MANUSIA PENUNGGU BADAK
(cerpen)
Â
Dulu kami selalu berdua. Tetapi kini terpisah oleh jarak, nasib dan apapun. Laut lepas, rimbun pohon dan lenguh satwa menghalangi tubuh dan ingatan kami. Tetapi, tetaplah ada satu garis tipis yang sayup-sayup menghubungkan kami berdua.
Ya, kami dulu selalu berdua. Kesan pertemanan itu, walau timbul tenggelam, tetapi tetap bisa dikenang. Saya, Panembromo, biasa dipanggil Bromo. Dia, Susanto Raharjo, biasa dipanggil Ajo. Bromo dan Ajo, kadang disingkat Brojo. Itulah kami. Dwitunggal dari distrik kesepian di wilayah eks karesidenan Surakarta.
Tahun-tahun saat kami tumbuh, konon pemerintah mengekang kehidupan warga. Tetapi kami merasakan sebaliknya. Kami bebas bergaul dengan siapa saja. Tidak perduli suku, jenis baju, tipe kopiah, bentuk kelamin, atau agama. Menyembah pohon pun tidak mengapa, asal kau baik pada sesama. Berkawan dan meminta bantuan jin atau arwah penunggu kuburan juga silahkan saja, ibarat kita meminta bantuan guru les untuk mengerjakan PR matematika. Semua fine-fine saja. Dalam era seperti itu, Aku dan Ajo dibesarkan.
Aku lebih pragmatis dalam hidup: belajar TPA di surau, nyolong jambu saat sore, belajar moral pancasila saat malam, dan mandi sekedarnya di waktu pagi lalu tergopoh-gopoh ke sekolah tanpa sarapan. Â Sedangkan Ajo lebih rumit: percaya danyang kuburan, suka keris bertuah, tetapi ahli matematika. Keahlian terakhir ini yang membuat Ajo paling cemerlang diantara sebayanya.Â
Tidak luput pula ia digandrungi cewek yang kesulitan mengerjakan angka. Satu lagi, Ajo terkenal dengan ketegasannya, termasuk tegas bahwa ramalan Sabdo Palon akan tergenapi sebentar lagi. Rumit memang, ahli matematika tetapi suka sejarah mistis. Ia percaya bahwa Majapahit runtuh karena ekspansi islam. Ya, sudahlah.
Tetapi bakat matematika yang Ajo miliki memang luar biasa. Saat SMA, ia sudah fasih ilmu kalkulus, trigonometri dan integral parsial. Zaman itu belum ada mbah Google, sehingga kehebatan Ajo memang murni karena otaknya encer. Dan karena itulah ia ditabalkan akan mempunyai masa depan cemerlang.
Bulan itu sedang demam ujian masuk perguruan tinggi negeri. Kami berdua membidik sekolah tinggi kedinasan. Disamping gratis, ada sensasi unik jika menjadi pangreh praja. Kami membayangkan memakai seragam dinas, penuh emblem dan tanda kehormatan. Setiap tanggal 17 melaksanakan ritual upacara bendera. Walau gaji kecil tapi selalu ada salam tempel, uang pensiun dan jatah beras.Â
Jujur jatah beras ini yang waktu itu mempesona saya. Di sekolah, kami diberitahu oleh guru tentang fungsi lumbung desa yang menjadi pertahanan terakhir saat masa paceklik. Dan guru kami selalu melebihkan fungsi lumbung desa. Katanya dulu, nenek moyang kami, entah yang mana, selamat dari kelaparan karena lumbung desa.Â
Saat musim paceklik berakhir, saat panen pertama berhasil, syukur dimulai. Surau penuh dendang doa dan pujian. Pohon-pohon besar berjibun sesajian. Dan semua itu berkat jasa lumbung desa. Aku sendiri tidak pernah melihat lumbung desa, tetapi percaya saja bahwa cerita itu benar adanya. Bagi kami seorang guru tidak mungkin cerita kebohongan.
Paceklik, lumbung desa dan jatah beras membuat kami mantab untuk mencoba peruntungan menjadi PNS, pangreh praja.
Saya masih ingat saat kami beramai-ramai pergi ke Yogya untuk mengasingkan diri sembari belajar menyambut ujian masuk perguruan tinggi itu. Kami berlima naik bus umum, berangkat dari tepi jalan besar Kartasura, setelah sebelumnya diantar oleh ayah dengan astrea prima. Tentu Ajo termasuk di dalam bus itu.