Mohon tunggu...
Margono Dwi Susilo
Margono Dwi Susilo Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Pendidikan : SD-SMP-SMA di Sukoharjo Jawa Tengah; STAN-Prodip Keuangan lulus tahun 1996; FHUI lulus tahun 2002; Magister Managemen dari STIMA-IMMI tahun 2005; Pekerjaan : Kementerian Keuangan DJKN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Surya Kembar Ing Bumi Mataram

23 September 2011   08:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:41 2302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surya Kembar Ing Bumi Mataram

Oleh : margono dwi susilo

Prolog :

Bumi resah, bumi ‘kan terus bersimbah darah
Di jalanan dan pematang-pematang sawah
Jiwa memar dan kepedihan merekah
Siapa lagi yang akan mereka bunuh Saudara?
Dapatkah senjata dan pedang, teror dan perang
Memikul beban dan hiruk pikuk bumi yang kerontang?

(Fragmen akhir Syech Siti Jenar Menjelang Hukuman Mati, oleh Abdul Hadi W.M)

“PanggilAnak Mas Pekik.” Perintah itu bukan sembarangan karena meluncur tegas dari mulut orang yang paling berkuasa di seantero tanah jawa, Sultan Agung Hanyokrokusumo. Titah itu adalah klimak dari pergulatan batin Sultan akhir-akhir ini. Segera dua orang tamtama bersenjata tombak tunduk menyembah, mengundurkan diri, lalu setengah berlari menuju kediaman Pangeran Pekik.

Tiga tahun sebelum titah diucapkan, Pangeran Pekik mendapat kamulyan berupa perjodohan dengan Ratu Pandansari, adik perempuan Sultan Agung. Ini adalah perkawinan politik untuk mengikat Jawa Timur agar setia pada Mataram. Pekik adalah penguasa pesantren Ampel di Surabaya, dimana ditahun 1625 M, ayah Pekik yaitu Pangeran Jayenglengkara – adipati Surabaya --menyatakan takluk pada Sultan Agung di Mataram. Dengan demikian Pekik adalah taklukkan. Tetapi status taklukkan dihapus dengan pernikahan tersebut. Jawa Timur merasa tersanjung. Tetapi tokoh yang waskita tetap curiga, apa maksud sesungguhnya Sultan yang haus kekuasaan tersebut?

Lingkaran Mataram sendiri sebenarnya kurang suka dengan pernikahan itu. Walau bagaimanapun Pekik adalah putra seorang taklukkan. Apalagi penaklukkan Surabaya membutuhkan waktu sangat lama, 26 tahun, dengan korban luar biasa banyak. Tentu dendam itu masih membara. Mengapa Pekik? Bukankah putra Surabaya tersebut belum teruji kesetiannya kepada Mataram? Tetapi siapa yang berani melawan kehendak sultan?

“Ampun kanjeng sultan, ada apa gerangan memanggil hamba?” Pekik dengan takzim menghaturkan sembah. Walau ia putra Surabaya, menantu sultan, pemimpin perguruan Ampel sekaligus cucu dari Sunan Ampel, tetapi dihadapan Sultan Mataram nyalinya ciut juga. Apalagi beberapa hari ini ia selalu mimpi buruk. “Dinda Pekik”, yang dipanggil semakin gemetar. Jarang Sultan Mataram memanggil dengan sedemikian lembut. “Saya mau bertanya padamu, bagaimana kiranya jika di dunia ini ada dua matahari, surya kembar.” Pekik terdiam. Diperlukan mental dan kecerdasan luar biasa untuk memberikan jawaban yang tepat disaat kondisi tertekan. Pekik sudah cukup lama tinggal di lingkungan istana Mataram, tentu tahu persis maksud surya kembar.

“Tertib dunia akan hilang kanjeng Sultan. Orang akan sulit untuk mendapatkan pegangan. Lama kelamaan masyarakat akan hancur.” Sultan Agung manggut-manggut dengan jawaban tersebut. Lalu, “terus bagaimana caranya agar tertib dunia itu segera pulih.” Dengan sigap Pekik menjawab, “matahari yang satu harus dipadamkan.” Tidak kalah sigap pula Sultan Agung ing Mataram langsung memberi perintah “baiklah anak mas pangeran, anak mas aku tugaskan untuk memadamkan matahari yang satu itu.” Seketika siti hinggil hening. Demikian pula Pangeran Pekik, hening, tetapi hatinya berkecamuk. Namun sebagai menantu sekaligus taklukkan, Pekik tidak bisa lain harus memberikan jawab : “sendiko Kanjeng Sultan” (baiklah paduka sultan).

Selepas dari siti hinggil Pangeran Pekik mengadu pada istrinya, Ratu Pandansari. “Dinda, sungguh malang nasibku ini. Baru saja saya mendapat tugas luar biasa berat dari kakanda Sultan.” Dengan lembut permata mataram menghibur suaminya “kakang mas, tugas apa gerangan yang berat itu. Bukankah tidak ada yang mustahil bagi keturunan Sunan Ampel seperti kakang mas. Lagi pula ada adinda yang siap bela pati demi kakanda.” Kata-kata lembut Pandansari merupakan air sejuk bagi Pekik, “adinda, kakang mendapat tugas untuk menaklukkan Giri Kedaton. Ini sangat berat bagi saya, apalagi Sunan Giri adalah sinar bagi Nusantara. Bagaimana mungkin keturunan Sunan Ampel seperti saya harus memadamkan matahari islam di Giri? Bagi saya lebih baik mati dari pada harus menggempur Giri.”

Pandansari tahu bahwa suaminya bimbang. Tetapi ia juga tahu bagaimana caranya agar suaminya luluh. Pandansari adalah benteng mataram. Bagi orang seperti dia perintah Sultan adalah hukum, dunia dan akhirat. Dengan lembut pangeran Pekik digandengnya mesra, dibawa ke bilik pribadi. Di pinggir ranjang Pandansari memberi semangat pada suaminya. Sore itu, kedua makhluk lain jenis itu, saling menguatkan, berkali-kali, di ranjang.

Tidak menunggu lama, suatu pagi di tahun 1636 M, pasangan suami istri itu meminta restu untuk pergi ke Surabaya mempersiapkan pasukan untuk menggempur Giri. Sultan merestuinya dengan memberikan dua pusaka : bende mataram dan tombak kyai plered. Seluruh rakyat Mataram menyimak dengan gemetar karena sebentar lagi Jawa akan kembali diguncang perang. Kali ini bukan perang sembarangan, ini perang dua kutub kekuasaan, politik dan spiritual. Bagi mataram kekuasaan itu harus dalam satu tangan, matahari kembar harus dihilangkan. Nyatalah sudah bahwa pernikahan Pekik dan Pandansari tiga tahun yang lalu menyimpan maksud tersembunyi.

Bagi Sultan Agung keputusan menyerang Giri adalah keputusan yang sungguh sulit. Sebagai muslim ia sangat menghormati Giri. Tetapi sebagai sultan ia harus menjalankan politik kerajaan : menegakkan hegemoni mataram atas seluruh Jawa. Itu adalah harga mati. Beberap kali ia menunda menyerang Giri karena rasa hormat pada para ulama di Giri. Sultan tahu persis kewibawaan Giri di mata rakyat. Giri dengan ulama yang dipimpin Sunan Giri V adalah matahari yang terang benderang di bang wetan. Banyak raja di belahan timur nusantara menghaturkan hormat dan tanda takluk kepada Giri. Tidak jarang mereka -- raja-raja itu -- meminta pertikel (pertimbangan) kepada Giri jika menghadapi masalah kenegaraan. Dalam kondisi itu Sultan Agung sempat mengurungkan niat menggempur Giri. Biarlah, toh Giri tidak pernah bermaksud menyerang Mataram. Bukankah Giri dikelola oleh para ulama. Bukankah Mataram dahulu juga mendapat dukungan ulama.

Tetapi rupanya ada pihak yang tidak suka pada keberadaan Giri. Tidak suka pada kebimbangan Sultan Agung. Mereka ini jumlahnya tidak sedikit. Kawula mataram juga. Kawula yang pernah trauma dengan ketegasan wali songo dalam menjaga kemurnian islam. Ya, mereka pengikut islam kebatinan, pemahaman islam seperti yang dituturkan pujaan mereka, Syech Siti Jenar sinebut ugo Syech Lemah Abang. Mereka menuntut keadilan. Bukankah menurut Kitabulloh hal pertama yang dimintai pertanggungjawaban di akherat dari seorang pemimpin adalah keadilan. Hal ihwal keadilan itu semakin hari semakin kuat mempengaruhi pikiran Sultan. Tuntutan dari pengikut Syech Siti Jenar ini tidak dilakukan dengan cara biasa, seperti tapa pepe (unjuk rasa) tetapi dengan pengiriman sasmita (bisikan) gaib : “wahai sultan Mataram bukankah paduka adalah khalifah ing tanah Jawa. Tugas pemimpin adalah menegakkan keadilan. Sudah demikian terang bahwa guru kami Siti Jenar dibunuh oleh para wali sanga secara tidak adil. Mengapa hal itu terus menerus kanjeng Sultan diamkan. Tidak takutkah paduka pada kemurkaan Alloh? Bukankah Kitabullah menggariskan qishos? Kami adalah murid dan ahli waris dari guru kami, Siti Jenar, meminta qishos dengan seadil-adilnya.” Jelas sudah, bagi murid dan pewaris Siti Jenar, dewan wali di Giri yang harus memikul tanggung jawab pembunuhan itu.

Sasmita gaib itu semakin mengganggu pikiran Sultan Agung. Telah berulang kali Sultan meminta pertimbangan dewan kerajaan dan para senopati. Tetapi tidak ada yang menyatakan kesanggupan untuk menaklukkan Giri. Semua gentar dengan perbawa Giri Kedaton. Apalagi kini Giri dipimpin oleh Sunan Giri V alias Kyai Kawis Guwa, seorang yang linuwih dalam ilmu dunia maupun agama. Hal seperti ini berlangsung lama.

Sampailah saatnya ada seorang ahli nujum memberi saran, “ampun paduka Sultan. Menurut pertimbangan hamba di seantero tanah Jawa ini tidak ada yang sanggup untuk menaklukkan Giri kecuali murid-murid dari Sunan Ampel. Bukankah dahulu Sunan Giri adalah murid Sunan Ampel. Apa yang dipunyai Giri tentulah sudah diketahui oleh Ampel. Dan yang penting kini paduka Sultan telah mempunyai wewenang atas trah Sunan Ampel, beliau adalah Pangeran Pekik, putra adipati Surabaya di bang wetan.”

Mendengar saran tersebut Sultan tersenyum. Tangannya mengepal. Pandangannya jauh ke arah timur laut, ke arah Giri Kedaton. Sebentar lagi ia akan menegakkan keadilan sesuai darma Kitabulloh. Dan yang lebih mengesankan ia akan mempersembahkan gelar yang menggetarkan bagi keturunannya : “Sultan Agung Hanyokrokusumo Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama Abdullah Muhammad Maulana Abdurrahman Khalifatullah ing Tanah Jawa.” Entah mengapa pada kondisi seperti ini bukan keadilan lagi yang ia pikirkan, tetapi kewibawaan. Ya, kewibawaan mataram dan tentunya – kewibawaan dirinya sendiri.

Musim panen 1636 M. Pasukan mataram bergerak ke timur untuk bergabung dengan laskar Surabaya, siap berderap menghantam Giri Kedaton. Tetapi Sunan Giri V bukanlah tipe pengecut. Baginya trah wali adalah darah mulia. Tidak seyogyanya gentar oleh gertakan penguasa dunia. Apalagi kini Giri mempunyai pengikut baru, Endrasena, seorang mualaf dari ningrat Cina beserta 200 pasukan pilih tanding. Giri yakin akan sanggup membendung Mataram.

Walaupun Sunan Giri V terkenal ngerti sak durunge winarah (tahu sebelum kejadian) ia tetap terkejut tatkala pada malam gulita Pangeran Pekik, sendirian, menghadap ke Giri Kedaton. Tujuannya hanya satu, membujuk agar Giri Kedaton menyerah baik-baik kepada Mataram demi tidak tumpahnya darah sesama muslim. “Kanjeng Sunan, sejelas benderangnya siang saya harap Kanjeng Sunan dapat memenuhi keinginan Kakanda Sultan Agung. Sultan Mataram berjanji akan memberi kemuliaan kepada Giri.” Balairung senyap sejenak. Kejadian selanjutnya adalah hal yang tidak terduga bagi Pangeran Pekik, “bagaimana Endrasena, sanggupkah kamu membendung Mataram?” Dengan berapi-api mualaf itu berkata “demi kewibawaan Giri, apapun akan saya lakukan.”

Hawa panas menyelimuti Giri Kedaton. Dengan tetap menghaturkan sembah Pekik undur diri. Air matanya jatuh. Ia begitu mencintai Giri beserta orang-orangnya. Tetapi takdir memaksanya bertindak lain. Saat fajar menyingsing, Bende Mataram telah ditabuh bertalu-talu. Perangpun pecah.

Epilog

Kedaton Giri dihancurkan oleh laskar gabungan Mataram-Surabaya pimpinan Pangeran Pekik dan Pandansari pada tahun 1636. Sejak itulah institusi dewan wali dihapuskan dalam sejarah Nusantara. Kehilangan dewan wali menjadikan Jawa – kemudian nusantara -- begitu cepat dicaplok oleh Belanda. Pada tahun 1646 Amangkurat I (pengganti/anak Sultan Agung) membuat persekutuan dengan VOC. Penggantinya, Amangkurat II tidak lebih sebagai boneka VOC.

SBY-JK adalah matahari kembar Indonesia di era reformasi. Seperti halnya Sultan Agung (Mataram), demikian pula SBY (Partai Demokrat) menginginkan agar matahari yang satu dipadamkan. Jika Sultan Agung menggunakan Pangeran Pekik dan laskar Surabaya untuk mengalahkan Giri Kedaton, maka SBY menggunakan pemilu dan keluguan rakyat Indonesia untuk mengalahkan JK. Dulu dan sekarang sama saja, politik selalu tentang kekuasaan, dan kekuasaan selalu sulit untuk berbagi. Bukan demi uang, tetapi demi sesuatu yang sesungguhnya absurd : kewibawaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun