., dan Uzdavines, A. 2017. Relational reasons for nonbelief in the existence of gods: An important adjunct to intellectual nonbelief. Psychology of Religion and Spirituality. 9(4): 319--327.

Sudarsono. 1993. Kamus Filsafat dan Psikologi. Rineka Cipta. Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun