Sejarah Kegilaan (History of Madness) yang menjadi karya Foucault memperlihatkan perkembangan kegilaan dari masa Renaissance (Pencerahan) dan bertahap setelahnya mengalami pemaknaan yang berbeda setiap zaman, dengan pendefinisian yang dilakukan oleh kelompok dominan. Fenomena yang dilihat Foucault dalam memaknai kegilaan bersumber dari pemisahan orang-orang gila yaitu kemiskinan dan pengangguran dari orang-orang normal pada abad ke-17 (Foucault, 1961: 46).Â
Hal tersebut berlanjut bahwa kegilaan merupakan objek dari kekosongan budaya, dimana sebelumnya telah ada wabah lepra yang terjadi pada abad pertengahan. Kemudian setelah penyakit lepra hilang, kegilaan menjadi pengisi kekosongan moral dalam masyarakat. Foucault menemukan bahwa pada zaman Renaissance sekitar abad 15-16 M, kegilaan dimaknai sebagai sesuatu yang bernilai positif. Kegilaan berkorelasi erat dengan rasionalitas, sebab pada zaman tersebut tidak terjadi pergolakan dalam masyarakat untuk seseorang yang dicap sebagai orang gila. Masyarakat tidak menolak pemikiran-pemikiran hebat yang bebas dan imajinatif dari orang-orang yang dianggap gila.
Kemudian, pada abad setelahnya yaitu abad 17-18 M, kegilaan mulai dikonstruksikan dengan bahasa yang bertolak dari penalaran. Imbasnya adalah gila dianggap sebagai sesuatu yang asing dan harus disingkirkan dari kehidupan masyarakat. Hal tersebut ditandai dengan kepekaan sosial yang mulai terbentuk pada abad ke-17 M (Foucault, 1961: 48).
 Kegilaan yang bertransformasi menjadi pemaknaan negatif seperti kemiskinan, pengangguran perlu dilakukannya pendisiplinan dengan dibuatkannya "rumah koreksi" dan akhirnya menjadi rumah sakit jiwa.Â
Pendisiplinan tersebut dilakukan oleh lembaga dengan hadirnya polisi dan pengadilan untuk menerapkan kekuasaan terhadap masyarakat (Kebung, 1997: 69). Hingga pada akhirnya pada akhir abad ke-18 M, kegilaan dimaknai sebagai gangguan sosial setela abad sebelumnya dimaknai sebagai persoalan sosial.Â
Hal ini diartikan bahwa kegilaan merupakan hasil dari pendefinisian sosial dan ilmiah dari pihak yang dominan berkuasa untuk menghukum atau menormalisasi orang gila (Anggradinata, 2017: 7).Â
Begitupun dalam mendefinisikan mahasiswa berprestasi yang dilakukan kampus, dengan memahami konstruksi wacana yang termuat dalam perkembangan sejarah kegilaan. Hal tersebut dapat dilihat dari proses pendefinisian "mahasiswa berprestasi" yang dilakukan oleh kampus, dengan diadakannya pergelaran ajang pemilihan mahasiswa berprestasi yang rutin diadakan tiap tahun.Â
Mahasiswa secara umum telah terhegemoni oleh wacana atau suatu konsep "mahasiswa berprestasi" yang didefinisikan dengan kehendak penguasa. Kontrol kehidupan akademis semacam ini, dinilai efektif dalam menundukkan kesadaran mahasiswa melalui sarana yang lunak seperti pendidikan dan budaya.Â
Dengan demikian, upaya untuk menyadari kontradiksi konsep "mahasiswa berprestasi" tersebut dengan realitas sosial yang ada, yaitu dengan menyadari bahwasanya kebenaran suatu konsep adalah suatu konstruksi wacana yang tidak lepas dari adanya kekuasaan intelektual dalam bentuk lembaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H