IDUL ADHA : KENGERIAN YANG MENGINSPIRASI
Oleh : margono dwi susilo
Setiap bulan haji – 10 Dzulhijah – umat islam di seluruh penjuru bumi melaksanakan kurban. Tidak terkecuali tahun ini. Syariat ini tertulis abadi dalam QS.As-Shaffat : 107-108 juga Hadist Nabi SAW, mengikuti bapak para nabi, Ibrahim dan putranya, Ismael. Pada titik ini tradisi islam berbeda dengan Judeo-Kristiani, karena menurut mereka yang akan dikurbankan bukan Ismael, tetapi Ishak (Kej 22 : 2). Al-Qur’an sendiri tidak menyebutkan secara eksplisit siapa yang akan dikurbankan itu. Tetapi perlu diingat pendapat dikalangan sarjana islam juga tidak satu, ada yang menyatakan Ismael, ada pula Ishak.Saya tidak hendak menuliskan perbedaan pendapat itu. Yang akan saya sajikan adalah makna berkurban itu sendiri. Bukankah ini lebih penting?
Tradisi berkurban manusia diyakini benar-benar pernah ada. Bangsa Mesir Kuno – misalnya – pernah mempraktekkan tradisi mengerikan ini. Bagi bangsa-bangsa kuno, kurban manusia adalah pencak pengabdian kepada sang adikodrati. Dengan harapan agar sang adikodrati puas dan melimpahkan keberkahannya, entah itu berupa turunnya hujan, panen melimpah, terhindar dari bencana dan seterusnya. Korban manusia – bisa juga anda sebut tumbal – biasanya dilakukan pada kondisi krisis, disaat solusi lain tidak ada. Tetapi tetap saja kurban manusia tempo dulu tidak bisa disebut tulus. Lho mengapa bisa? Lihatlah orang mesir kuno mengorbankan budak untuk “menemani” Fir’aun yang sudah mati di alam arwah. Mengapa hanya budak? Bukankah lebih baik keluarga sendiri. Hal serupa juga anda temukan pada suku Maya seperti yang digambarkan dalam film Apocalypto besutan Mel Gibson. Penguasa dan pendeta suku Maya mencari korban manusia diluar lingkungannya sendiri.
Tetapi lain lagi kisah yang dilakukan Ibrahim. Yang hendak dijadikan kurban adalah anaknya sendiri, Ismail (atau Ishak?). Anak tunggal yang paling dikasihi. Bukan budak, bukan pula orang luar. Sekali lagi anak sendiri. Ini bentuk ujian paling berat bagi Ibrahim yang baru mempunyai anak diusia senja. Jika Ibrahim diperintahkan untuk mengorbankan manusia lain (bukan anaknya), tentu hal tersebut biasa untuk ukuran jaman itu, sehingga tidak bisa dijadikan teladan. Tetapi – sekali lagi – korbannya adalah anaknya. Dan hebatnya, eksekutornya Ibrahim sendiri. Bayangkan kengerian yang dialami Ibrahim kala itu. Hanya hamba yang betul-betul berserah diri yang mampu melakukan itu. Dan Ibrahim sukses lahir maupun batin.
Kehebatan bukan hanya disitu. Ternyata sang anak – Ismael (atau Ishak?) – diajak berdialog terlebih dahulu. Kitab suci ketiga agama dengan narasi yang berbeda menjelaskan dialog tersebut. Intinya bapak dan anak itu ikhlas untuk melakukan perintah Alloh tanpa reserve, walau perintah itu “hanya” melalui mimpi. Dari mana munculnya keikhlasan itu/ Jawabnya jelas dari hati. Hanya hati yang bersih yang mampu merespon perintah yang mengerikan itu. Hanya hati yang bersih yang mampu menyimpulkan bahwa mimpi itu benar datangnya dari Tuhan. Dan hanya hati yang bersih yang selalu berprasangka baik pada Tuhan. Dengan mantab bapak-anak itu naik ke bukit untuk melakukan ritual yang mengerikan : penyembelihan manusia. Semua sudah sepakat. Ayah, anak dan pemilik manusia (Tuhan), semua telah sepakat. Tidak ada lagi hukum yang menghalangi. Lihatlah kengerian itu dilakukan dengan cara demokratis.
Tetapi Alloh memang hanya menguji, sampai dimana keimanan nabiNya. Tatkala pisau sudah menempel di leher, Alloh berkehendak – kun fa ya kun – anak kecil itu digantikan dengan sembelihan yang agung, domba putih. Ibrahim dan anaknya lulus ujian dengan gilang gemilang. Setan yang berkerumun menggoda malu setengah mati. Alloh menganugerahkan rahmat-Nya, bahwa Ibrahim akan menjadi bapak dari banyak bangsa, bahwa musuh-musuh akan takluk ditangan keturunannya. Ishak nantinya menurunkan suku-suku Israel, sedangkan Ismail menurunkan bangsa yang besar (Arab).
Apa pesan dibalik ujian Alloh itu? Mengapa Alloh menggantinya dengan domba. Tidak berlebihan kiranya jika saya menegaskan kembali bahwa manusia begitu penting, tidak semestinya dianiaya apalagi dibunuh. Selama ini kita hanya memaknai ibadah kurban sebagai ujian ketakwaan, solidaritas terhadap kaum miskin, atau ladang pahala. Sudah saatnya kita melihat dari sisi terdalam kemanusiaan yaitu pentingnya menghargai nyawa dan kehormatan manusia. Apakah kini kita sudah tidak menghormati manusia? Coba perhatikan, berapa bayi yang mati sia-sia karena pelayanan kesehatan yang buruk. Perhatikan juga berapa ribu lagi yang menjadi korban aborsi. Kita juga menyaksikan orang tua yang tega menganiaya anaknya sampai mati hanya karena hal sepele. Saya sudah bosan mendengar berita seorang ibu yang membuang bayi hasil hubungan gelap. Lihatlah seluruh penjuru bumi, berapa ribu lagi kematian harus dialami karena konflik politik dan peperangan. Dalam skala kecil berapa sering kita menghardik dan memaki anak kita atau orang tua kita sendiri?
Yang membuat saya trenyuh justru saat ini ada pemimpin Arab muslim (baca :keturunan Ismail) yang mempertahankan kekuasaannya dengan mengorbankan ribuan rakyat. Seolah nyawa itu tidak penting. Juga ada pengebom bunuh diri yang membunuh manusia dengan mengatasnamakan mandat langit. Ini mengerikan. Bukankah Qur’an sudah menjelaskan membunuh satu orang tanpa hak ibarat membunuh seluruh umat manusia. Akhir kata, dari Ibrahim kita diajari cara berserah diri, dari kisah Ibrahim pula Tuhan memberi contoh yang sangat menginspirasi, bahwa manusia adalah makhluk yang sangat tidak layak “dikurbankan”, dengan cara apapun, atas alasan apapun, sekecil apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H