Mohon tunggu...
Margono Dwi Susilo
Margono Dwi Susilo Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Pendidikan : SD-SMP-SMA di Sukoharjo Jawa Tengah; STAN-Prodip Keuangan lulus tahun 1996; FHUI lulus tahun 2002; Magister Managemen dari STIMA-IMMI tahun 2005; Pekerjaan : Kementerian Keuangan DJKN

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Aku dan Binatang (Chapter Siji)

3 Juli 2012   09:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:19 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jikapun anda tidak punya senapan angin - ketapel tidak saya rekomendasikan karena saya tidak pernah berhasil - tetaplah bisa berburu burung. Cara yang dahulu biasa kami gunakan dengan menggunakan perangkap, kami menyebutnya songgrok. Songgrok ini terbuat dari plastik kresek warna hitam, diberi galah panjang. Bayangkan seperti songgrok untuk memetik buah mangga. Cara kerjanya sederhana. Anda harus mampu mendeteksi keberadaan sarang burung, biasanya disela-sela buah pisang. Sarang tersebut terbuat dari kombinasi jerami, ranting dan daun kering. Tempelkan songgrok ke mulut sarang dan suruh tim anda menggoyang pohon pisang. Dijamin burung yang kaget dan keluar sarang akan masuk ke lubang plastik kresek. Jika beruntung satu keluarga burung bisa anda tangkap. Bagi kami - anak-anak kampung - segera terbayang lezatnya daging burung. Walau hanya berukuran sejempol dan agak menggelikan, tetapi tetap uenake pol!

Satu lagi teknik mendapatkan burung, yaitu dengan memakai pulut, getah lengket, yang saya sadap dari Pohon Bendo - sejenis pohon nangka raksasa - yang tumbuh di dekat sungai pinggiran kampung kami. Butuh waktu setengah hari untuk mendapatkan pulut seukuran setengah bola pingpong, cukup untuk menjebak seekor burung seukuran kutilang, tekukur atau penthet.

Binatang secerdas apapun pastilah punya kebiasaan. Dan kebiasaan burung yang harus anda amati jika ingin menangkapnya adalah tempat hinggapnya. Untuk memudahkan eksekusi, deteksi tempat hinggap yang mudah terjangkau, misalnya di tonggak pematang sawah. Ditempat itulah kami oleskan getah bendo berwarna putih kecoklatan. Kami menunggu ditempat tersembunyi. Saat burung terjebak pada pulut, secepat kilat kami serbu. Ini krusial. Sering burung yang sudah terjebak bisa meloloskan diri karena hanya menginjak pulut dengan satu kaki saja. Jadilah kami pelari tercepat di dunia. "Horeee dapeett!" atau... "asuuu ucul!" - selain insting, kejelian dan kesabaran, mengumpat adalah mantra wajib bagi pemburu burung.

Ordo binatang selanjutnya yang akrab dengan saya adalah binatang melata atau reptilia. Sesungguhnya agak sungkan saya menceritakan sesi ini. Tetapi baiklah. Pada tahun 1982, senior kami di kampung menginisiasi pembentukan klub sepak bola anak-anak, diberilah nama PS.Palapa. Tentulah sebuah klub - sebetapapun kecil dan udiknya - tetap butuh kostum, dan itu hanya bisa didapat dengan iuran. Para senior dengan kewenangan dan pengalamannya mematok harga kostum Rp.1.500,- - angka yang cukup fantastis untuk anak SD kelas satu seperti saya. Untuk mendisiplinkan anggota dalam melunasi iuran, panitia memberi sugesti, barang siapa yang pertama melunasi iuran akan mendapat kostum nomor punggung 10 (Adjat Sudrajat), kedua nomor 9 (Bambang Nurdiansyah), ketiga 17 (Zulkarnain Lubis), dan seterusnya saya lupa.

Sebenarnya mudah saja saya meminta uang pada orang tua, tetapi itu opsi terakhir. Saya dan sohib sudah punya jalan untuk mendapatkan uang. Waktu itu banyak anak-anak di kampung kami kena penyakit gudiken (kulit gatal-gatal). Menurut pengalaman warga kampung kami sejak zaman azali obat penyakit kulit yang cespleng adalah daging Kadal. Singkat cerita saya dan sohib mendapatkan banyak order untuk mencari daging Kadal, seekor dihargai Rp.100,- Ini peluang manis, walau menjijikkan.

Kami mempersiapkan alat, namanya cis, tombak kayu dengan ujung dari jeruji besi sepeda yang dikikir runcing. Dengan tombak cis kami menyerupai manusia purba, tampak sangar tetapi bodoh, berkelana di kebun dan sawah berburu Kadal. Tidak mudah rupanya. Kami baru sadar bahwa Kadal mempunyai indera ketujubelas, mampu mendeteksi jika diburu. Saya kesal. Biasanya kadal berkeliaran, ini kok tidak menampakkan batang hidung sama sekali. Terpaksa kami merubah taktik, yaitu dengan mengobrak-abrik gerumbul dan sangkrah habitat persembunyiannya. Hasilnya nampak, beberapa ekor kadal lari terbirit-birit, dan...cis beterbangan menuju reptil kecil yang ketakutan itu. Tetapi akhirnya kami sadar, bukan cis yang dibutuhkan, tetapi kecepatan dan ketepatan tangan, batu, kayu dan sandal kami dalam menghajar Kadal. Walau susah payah, dalam seminggu kostum warna biru Italia bisa kami sandang, PS Palapa nomor punggung 6, (nomor yang tetap saya minta waktu pembagian kostum bola di kantor sampai saat ini). Saya masih ingat, dengan kostum baru, dengan rasa bangga yang membuncah, kami - yang telah melunasi iuran - berparade keliling kampung. Semua peserta parade berpikiran sama, suatu saat akan diterima menjadi anggota PSG (Persatuan Sepak Bola Gawok) atau Arseto Solo. Wuih huebuatnya!

Oh ya, ada beberapa ekor Kadal yang ditolak oleh pembeli karena penyok berantakan. Tetapi jangan khawatir, reptilia ini tetap punya tempat yang nyaman : perut kami. Nyamleng tenan! Mungkin karena itu pula PS Palapa sering menang.

Dari generasi Laskar Kadal ini seingat saya tidak ada satupun yang berhasil mewujudkan impiannya menjadi pemain sepak bola ternama, diterima di klub PSG, apalagi Arseto. Semua sadar bahwa kami tidak berbakat, beruntung saya yang pertama sadar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun