Tuhan mengajarimu bicara kata-kata yang tak sanggup diartikan sewajarnya
Serupa bunyi-bunyi tanpa arti di bibirmu kali pertama memandang dunia
Tuhan melubangi telingamu dengan suara-suara yang tak mampu kau cerna
Serupa kalimat-kalimat tanya yang menggema kali pertama pendengaran ada
Tuhan mengajarimu menatap tanda-tanda yang tak jelas terbaca mata
Serupa warna pelangi yang menjelma siluet kali pertama mata terbuka
Seiring detak waktu yang mendaki tangga masa, kau pun tumbuh
Melewati gelombang ombak dan tikungan lembah pada gundukan usia
Melayarkan kata-kata menuju peradaban semestinya
Melabuhkan makna-makna pada dermaga di ujung senja
Di tepi samudera itu kau bersila menghitung rugi- laba perbekalan selanjutnya
Matamu menerawang, menulikan telinga dalam bibir yang berbuncah busa
Tuhan kini memanggilmu yang tengah duduk di bawah pohon hayati
Melalui angin lembut Dia menggantikan nafasmu yang mulai tersengal
Melaui bisik gerimis yang menancapkan jari-jari di punggung tua
Melaui cercah awan yang berayun pelan di barat bukit sana
Melalui sepi yang mulai merayapi hari-hari
Melalui hening yang bersetia kepada malam
Kini Tuhan memanggilmu, sayang
Memintamu menghentikan gerak segala rupa
Memintamu menyerahkan catatan dari sebongkah hati
Membawamu pulang ke asal
(Tangerang, 3 Desember 2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H