Tersebutlah sebuah nama Adolf Eichmann. Ia seorang tentara Jerman pada Perang Dunia II. Sebagai tentara tentu ia membela Jerman dengan Hitler-nya. Ia kukuh menyerap dogma bahwa  Jerman selalu benar, selain Jerman salah. Eichmann adalah aktor utama pendeportasian kaum Yahudi Eropa selama Holocaust. Ia lahir di Jerman, lalu pindah ke Austria sejak kecil, sebuah negeri yang waktu itu sangat Jerman.Â
Pada seputaran tahun 1932 ia bergabung dengan partai Nazi Austria dan kemudian SS. Saat PD II pecah, Jerman mencaplok Austria, dan Eichmann kukuh setia pada negerinya bahkan bergabung dengan Gestapo dan menjadi Direktur suatu departemen yang bertanggungjawab untuk pendeportasian lebih dari 1,5 juta orang Yahudi dari seluruh Eropa. Pada bulan Januari 1942, Eichmann ikut serta dalam konferensi  Wannsee untuk perencanaan pemusnahan kaum Yahudi Eropa.
Saat perang berakhir, Eichmann melarikan diri ke Argentina menggunakan identitas palsu, sampai akhirnya ia diculik oleh agen Israel pada Mei 1960. Pengadilan Eichmann menjadi terkenal apalagi seorang wartawan-filsuf bernama Hannah Arendt menuliskan reportoarnya yang kemudian dibukukan dengan judul "Eichmann in Jerusalem." Buku tersebut diberi sub judul "a report on the banalty of evil" (reportase tentang banalitas kejahatan) yaitu situasi sosial dan politik dimana kejahatan dianggap biasa karena seseorang yang berpandangan dangkal dalam berpikir dan menilai suatu hal.
KBBI mengartikan banal sebagai kasar, tidak elok, biasa sekali. Banalitas kejahatan didefinisikan oleh Hannah Arendt sebagai anggapan yang wajar terhadap kejahatan, dan tidak menganggap kejahatan itu sebagai sesuatu yang salah, atau lebih parahnya kejahatan dianggap tidak ada. Mengapa bisa demikian? Karena sudah dianggap biasa.Â
Adanya banalitas disinyalir karena manusia kehilangan kepribadian dalam dirinya. Banalitas kejahatan seringkali ditandai dengan kegagalan berdialog dengan diri sendiri, lebih suka menyalahkan orang lain dalam kegiatan politik. Eichmann adalah contoh lengkap orang yang mengalami banalitas. Pada fase ini ia telah menumpulkan hati nuraninya dan gagal berpikir kritis. Pokoknya Jerman dan ideologinya pasti benar tanpa bisa dikritik lagi.
Nurani Eichmann telah ditumpulkan oleh propaganda. Ciri-ciri propaganda yaitu menciptakan kebohongan besar, menolak perspektif baru, memunculkan pemimpin yang selalu benar dan mengasingkan masyarakat dari realita. Partai politik yang miskin program, tetapi ingin berkuasa, biasanya akan menggunakan cara-cara propaganda dengan mengambil bahan baku dari apa saja, termasuk dari memelintir doktrin agama.
Pada dasarnya Eichmann adalah militer yang patuh. Dalam militer kepatuhan adalah keutamaan, bukan kejahatan. Hannah Arendt kaget saat pertama melihat Eichmann karena sang Nazi sama sekali tidak tampak kejam. Tidak ada tanda-tanda kejahatan dalam dirinya. Selaras dengan Hannah Arendt, Reza AA Watimena mendiskripsikan "Orang-orang biasa seperti Eichmann bukanlah orang jahat atau kejam. Banyak yang menganggap bahwa pelaku kejahatan brutal adalah penjelmaan setan. Wajahnya pasti sangar. Matanya kejam. Badannya besar. Namun faktanya tidak seperti itu. Sebaliknya Eichmann adalah orang biasa, cerdas dan patuh. Tidak ada niat jahat atau kejam di dalam dirinya".Â
Dan, benar saja, Eichmann merasa tidak bersalah terhadap apa yang ia lakukan. Tentu Eichmann punya nurani dan kecerdasan, tetapi telah mandul. Â Kemandulan nurani ini yang menyebabkan ia tidak mampu berpikir kritis dan menilai secara kritis. Bayangkan, ia memerintahkan dan menyaksikan ratusan ribu orang Yahudi diangkut truk dan dikirim ke kamp konsentrasi, setiap hari, tidakkah ia berpikir mengapa orang Yahudi itu diangkut, dan apa nasib orang-orang tersebut di kamp konsentrasi. Tentu tidaklah mungkin Yahudi diangkut hanya untuk diberi makan siang. Â Â
Pada dasarnya orang seperti Eichmann tidak suka politik dan tipe orang yang kesepian. Ideologi yang ditawarkan Nazi nampak sebagai kebenaran yang mengisi kekosongan akibat kesepian itu. Hal ini menjelaskan alasan setiap anggota partai Nazi yang berlindung dibalik hukum apabila dipertanyakan tentang hati nuraninya terkait tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan.Â
Di era pasca reformasi kita melihat munculnya bibit baru banalitas kejahatan. Dahulu, sejak zaman kerajaaan, orang Indonesia terbiasa menghormati pemimpin. Pemimpin dianggap figure dengan kemampuan khusus, bahkan adikodrati. Tidak sedikit pemimpin yang diberi gelar setingkat imam mahdi, sebut misalnya HOS Cokroaminoto dan Diponegoro. Tetapi kini, lihatlah, pemimpin kita (baca: presiden, gubernur, bupati, ulama) menjadi bahan ledekan setiap hari, terutama di media sosial. Yang lebih memprihatinkan, ledekan bahkan hinaan lebih banyak ditujukan kepada pemimpin tertinggi, yaitu Presiden.Â
Penghinaan itu pernah begitu massif sehingga menjadi banal, sebut saja saat era Pilpres 2014. Kini, walau sedikit menurun, ya hanya sedikit menurun, penghinaan terhadap symbol Negara tetap marak dilakukan. Dari tuduhan PKI, nonmuslim, keturunan china, anak haram, plonga-plongo, bego kuadrat, mampet bahasa inggris, anti islam, pro Kristen, antek china, diktator, penista ulama, suka pencitraan dan seterusnya. Tentu gayung bersambut, pembelaan dari pihak yang pro Pemerintah juga gencar dan sadis. Terjadilah perang opini yang brutal dan menjijikkan.