Mohon tunggu...
Margareth Dionna Chan
Margareth Dionna Chan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Psikologi di Universitas Airlangga

suka tidur

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cancel Culture sebagai Sanksi Sosial, Efektif Kah?

25 Mei 2023   12:49 Diperbarui: 29 Mei 2023   10:59 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pexels.com

"YOU ARE CANCELLED!" Jika kamu pengguna aplikasi twitter ataupun aplikasi tiktok, kamu pasti tidak asing dengan kata “cancelled”. Banyak artis serta influencer telah menjadi korban dari budaya pembatalan ini. Beberapa artis tersebut antara lain Kanye West yang menjadi korban cancel culture akibat opininya yang dianggap anti-semistic, Kris Wu dengan isu pelecehan seksualnya hingga JK Rowling, penulis novel populer Harry Potter, yang "di-cancel" akibat opininya yang dinilai transphobic.

Tidak hanya artis luar negeri saja, artis Indonesia pun tidak terhindar dari budaya cancel ini. Salah satu artis Indonesia yang akhir-akhir ini menjadi korban dari “cancel culture” adalah Virgoun akibat isu perselingkuhannya. Sebelum Virgoun pun, ada juga Listy Chan yang sempat menjadi korban dari “cancel culture” hingga kehilangan kontrak pekerjannya.

Lantas apa sebenarnya cancel culture itu? Menurut Cambridge Dictionary, cancel culture merupakan cara berperilaku dalam masyarakat atau kelompok, terutama di media sosial, yang umumnya bersifat menolak dan berhenti mendukung seseorang karena mereka telah mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyinggung perasaan. Selain itu, dilansir dari laman The New York Post, cancel culture merupakan fenomena yang mempromosikan penolakan atau pembatalan orang, merek hingga pertujukan karena dianggap menyinggung.

Istilah“cancel culture” sendiri berasal dari istilah gaul dalam bahasa Inggris “cancel” yang mengadung arti putusnya hubungan dengan seseorang. Istilah ini digunakan dalam lagu tahun 1980-an. Istilah ini kemudian mulai naik daun ketika digunakan di berbagai film dan acara televisi. Adapun menurut Dr Jill McCorkel, Professor Sosiologi dan Kriminology di Universitas Villanova, cancel culture telah ada sejak lama dalam sejarah manusia. Masyarakat sudah mulai menghukum orang-orang yang bertindak di luar norma sosial sejak lama dan cancel culture hanyalah salah satu variasinya.

Saat ini, cancel culture menjadi tren yang digunakan oleh masyarakat sebagai suatu sanksi sosial untuk membuat seseorang jera atas perbuatannya yang dinilai negatif oleh masyarakat . Hal ini biasanya dilakukan dengan memboikot artis, acara maupun merek yang bersangkutan. Orang-orang akan menolak untuk menikmati karya orang, acara ataupun merek yang bersangkutan hingga berhenti mengikutinya. Selain itu, tak jarang cancel culture juga dilakukan dengan menyalurkan ujaran negatif dan kebencian pada objek cancellation tersebut. Banyak orang yang beranggapan bahwa cancel culture merupakan hukuman yang cocok bagi orang dengan power yang besar. Namun ada juga orang yang menganggap bahwa cancel culture harmful dan menganggapnya sebagai suatu bentuk bullying dan main hakim sendiri.

Bagai pisau bermata dua, cancel culture mempunyai sisi baik dan sisi burukya. Dilihat dari sisi positif, cancel culture memungkinkan orang-orang yang terpinggirkan atau lemah untuk mencari keadilan ketika jalan hukum gagal, terutama pada isu rasisme, seksisme dan pelecehan seksual., seperti gerakan #BlackLivesMatter 2020 lalu yang meng-cancel kepolisian Amerika Serikat dikarenakan tindakan diskriminasi yang dilakukan pihak kepolisian Amerika Serikat terhadap ras kulit hitam. Gerakan ini menjadi gerakan keadilan global yang menyerukan hak-hak orang kulit hitam yang telah menjadi korban diskriminasi di Amerika selama berabad-abad.

Selain itu cancel culture juga dianggap mampu membawa pelaku kejahatan ke perhatian publik sehingga pelaku kejahatan dapat lebih bertanggung jawab atas perbuatannya. Cancel culture mendorong orang yang telah melakukan kesalahan untuk bertanggung jawab dan mendidik diri mereka sendiri untuk masa depan.

Terakhir, cancel culture memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan, terutama kepada pelaku yang memiliki power yang besar, ketika jalur hukum gagal mewujudkan efek jera kepada pelaku, seperti kasus perselingkuhan Virgoun, dimana jalur hukum tentunya tidak bisa mengambil peran banyak dalam hal ini sehingga publik lah yang memberi hukuman secara sosial kepada Virgoun melalui komentar-komentar yang mengecam hingga penolakan dan blacklisting karya-karyanya.

Adapun cancel culture juga mempunyai sisi negatif. Cancel culture secara tidak langsung merupakan online bullying dan dapat menimbulkan kekerasan dan ancaman yang tidak jarang lebih buruk daripada kejahatan asli yang dilakukan. Selain itu cancel culture dapat merusak image hingga karir seseorang, contohnya seperti yang terjadi dengan Listy Chan yang kehilangan kontrak kerjanya akibat skandal perselingkuhan dan Kim Garam yang dikeluarkan dari Girl Group Korea Le Sserafim karena tuduhan bullying.

Selain itu, cancel culture tidak jarang didasarkan atas hoax dan asumsi yang tidak berdasar seperti yang terjadi dengan Johnny Depp yang sempat menjadi korban cancel culture akibat tuduhan palsu KDRT. Disney pun sempat memutuskan kontraknya dengan Johnny Depp atas dasar tuduhan ini, meskipun akhirnya meminta maaf dan mengundangnya kembali setelah tuduhan tersebut terbukti tidak benar. Selain itu, cancel culture juga merupakan salah satu bentuk pengekangan kebebasan berekspresi dan berbicara. Tidak jarang para public figure maupun artis “di-cancel” hanya karena pandangan atau opini yang berbeda, seperti Gitasav yang sempat diserang oleh publik akibat opininya tentang child-free.

Lantas, mengingat sisi positif dan negatif yang timbul dari cancel culture ini, efektifkah cancel culture dijadikan sebagai perwujudan dari sanksi sosial bagi pelaku kejahatan? Sebenarnya jika cancel culture dilaksanakan atas dasar bukti yang kuat dan dengan porsi yang wajar dan tidak berlebihan, maka cancel culture dapat membantu membawa keadilan bagi banyak korban-korban kejahatan serta dapat membawa efek jera pada pelaku kejahatan.

Namun, di era sekarang, banyak masyarakat yang masih mudah termakan hoax dan berita palsu di internet, banyak juga masyarakat yang masih memegang pandangan tertutup atau kolot sehingga terkadang cancel culture ditujukan pada sasaran yang salah. Bukannya menjadi sarana untuk menegakkan keadilan, cancel culture malah kerap kali disalahgunakan oleh masyarakat sebagai alat pemaksaan kehendak dan pendapat,dan tak jarang digunakan sebagai alat pembullyan. Baru-baru ini cancel culture juga digunakan sebagai alat pengekspresian internalize misogynist (kebencian terhadap wanita) seperti yang terjadi pada kasus Amanda Zahra.

Sejauh ini, cancel culture belum menunjukkan kefektifannya dalam menjadi alat penegakkan keadilan. Oleh karena itu, mari kita sebagai masyarakat Indonesia lebih bijak dalam menanggapi permasalahan yang muncul di negara kita serta lebih bijak dalam membaca berita. Selain itu, kita juga harus belajar untuk lebih menghargai pendapat dan pandangan lain yang muncul di sekitar kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun