Mohon tunggu...
Margianta Surahman Juhanda Dinata
Margianta Surahman Juhanda Dinata Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Hubungan Internasional Angkatan 2013 - Universitas Paramadina * Kepala Divisi Kajian Hubungan Internasional - HIMAHI Paramadina * Co-Initiator dan Juru Bicara Gerakan Muda FCTC Untuk Indonesia * Dewan Penasehat Paramadina MUN Club

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fast Fashion dan Pelajaran Mengenai Ketidaksejahteraan Buruh di Bangladesh

1 Mei 2016   20:28 Diperbarui: 2 Mei 2016   11:10 1066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Foto diambil oleh Taslima Akhter

 

Dominasi kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang diterima dan diimplementasikan secara global saat ini telah membuahkan fenomena economically constructed culture, sehingga mengkonstruksikan budaya konsumerisme masyarakat sebagai sesuatu hal yang lumrah. Masyarakat memiliki tendensi untuk membeli barang-barang yang mereka tidak butuhkan, terutama dalam sektor pakaian yang terus mengalami pergantian tren dan gaya.

Akan tetapi, budaya konsumerisme terhadap aspek pakaian di masa kini banyak dikritisi oleh para aktivis buruh sebagai suatu fenomena “fast fashion”,di mana tren pakaian yang terus berganti memicu masyarakat untuk lebih konsumtif dan terus membeli pakaian, meski di saat mereka tidak membutuhkannya sekalipun. Mayoritas pola konsumerisme para pecinta gaya pakaian pun hanya mementingkan tren dan harga pakaian yang semurah mungkin. Padahal bila harga suatu pakaian semakin murah, maka semakin murah pula upah yang dibayarkan kepada buruh industri pakaian yang memproduksinya. Akan tetapi ironisnya, aspek-aspek fundamental seperti kesejahteraan buruh yang memproduksi pakaian-pakaian tersebut diabaikan dan bukanlah faktor determinan penting masyarakat dalam membeli pakaian.

Berbicara mengenai kasus kesejahteraan buruh pakaian, Bangladesh merupakan  salah satu dari banyak negara yang cukup dikenal dengan kekurangan kesejahteraan buruh pakaiannya. Rendahnya kesejahteraan buruh pakaian Bangladesh sejatinya merupakan paradoks, mengingat Bangladesh memiliki penghasilan yang sangat tinggi dari bidang industri pakaian. Sektor garmen adalah lahan kehidupan bagi masyarakat Bangladesh, semenjak beralihnya lahan-lahan pertanian menjadi industrialisasi pabrik-pabrik garmen pakaian di negara yang dihuni oleh kurang lebih 168 juta penduduk ini. Bangladesh merupakan industri pakaian terbesar kedua di dunia, yang menyuplai merek-merek pakaian perusahaan multi-nasional barat. Industri garmen Bangladesh selama ini telah menghasilkan produk-produk pakaian yang diekspor ke negara di berbagai belahan dunia.

Tidak heran, industri garmen merupakan penghasil terbesar ekspor Bangladesh yang setiap tahunnya yang bernilai sekitar Rp 194 triliun dan merupakan 79 persen dari pendapatan negara tersebut. Lebih dari 3,2 juta orang bekerja di sektor ini dalam 5000 pabrik garmen yang tersebar di seluruh daerah Bangladesh. Bahkan industri pakaian Bangladesh disebut-sebut sebagai ‘contoh sukses dalam konteks pemberdayaan perempuan,’ karena sekitar 80 persen pekerja industri pakaian di Bangladesh adalah perempuan. 

Pertumbuhan ekonomi Bangladesh karena prestasinya dalam bidang industri pakaian membuat Bangladesh digolongkan sebagai salah satu dari contoh negara berkembang dengan keberhasilan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) nomor 1, yaitu penghapusan kemiskinan ekstrim yang paling sukses di dunia.

Paradoks Di Balik Pertumbuhan Ekonomi Berbasiskan Industri Pakaian

Umumnya kita memiliki asumsi kapitalistis bahwa bila sebuah negara mengalami pertumbuhan ekonomi, maka secara tidak langsung kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara individual dalam berbagai bidang pekerjaan pun akan turut terakomodir dan terpenuhi secara ideal. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah harus melakukan liberalisasi ekonomi agar mempermudah masuknya arus investasi asing yang meningkatkan produktivitas ekonomi negara. Jumlah masyarakat yang terjebak kemiskinan pun akan semakin menurun, dengan banyaknya arus investasi asing dalam bentuk FDI (Foreign Direct Investment). 

Tetapi bila ambisi pemerintah Bangladesh hanya terbatas pada pertumbuhan ekonomi untuk menghapuskan kemiskinan ekstrim saja, maka sesungguhnya ambisi pertumbuhan ekonomi ini telah mengabaikan aspek-aspek lain yang merepresentasikan keamanan manusia/human security dalam konteks kesejahteraan para buruh industri pakaian yang sesungguhnya memiliki peranan besar dalam keberhasilan ekonomi Bangladesh.

Pada akhirnya, kita bisa melihat meningkatnya pertumbuhan ekonomi Bangladesh berbasiskan industri pakaian dan kurangnya kesejahteraan dari para buruh industri pakaian Bangladesh sebagai sebuah paradoks. Bangladesh adalah negara dengan populasi penduduk yang padat. dengan usia kerja/di bawah usia kerja yang terbesar di dunia. Hampir 70 persen dari 150 juta total populasi masyarakat Bangladesh berada di bawah usia 35 tahun. Situasi demografis yang padat penduduk ini pun memungkinkan Bangladesh untuk mendapatkan privilise “demographic dividend” atau dividen demografi, di mana kombinasi dari biaya hidup yang murah dan padatnya jumlah populasi penduduk akan menghasilkan sangat rendahnya biaya upah buruh industri pakaian yang harus dijamin dan dibayar oleh para industri pakaian di Bangladesh.

Meskipun begitu, upah buruh pakaian terhitung sangat kecil sehingga tidak dapat memenuhi tingkat kesejahteraan buruh yang layak. Bangladesh sendiri adalah negara di urutan kedua dengan upah termurah bagi pekerja garmen sebesar US$ 0.25 per jam. Rendahnya upah buruh industri pakaian di Bangladesh tersebut merupakan cerminan dari buruknya kesejahteraan buruh industri pakaian di Bangladesh. Sehingga pada akhirnya, para buruh industri pakaian di Bangladesh kesulitan untuk memenuhi kehidupan fundamental keluarga sehari-harinya seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pengobatan,dan pendidikan.

Isu buruknya kesejahteraan buruh industri pakaian di Bangladesh sendiri bukanlah sebuah fenomena baru dan tidak kunjung selesai sejak mulai muncul ke permukaan di tahun 1990-an. Kasus pabrik Tazreen Fashions Garment yang terbakar pada 24 November 2012 menewaskan 112 orang adalah bukti bahwa kesejahteraan dan keselamatan kerja di Industri garmen Bangladesh dipertanyakan. Salah satu kasus signifikan mengenai buruknya kesejahteraan buruh industri pakaian adalah insiden rubuh dan ambruknya bangunan pabrik dan pusat perbelanjaan Rana Plaza Pada pagi hari tanggal 24 April 2013 yang memakan korban jiwa lebih dari 1.100 buruh dan ratusan korban luka-luka. 

Insiden ini berimplikasi pada meningkatnya aktivisme buruh pakaian Bangladesh yang seringkali melakukan demonstrasi terhadap pemerintah dan perusahaan multi-nasional guna memenuhi tuntutan mereka. Sudah tiga tahun berlalu dan nyatanya para buruh korban insiden Rana Plaza belum mendapatkan kompensasi yang adil dan selayaknya diberikan baik oleh pemerintah setempat atas lalainya supervisi dan proteksi mereka terhadap kaum buruh, maupun perusahaan selaku pihak pemilik kapital yang secara implisit melakukan pembiaran terhadap kondisi buruh yang tidak layak.

Peran Kita Sebagai Konsumen - Pakaian Sebagai Perwujudan Prinsip

Isu mengenai kesejahteraan buruh di Bangladesh hanyalah salah satu contoh dari banyak kasus serupa di banyak negara berkembang lainnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada lebih banyak kasus seperti Rana Plaza di masa depan, terutama di negara penuh investasi industri pakaian seperti Indonesia. Keterlibatan Indonesia dalam Komunitas Ekonomi ASEAN dan potensi penandatanganan Trans-Pacific Partnership diharapkan mampu membawa lebih banyak investasi di Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi.

Akhir kata, kita hanya bisa berharap bahwa proliferasi investasi di era perdagangan bebas diiringi dengan pemastian keselamatan dan kesejahteraan buruh. Jika ada insiden di masa mendatang mirip dengan yang terjadi di Rana Plaza, pemerintah Indonesia harus berkomitmen untuk melayani keadilan bagi buruh Indonesia, bukan kepentingan perusahaan.

Salah satu hal yang paling sederhana yang bisa kita lakukan untuk mencegah ketidakadilan pada buruh industri pakaian ini terjadi adalah dengan mengasah kepekaan kita terhadap latar belakang perusahaan dari pakaian bermerek yang akan kita beli.

Lebih dari sekedar mengikuti tren, kita harus melihat pakaian yang kita gunakan sebagai perwujudan prinsip kita. Ketika kita akan menghadapi pakaian bermerek di lain waktu, kita harus lebih sadar akan kondisi dan kesejahteraan buruh di belakang merek-merek pakaian yang kita gunakan. Sebagai konsumen, kita mampu membangun kesadaran yang lebih baik terhadap masalah ini dengan menyesuaikan pilihan konsumsi kita dengan pengetahuan mengenai realitas yang dihadapi buruh industri pakaian.

Mudah-mudahan suatu hari, industri pakaian dengan merek maha-prestis mereka mampu mengubah perspektif mereka yang hanya melihat kaum buruh sebagai angka dan variabel pada laporan laba bisnis mereka.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun