oleh : margono dwi susilo
Sebagai orang Jawa yang tinggal di Banda Aceh tentu saya tertarik dengan keberadaan sebuah tempat yang secara resmi diberi nama Gampong Jawa. Konon kampung ini sudah ada sejak jaman kesultanan Aceh, sebagai bukti masa lalu Aceh memang kosmopolitan. Beberapa kali saya kesana untuk melihat orang-orang, laut, sambil sesekali mancing. Kali ini saya tidak akan bercerita tentang mancing, tetapi yang lebih substantif.
Seperti biasanya jumat adalah waktu yang spesial, setidaknya pada hari itu sholat jumat digelar. Kami pegawai Kementerian Keuangan di Banda Aceh berduyun-duyun memenuhi masjid Gedung Keuangan Negara (GKN) hendak menunaikan ibadah. Hampir semua pegawai Kementerian Keuangan yang ditempatkan di Banda Aceh adalah muslim, sehingga penuh sesak masjid kami. Tetapi ada sekelompok manusia yang secara mencolok tidak menunaikan kewajiban jumat. Mereka memang bukan PNS, tetapi tukang bangunan yang mengerjakan proyek di GKN. Mereka hanya duduk santai sambil memandangi kami yang berduyun-duyun menuju masjid. Semua makfum bahwa tukang bangunan tadi adalah pendatang dari Jawa (atau setidaknya orang Jawa yang lahir di Sumatera) yang sebagian besar muslim.
Teman saya yang Aceh, sempat nyeletuk, itulah orang Jawa, banting tulang demi dunia tetapi lupa Tuhan. Pada tahap ini saya setuju atas penilaian itu, bahwa Jawa sebagai muslim – tentu tidak semua -- sering tidak taat, bahkan cenderung singkretik dan mistik, percaya pada danyang penunggu kuburan dan Nyi Roro Kidul.
Karena cukup terusik, selepas sholat jumat, saya menemui para tukang bangunan tersebut. Mengapa tidak sholat jumat? Jawaban mereka simple saja, “untuk apa sholat jika membohongi diri sendiri.” Mereka justru mengklaim kami yang berduyun-duyun ke Masjid sebagai para munafik. Rajin sembahyang tetapi tetap korupsi. Selidik punya selidik rupanya mereka sangat terpengaruh oleh kasus Gayus Tambunan. Bahwa orang Keuangan adalah tipikal Gayus, hanya saja kebusukannya belum terbongkar. Dimanapun, walau ia cuma tukang bangunan, orang Jawa selalu pandai berfikir filosofis, bukan demi kebaikan, tetapi demi menghindar dari kewajiban, kadangkala yang syari’i sekalipun.
Lantas bagaimana Aceh memandang Jawa secara lebih subtil?
Ini tentu sulit. Karena Acehpun heterogen. Masyarakat Aceh di pantai timur-utara tentu beda dengan barat-selatan dalam memandang masyarakat pendatang, terutama dari Jawa.Perbedaan itu disebabkan oleh sejarah, terutama sejarah konflik. Perjumpaan masyarakat pantai timur-utara Aceh dengan Jawa bermula saat armada barat Majapahit menaklukkan Kerajaan Pasai di Aceh Utara pada sekitar 1350 Masehi (Kawilarang, 2008). Sejak itu hubungan Aceh-Jawa mengalami pasang surut. Pernah suatu ketika Aceh bekerjasama dengan Jawa saat bahu membahu memerangi Portugis yang menguasai Malaka. Ini terjadi pada masa Pangeran Sabrang Lor Pati Unus, pada 1521 M. Karena hubungan perjuangan ini Ratu Kalinyamat – putri Sultan Demak Trenggono – dinikahkan dengan Raden Toyib salah seorang putera Sultan Aceh Mughayat Syah. Raden Toyib akhirnya dikenal dengan nama Pangeran Hadiri.
Pada 1564 Sultan Aceh Ali Riayat Syah mengirimkan utusan ke Jawa meminta bantuan memerangi Portugis. Karena salah paham utusan Aceh tersebut justru di bunuh oleh Aria Pangiri, putra Sunan Prawata (Sultan Demak keempat). Hanya karena faktor Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadiri hubungan Aceh dan Jawa relatif tetap baik.
Pada tahun 1573 Sultan Aceh kembali meminta bantuan Ratu Kalinyamat (waktu itu ia penguasan Jepara bawahan Demak) untuk menyerang Portugis. Jawa mengirim pasukan sebanyak 15.000 orang dengan 300 kapal, tetapi terlambat, sehingga armada Aceh sudah dipukul mundur Portugis. Sejak itu kepercayaan Aceh terhadap Jawa menipis, apalagi sejak kematian Ratu Kalinyamat pada 1579.
Bagi anda penggemar sejarah tentu mengetahuibahwa sejak tahun 1873 Aceh berperang dengan Belanda sampai menjelang kedatangan Jepang. Tahukah anda suku bangsa nusantara yang paling banyak membela Belanda dalam memerangi Aceh? Ya benar, suku Jawa. Paling tidak hal ini menurut pandangan Aceh. Ribuan kompeni KNIL yang dikirim ke Aceh sebagian besar suku Jawa, disamping Eropa, Ambon, Timor dan Minahasa. Kalau anda tinggal di Banda Aceh anda bisa mengunjungi Kuburan Belanda Kerkoff. Semua orang Aceh tahu bahwa justru yang dikubur disitu dominan orang Jawa yang masuk dalam kedinasan KNIL. Anda akan menemui nama-nama Jawa seperti Kromodengso, Kromodiryo, Semito, Prawiroyudo dan seterusnya. Ratusan bahkan mungkin seribu nama-nama Jawa. Kerkoff adalah monumen bahwa Jawa pernah membela Belanda (penjajah kafir), dan Jawa akhirnya terbunuh di Aceh.
Kalau anda juga suka membaca aktivis Aceh dalam memahami hubungan dengan Pemerintah Pusat di Jakarta, tentu anda akan mendapat banyak statement bahwa Aceh di masa revolusi merupakan daerah modal bagi Republik. Tidak terkira sumbangan Aceh terhadap bayi Republik, sebut saja misalnya pesawat RI-1 Seulawah dan Radio Rimba Raya. Atau misalnya kisah Presiden Sukarno yang menghiba-hiba ke ulama Aceh agar rakyat Aceh membantu Republik yang dalam kesulitan besar. Semua permintaan Sukarno dipenuhi oleh rakyat Aceh, dengan imbalan syariat islam akan ditegakkan di bumi serambi mekah. Tetapi setelah republik stabil justru Aceh dilebur dalam propinsi Sumatera Utara pada 23 Januari 1951. Bagi Pemerintah di Jakarta peleburan itu demi efisiensi. Bagi Aceh ini adalah pengkhianatan ala Indonesia yang kebetulan dipimpin orang Jawa. Dikatakan Indonesia (Jawa) adalah negara yang mudah membuat janji tetapi mudah pula ingkar. Dalam berbagai propaganda dikatakan perilaku Jawa yang suka mengkhinati janji ini dibaratkan seperti perilaku Yahudi. Kekecewaan ini pada akhirnya menyulut Daud Beureueh mendukung DI/TII Kartosuwiryo pada 20 September 1953.
Berbeda dengan Daud Beureueh yang membawa panji islam, Hasan Tiro memilih cara berbeda dengan mengedepankan romantisme sejarah dan sentimen etno-nasionalis, walau faktor ekonomi dan eksploitasi kekayaan alam Aceh oleh pemerintah Orde Baru tetap merupakan faktor penting. Dikembangkanlah indoktrinasi bahwa Aceh merupakan korban dari kolonialisme Jawa. Bagi Tiro dan pendukungnya, Aceh pernah gemilang di masa Sultan Iskandar Muda (berkuasa 1607-1636) dan terpuruk dijaman Belanda dan Indonesia (Jawa). Perhatikan teks proklamasi GAM yang dikumandangkan di Pidie 4 Desember 1976 :
"To the people of the world: We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java....In the name of sovereign people of Acheh, Sumatra.”
Jika digunakan bahasa yang lugas dan jujur, GAM dibentuk untuk membebaskan Aceh dari penjajahan Jawa.
Pemerintah Orde Baru menjawab tegas dengan mengirimkan tentara. Sebagian wilayah Aceh menjadi daerah operasi militer (DOM). Ribuan orang menjadi korban. Tetapi ironisnya, dalam konflik ini, suku Jawa yang tinggal di Aceh kembali menjadi kambing hitam, sering dituduh mata-mata tentara. Dimulai dari tentara yang memang kebetulan banyak yang berasal dari suku Jawa. Tentara melakukan kekejaman, dan Jawa pun akhirnya dituduh kejam. Ada pameo dari masyarakat Aceh : “Aceh gila, Jawa kejam.” Propaganda GAM selalu mempukul rata bahwa tentara di Aceh (terutama BKO) adalah perpanjangan kolonialisme Indonesia-Jawa. Masa DOM dan Darurat Militer semakin mengentalkan opini bahwa Jawa – dimulai sejak jaman Majapahit – adalah penjajah.
Harus diakui bahwa secara kultur, orang Aceh dan Jawa sulit untuk duduk bersama dalam meja perundingan. Apa pasalnya? Konon orang Jawa seperti blangkon, ngomongnya A tetapi maksudnya B. Tutur katanya halus, tetapi penuh siasat dan menelikung. Jangan heran jika Jusuf Kalla saat memprakarsai perundingan damai dengan GAM tidak menyertakan satupun delegasi RI yang berasal dari Jawa. Ini memang strategi jitu dari Jusuf Kalla, yang hasilnya kita telah sama-sama tahu : Aceh damai dalam pelukan NKRI.
Dari narasi diatas dapat disimpulkan bahwa Jawa di mata Aceh setidaknya meliputi hal-hal sebagai berikut : pertama Jawa adalah bangsa yang tidak taat sebagai muslim, cenderung sinkretik dan percaya pada tahyul, kedua Jawa adalah bangsa yang suka ingkar janji selayak yahudi, ketiga Jawa adalah bangsa penjajah atau setidaknya kolaborator penjajah kafir, dan keempat Jawa adalah licik dan kejam.
Pertanyaannya, apakah semua orang Aceh memandang Jawa seperti itu? Tentu tidak. Pandangan negatif tersebut muncul karena konflik, dan diimani oleh orang-orang yang terkepung konflik. Tanpa konflik tentu pandangan Aceh terhadap Jawa akan normal-normal saja, bukankah Al-Quran sendiri menegaskan manusia itu diciptakan berbangsa-bangsa dan bergolong-golong. Mustahil orang Aceh tidak memahami penegasan Al-Quran tersebut. Masalahnya memang hampir separoh orang Aceh terimbas konflik. Wilayah Aceh yang steril konflik, seperti di Gayo Luwes, Takengon, Singkil, Aceh Selatan, sebagian Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Simeulue, Sabang cukup terbuka kepada pendatang, termasuk dari Jawa. Dimanapun dan kapanpun konflik memang memupuk sentimen negatif terhadap apapun. Aceh adalah laboratorium bahwa manusia bisa berubah karena konflik. Pengusiran transmigran dari Jawa pasca reformasi dan penembakan buruh dari Jawa akhir-akhir ini adalah bukti bahwa sentimen itu belum pupus.
Seperti yang lalu-lalu sore itu saya keliling kota Banda Aceh, melihat kembali Kampung Jawa di pinggir pantai. Tidak seperti biasanya saya terkesima dan baru sadar, bahwa sebagian Kampung Jawa telah dijadikan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Sampah raksasa. Di tempat inilah dibangun juga IPLT (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja) sejak 1995. Apakah ini suatu kebetulan karena posisinya sesuai? Ataukah memang ini sebentuk penistaan? Mungkin ada yang lebih arif memberikan tafsir.
Karena penasaran saya mengontak salah seorang kolega di Pemerintah Kota Banda Aceh. Saya yakin dia tahu sejarah TPA dan IPLT tersebut. Kami telah terbiasa kerjasama dalam urusan kedinasan, sehingga tidak canggung lagi dalam berkomunikasi. Sayapun bertanya tentang hal tersebut dengan nada bercanda, karena memang ini hanya remeh-temeh. Ia tersenyum saat saya menanyakan hal tersebut. Bisa-bisa aja katanya. Justru ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Sejurus kemudian, dengan mimik serius dia menceritakan, “itu hanya kebetulan saja karena lokasinya memang strategis.” Sayapun mendebat “bukankah lebih baik Pemerintah Kota menyewa lokasi yang agak jauh di luar kota, misalnya di daerah Aceh Besar, TPA dipinggir laut tentu tidak layak, apalagi lahan pinggir laut selalu terbatas.”
Kolega saya tersenyum...”oke Mas, terus terang saya tidak tahu pertimbangannya apa. Tetapi yang jelas sudah ada analisa dari Bapedal. Ambil hikmahnya saja, bukankah TPA dan IPLT itu sesuatu yang sangat penting. Dengan demikian Kampung Jawa mengambil peran yang sangat penting pula, merubah sampah dan limbah menjadi sesuatu yang ramah. Bukankah itu luar biasa, merubah keburukan jadi kebaikan.”
Saya tidak menduga, ia begitu arif diusianya yang masih muda. Dia juga menceritakan apa jadinya rekonstruksi Aceh pasca Tsunami tanpa arsitek, tukang dan buruh dari Jawa. Di Aceh banyak kontraktor berebut tender, tetapi miskin buruh dan tukang. Aceh lebih percaya Jawa dalam hal keahlian seperti itu. Akhirnya, pada beberapa sisi Jawa memang tidak disukai, tetapi kehadirannya selalu dicari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H