Posting pertama saya tentang ayah ada di tahun 2012, "Ayahku Hebat". Tidak cukup sejuta kata, beribu makna yang bisa menggambarkan rasa sayang dan cinta anak kepada ayahnya. Apalagi mengobati rasa rinduku pada almarhum ayah. Kini, di awal 2015, aku menulis  ini sekedar  mengobati rasa rinduku pada ayah.
Adalah kepergiannya yang terasa begitu tiba-tiba, kami; keluarganya, hanya diberi sejumput waktu untuk mempersatukan rasa (yang tadinya terasa sulit menyatu karena lokasi kami yang berjauhan). Ayah, ibu, kakak kedua, saya, dan adik saya, serta keluarga masing-masing, masih tinggal di satu kota. Namun karena kesibukan pribadi, terasa amat jarang bertemu. Ditambah lagi, kakak sulung dan kakak ketiga, tinggal di kota yang berbeda, di seberang pulau pula. Hanya momen Idul Fitri atau Idul Adha, di salah satu momen religius ini keluarga kami baru dapat berkumpul.
Maret 2014, kakak kedua yang masih tinggal dengan orang tua saya, memberi tahu keadaan ayah yang tiba-tiba muntah-muntah, dan sudah dibawa ke UGD rumah sakit setempat. Keluhan ayah selama ini hanyalah tekanan darah tinggi atau kadar gula-nya tinggi (beliau mengidap diabetes). Sejenak diperiksa lengkap di UGD, ayah dinyatakan harus dirawat, lalu pada sore harinya, diberitahukan bahwa berdasarkan hasil tes darah, ayah mengalami gagal ginjal tingkat 4. Diagnosa dokter menyatakan bahwa kadar kreatininnya yang tinggi mengharuskan ayah harus menjalani Haemodialisa (HD/Cuci Darah). Dar! Kata-kata "cuci darah" buat keluarga kami saat itu adalah : horror_dan ketidakpercayaan terhadap diagnosa dokter lah yang akhirnya muncul. Sempat diperiksa darah independen di laboratorium di luar rumah sakit untuk meyakinkan, hasilnya sama. Ayah saya, beliau yang selama ini (terlihat) kuat mulai menurun semangatnya, dan berkali-kali berkata kepada kami : Dokter sudah bercerita terbuka pada Ayah. Kemungkinan ayah akan rutin menjalani HD, setidaknya dua kali seminggu. Mungkin ayah juga akan dipasangkan alat HD permanen supaya tidak usah menjalani prosedur lepas/pasang alat HD setiap akan melakukan prosedur tersebut.
Reaksi kami? Masih kurang percaya, kami minta ayah kami dirawat dulu sambil terus diobservasi. Karena beberapa masukan dari teman-teman (yang kalangan "awam" pula) mengatakan : "Kalau bisa, tidak usah menjalani prosedur cuci darah, karena cuci darah menggantikan fungsi ginjal sehingga justru ginjal semakin "malas" berfungsi. Kalaupun harus HD untuk menurunkan kadar kreatinin, jangan dulu dipasangi alat karena ada orang yang hanya cukup menjalani satu kali HD selanjutnya cukup dengan menjaga pola makan saja tanpa harus HD."
Maka, ayah dirawat. Beliau menurut. (Dan baru saya sadari kini, sudah semenjak akhir tahun lalu ayah menjadi semakin diam dan diam, bicara seperlunya. Olahraga jalan kaki yang biasa dilakukan pagi dan sore sudah ia tinggalkan. Ke mesjid untuk shalat berjamaah pun sudah tidak dilakukan. Beliau hanya berkata (tidak mengeluh) merasa lemas_kami kira ini hanya karena kadar gula yang tinggi).
Sesuai anjuran dokter, HD dijalankan. Seminggu dirawat dan sudah satu kali HD, dokter menyatakan besok bapak sudah boleh pulang, tapi minggu depan sudah harus rutin HD 2x seminggu ya! Saat pertama kali datang, boleh pasang alat HD sementara dulu (double lumen namanya), kalau alat yang permanen (simino namanya); berdasarkan status asuransi pensiun bapak_harus dijalankan di rumah sakit pusat (red.Jakarta). Degh!
Ayah kaget, kondisi psikisnya yang menurun langsung mempengaruhi kondisi fisiknya juga. Yang tadinya beliau masih bisa tertawa-tawa (apalagi ketika kami keluarga besar datang silih berganti menunggui di rumah sakit dengan cucu-cucu beliau), menjadi semakin diam, dan ringkih. :'(
Selepas menjalani prosedur pemasangan simino di lengan kirinya, ayah menjadi semakin diam. Irit kata, itupun hanya pada ibu. Pada anak-anaknya, hanya anggukan atau gelengan. Prosedur HD masih rutin dijalani di rumah sakit di kota kami, selagi menunggu simino berfungsi dengan baik (kurang lebih tiga bulan dari waktu pemasangan, menurut dokter); double lumen masih tetap digunakan. HD memakan waktu 4 jam lamanya, dan selama itu ayah tidak boleh terlalu banyak bergerak. Terkadang, di tengah proses HD, bila ayah menggigil maka HD dihentikan. Dilanjutkan lagi bila kondisi ayah membaik.
Kakak kedua dan adik bungsu saya yang paling sering mendampingi ayah HD. Saya masih mempunyai bayi usia dibawah 6 bulan saat itu, terkadang malah dilarang masuk rumah sakit bila membawa anak saya. Hanya hari Sabtu dan Minggu saya bisa menemani ayah dirumah. Itupun (hingga kini) seolah hanya sekelebat saya mendampingi ayah, ayah hanya terbaring di tempat tidur, lengan kirinya semakin mengecil, semua kegiatan dilakukan di tempat tidur. Kadar HB darah ayah cenderung turun, hal ini terkadang yang menjadi penyebab ayah menggigil, kata dokter : sudah resiko. Setiap mendekati angka 5, maka ayah harus transfusi. Sedihnya masih terasa.
Awal Mei 2014, seminggu menjelang beliau berpulang, waktu itu jadwal ayah HD. Biasanya, ayah masih kuat mengangkat tubuhnya dari tempat tidur ke kursi roda. Hari itu, tidak, ayah kelihatan lemas sekali. Bersama-sama kami bersaudara mengangkat beliau ke mobil, menuju rumah sakit. Sebelum HD, karena kondisi beliau yang lemah, kadar HBnya diperiksa, ternyata di angka 4. HD ditunda, beliau harus dirawat dan ditransfusi.
Hari Selasa siang, jadwal HD beliau, saya datang ke rumah sakit. Ada adik saya disitu. Saat adik saya shalat Dhuhur, saya mendampingi ayah. Dia hanya diam, tidak tidur, tapi tidak juga berkata-kata. Saya hanya bisa duduk di ujung tempat tidur, memegangi kaki ayah yang bergerak-gerak mungkin sudah pegal selama HD. Kakinya kurus sekali...
Rabu malam, ibu menelepon saya dirumah. Katanya, ayah dibolehkan pulang. Alhamdulillah... Suami saya beserta kakak, adik dan adik ipar menjemput beliau dan mengantarnya ke rumah. Saya dirumah, menjaga anak saya. Suami pulang, dan bilang : Ayahmu sehat, sepanjang perjalanan menuju ke rumah, beliau banyak bercerita. Sampai dirumah, ketika ayah akan diangkat ke tempat tidur, ayah bilang; nanti dulu, saya mau duduk di depan kamar. Di depan kamar ayah, di belakang rumah, memang ada halaman terbuka. Dan beliau duduk disitu, di kursi rodanya, entah apa yang beliau pikirkan.
Hari Kamis, pagi setiba di kantor, saya baru menyadari bahwa telepon genggam saya ketinggalan. Saya hubungi suami lewat telepon kantor, memberi tahu bahwa saya lupa membawa HP. Jam 9 pagi, bersama teman-teman kantor, saya menjenguk teman kantor yang sedang berduka cita karena ayahnya meninggal dunia pada jam 5 pagi hari itu. Di tengah perjalanan kembali menuju kantor, HP teman kantor saya berdering, suami saya menelepon meminta tolong berbicara dengan saya. Katanya : "Cepat pulang, mami (ibu saya) tadi menelepon sambil menangis-nangis, babe (ayah saya) sesak nafas. Kamu harus pulang."
Saya langsung pulang, ke rumah orangtua saya. Setibanya di depan pagar, tetangga depan rumah sedang mengunci pagar rumah saya. "Mbak, bapaknya udah dibawa ke rumah sakit. Barusan aja". "Rumah sakit mana?" "Rumah sakit KS, mbak".
Pikiran saya langsung kosong saat itu, menuju ke rumah sakit, begitu cepatnya, langsung menuju ruang UGD. Bertemu suami dan anak saya di depan UGD. Masuk UGD, ayah sedang dipompa jantungnya. Ibu sudah terduduk menangis diam-diam di sudut, pasrah ditemani seorang tetangga. Ibu bilang : "Bapakmu sudah tidak ada. Entah kenapa tadi pagi bapakmu berkeras shalat Subuh sambil berdiri, biasanya di tempat tidur saja". Kakak saya sedang menangis terisak-isak sambil terus memijit-mijit kaki ayah : "Babe yang kuat ya, babe kan kuat. Bangun be.."
Saya menangis di samping kakak saya, tidak tahu harus berkata apa, berpikir apa, berbuat apa, hanya pasrah.... Semalam beliau baik-baik saja.....
(http://primasusetya.blogspot.com/)
Kutitip rinduku lewat doa, ayah..... Semoga Allah SWT menempatkanmu di tempat terindah di sisi-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H