Arak-arakan pusaka tersebut walau diyakini manjur (seperti keberhasilan tahun 1918) juga tak luput dari kontroversi dan kritik, terutama dari kalangan Islam modernis yg mulai tumbuh di Yogyakarta.
Ricklefs tidak menguraikan, apakah Kyai Tunggul Wulung masih "sakti" di saat wabah tahun 1931-1932 tersebut.
Wilayah Surakarta juga tidak luput dari Wabah. Dalam Staatsblad 1915 No.263 ditegaskan bahwa Surakarta dimasukkan dalam daerah pes. Terapi diberikan dalam Staatsblad 1915 No.370 yg mengatur ordonansi perbaikan rumah.
Otoritas di Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran) menyetujui ordonansi tersebut walaupun butuh biaya besar. Pihak Otoritas memberikan bantuan uang kepada penduduk yang kurang mampu dgn kewajiban mengangsur. Rumah-rumah diperbaiki secara massal.Â
Atap ijuk diganti dengan genteng. Sri Mangkunegoro juga mengharuskan setiap hari Rabu penduduk wilayahnya mengeluarkan bantal, guling, tikar untuk dijemur. Rumah disapu karena ada inspeksi dari mantri Pes, bagi yang melanggar 3 kali berturut-turut akan dikenakan hukuman (Tiknopranoto, sejarah Kutha Sala, hal.50).
Di tahun-tahun tersebut wabah juga melanda Semarang. Berbeda dengan Yogyakarta yang lebih supranatural, Semarang yang babak belur karena wabah lebih realistis dan ilmiah dgn mengikuti program "kampongverbetering" (perbaikan kampung) Â yang digagas pemerintah Belanda. Program di Semarang meliputi perbaikan jalan, pembangunan sarana pasokan air, sanitasi dan jika memungkinkan dilakukan perbaikan rumah (Roosmelan, 2008: 105).
Kita menyaksikan, dalam kondisi apapun, termasuk di era wabah, ikhtiar manusia selalu sama: pusaka dgn segala ragamnya, doa dengan segala lafadznya, dan akal dengan segala pencapaian ilmiahnya.
KRL Jakarta-Bogor, 20 Maret 2020
Margono Dwi Susilo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H