Mohon tunggu...
Marhaenaputra Sondakh
Marhaenaputra Sondakh Mohon Tunggu... Relawan - Bekerja dan Berdoa

Kerja,kerja,kerja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nasib Model Weberian "Catatan Reformasi 05/01/2023"

5 Januari 2023   09:26 Diperbarui: 5 Januari 2023   09:41 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jejak Weberian dalam birokrasi cukup panjang. Sejak diperkenalkan sosiolog Jerman, Max Weber pada 1922, teori birokrasi manajemen atau teori Max Weber atau Weberian ini menjadi paradigma administrasi publik yang dipraktekkan secara meluas. Dengan teorinya, Max Weber menjanjikan hadirnya keteraturan dalam berpemerintahan. Setiap pegawai diperlakukan sama dan pembagian kerja digambarkan secara jelas.

Namun yang dijanjikan oleh Weber dengan model birokrasi idealnya justru menjadi sumber masalah. Kinerja birokrasi menjadi lamban akibat banyaknya layer hierarkhi yang membuat birokrasi menjadi panjang dan berbelit. Akibatnya, pengambilan keputusan menjadi lambat dan ketergantungan bawahan terhadap atasan menjadi sangat tinggi.

Model Weberian yang hirarkis juga cenderung mendorong hadirnya spesialisasi, diferensiasi dan fragmentasi. Akibatnya struktur semakin gemuk dan rentang kendali semakin panjang.

Di Indonesia, fakta ini semakin diperparah oleh budaya paternalistis. Pegawai masih sering diperlakukan atas dasar like and dislike dan loyalitas. Akibatnya, sistem Weberian yang nampak baik itu tidak banyak mendorong sistim pemerintahan bekerja efektif.

Berbeda dalam konteks masyarakat Barat. Konsep hirarki dalam Weberian bisa berjalan dengan baik karena kultur yang menghargai orang atas dasar prestasi kerja. Pegawai bekerja tanpa kuatir dengan pekerjaannya.  Karirnya tidak ditentukan oleh atasan, namun tergantung sistem dan prestasi kerjanya.

Birokrasi yang panjang dan hirarkis adalah antitesis terhadap kebutuhan birokrasi yang agile. Di tengah disrupsi global yang menuntut respons perubahan cepat, rantai panjang birokrasi menjadi penghambat kecepatan pelayanan publik. Hierarkhi dan spesialiasi dalam Weberian menyebabkan fragmentasi birokrasi dan melahirkan silo mentality, tumpang tindih aturan. Struktur birokrasi yang gemuk dan sistem perencanaan dan penganggaran yang tidak lagi terintegrasi  memperlambat proses yang seharusnya cepat.

Lambatnya proses pelayanan publik akibat prosedur dan persyaratan yang kaku menjadi celah hadirnya praktek pungli dan suap. Prosedur dan persyaratan yang dibuat berlebihan dan seringkali tidak sesuai porsinya pun menjadi lahan subur tumbuhnya KKN.

Fakta ini membuat Presiden Jokowi gundah dan meminta agar birokrasi bisa lebih bekerja secara efektif dan efisien. Pada Desember 2021, sejumlah jabatan dipangkas, digantikan jabatan fungsional. Ini adalah bagian dari penyederhanaan birokrasi yang diharapkan Presiden dapat mendorong birokrasi menjadi lebih agile dan efektif.

Penyederhanaan birokrasi tidak hanya memangkas eselonisasi tapi juga mendorong transformasi model birokrasi dari hirarkis ke model holokrasi serta penyesuaian mekanisme kerja yang mendukung organisasi matriks. Dunia kerja di sektor publik semakin didorong menuju model yang menekankan keahlian ketimbang pekerjaan administrasi. Prakteknya sudah menujukan hasil. Di Pemerintahan Negara Bagian Washington DC, desain organisasi model Holakrasi ini berhasil mempercepat penyelesaian berbagai isu operasional dalam organisasi publiknya dari 20 menit menjadi 2 menit.  

Pemerintahan yang efektif adalah kunci menghadapi era VUCA. Pemerintah sebenarnya memiliki sumberdaya yang cukup. Namun seperti kata Peter Drucker, "Intelligence, imagination, and knowledge are essential resources, but only effectiveness converts them into results." Meski memiliki sumberdaya yang cukup, pengelolaan pemerintahan tentu tidak akan bisa memberikan hasil optimal jika prakteknya masih silo mentality dengan struktur hierarkhi lembaga pemerintah yang terlalu panjang dan gemuk.
 
Ini menjadi tantangan berat bagi Indonesia menuju birokrasi berkelas dunia.  Penyederhanaan birokrasi adalah strategi untuk menghadapi tantangan ini. Tentu saja tidak hanya dengan memperpendek rentang kendali kekuasaan melalui delayering. Digitalisasi birokrasi dan perubahan budaya kerja juga menjadi pendukung utama menuju birokrasi yang efektif, ciri khas birokrasi berkelas dunia.

Momentum penyederhanaan birokrasi harus dijaga sebagai pendulum pergeseran paradigma administrasi publik kepada New Public Service. Dengan sistim ini, filosofi birokrasi  melayani tergambar jelas. Kepentingan masyarakat terutamakan dalam kultur demokrasi yang mendukung terbangunnya  kemitraan yang kuat dengan lembaga public non-profit dan swasta.

Upaya meninggalkan jejak Weberian juga perlu dibarengi dengan penyesuaian sub sistim yang lain. Mulai dari sistim pendidikan di bidang ilmu pemerintahan hingga aspek reward and punishment yang mendukung.

Apakah kita benar-benar bisa mengakhiri jejak Weberian? Let's wait and see!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun