Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Siapa Residivis Kejahatan Seksual pada Anak?

26 Juni 2022   18:53 Diperbarui: 18 Januari 2024   07:23 1151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak (Sumber Shutterstock)

Sepanjang tahun 2021, tercatat 6547 kasus kekerasan seksual pada anak (Kementerian PPPA dari Manatelan, 2022). Trend kasus kekerasan pada perempuan dan anak ditemukan meningkat. Walaupun demikian, laporan kasus kekerasan seksual seperti fenomena gunung es; dimana jumlah kasus tercatat hanyalah sedikit daripada jumlah persoalan yang terjadi sebenarnya di masyarakat.

Disahkannya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tahun 2022 (UU no 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) ini diharapkan mampu memberikan pencegahan, perlindungan, serta akses keadilan dan pemulihan korban kejahatan seksual di Indonesia.

Namun, dalam rangka pencegahan dan penanganan kasus kejahatan seksual pada anak, penting difokuskan siapa target dan bagaimana intervensi efektif yang harus dilakukan. Secara khusus, perlu dipahami bagaimana mencegah pengulangan kejahatan. 

Secara khas kekerasan seksual ditemukan terjadi secara berulang/jamak (korban jamak atau perilaku kekerasan berulang). 

Oleh karena itu, strategi pencegahan terulangnya kejahatan seksual harus menjadi prioritas. Pemilihan intervensi dan kebijakan penanganan pelaku kejahatan seksual harus didukung oleh riset ilmiah di Indonesia agar upaya penanganannya menjadi lebih efektif dan kontekstual.

Artikel ini mengulas siapa pelaku dewasa kejahatan seksual pada anak (di bawah usia 18 tahun) dengan menggunakan referensi utama dari Penelitian Payung Kekerasan dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga tahun 2019-2020. 

Lalu, relevansi hasil penelitian ini pada penanganan kekerasan seksual dan pencegahan residivisme kejahatan seksual pada anak juga akan didiskusikan.

Riset Kekerasan
Pada tahun 2019-2020 dilakukan penelitian pada 173 narapidana kejahatan seksual dari 5 Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia (detail data menghubungi tim peneliti). 

Sekitar 111 narapidana (65%) ditemukan adalah pelaku kejahatan kekerasan seksual pada anak (61 narapidana atau 35% adalah pelaku kasus kejahatan seksual pada korban dewasa). 

Tujuan penelitian ini adalah pembuatan profil pelaku kejahatan seksual yang telah mendapatkan pidana di Indonesia dengan mengukur berbagai faktor risiko statis (faktor diri dan demografis yang menetap/tidak bisa diubah) dan faktor risiko dinamis (faktor diri dan psikososial yang masih bisa berubah). 

Ilustrasi (Sumber: mediaindonesia.com)
Ilustrasi (Sumber: mediaindonesia.com)

Harapannya, riset ini akan memberikan masukan untuk mengenali target intervensi penting bagi pelaku kejahatan seksual agar tidak mengulangi tindak kejahatannya atau mencegah residivisme.

Prediksi residivisme kejahatan seksual menggunakan Static-2002
Static 99 adalah alat ukur aktuarial risiko statis kejahatan seksual yang paling banyak diteliti, telah divalidasi, dan paling umum digunakan sebagai alat untuk menilai risiko residivisme pelaku kejahatan seksual.

Static 99 menggunakan faktor statis (tidak berubah) yang telah terbukti bisa memprediksi pengulangan kejahatan (residivisme) seksual pada pelaku laki-laki dewasa. Semakin besar skor risiko statis seseorang, maka semakin besar pula risiko residivisme kejahatan seksualnya.

Skor prediksi residivisme kejahatan seksual dengan Static 99 perlu digunakan sebagai masukan/saran dalam pemberian hukuman dan intervensi koreksi di Lapas, serta dasar pemilihan rehabilitasi dan pengawasan pelaku ketika kembali ke masyarakat. 

Static-99 telah direvisi menjadi Static-2002. Beberapa contoh pertanyaan: Berapa usia saat dibebaskan dari hukuman ini; dan Apakah telah melakukan kejahatan lain sebelumnya dan berapa lama vonisnya. Riset kekerasan di Payung Penelitian Kejahatan di Unair  telah menggunakan format terbaru Static-2002.

Secara umum, pelaku kejahatan seksual yang diteliti dalam riset ini menunjukkan risiko residivisme berkisar dari risiko rendah hingga risiko tinggi. 

Pelaku kejahatan seksual tercatat berusia 18 hingga di atas 60 tahun dan memiliki tingkat pendidikan dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sarjana (S1). 

Korban dari kejahatan seksual anak ditemukan rata-rata berusia 13-17 tahun dan kenal dengan pelaku (total 91.9%) Pelaku yang dikenal terdiri pelaku adalah orang yang akrab dengan korban sehari-harinya (80.9%) dan pelaku adalah keluarga sendiri (11%).

Temuan penting dari riset ini adalah usia signifikan memprediksi residivisme kejahatan seksual (indikator prediktif yang signifikan). Semakin muda usia pelaku kejahatan (usia > 18 tahun dan usia produktif secara seksual) maka risiko pengulangan kejahatan seksual semakin tinggi. 

Usia pelaku yang paling berisiko tinggi residivisme kejahatan seksual adalah kisaran 20-24 tahun (16.7%). Risiko residivisme akan turun secara signifikan pada pelaku berusia di atas 50 tahun (3.8%) (Cahyaningrum & Margaretha 2021).

Siapa pelaku kejahatan seksual pada anak?
Berbagai riset menemukan pelaku kejahatan seksual pada anak memiliki minat kasih sayang/afeksi pada anak. Mereka ingin membangun relasi romantis dengan anak, bahkan ingin melakukan perilaku seksual dengan anak (emotional congruence with children).

Pelaku sulit mengelola perilaku/minat seksualnya ini dan juga lemah dalam menyelesaikan permasalahan pribadinya. Salah satu bentuk kelemahan pengelolaan diri adalah munculnya perilaku seks kompulsif (compulsive sexual behavior), yaitu berkurang/hilangnya kendali atas perilaku seks sehingga terlibat dalam perilaku seks bermasalah. Perilaku seks kompulsif bisa menyebabkan munculnya penyimpangan seksual atau kecanduan seksual.

Dalam riset di sampel Indonesia ini, pelaku kejahatan seksual rata-rata mengakui mereka sudah mendapatkan pemenuhan kebutuhan kasih sayang/afeksi dari anak. Mereka tergolong memiliki minat sedang hingga tinggi untuk membangun relasi dan kedekatan spesial dengan anak.

Dalam hal kompulsi seksual, rata-rata pelaku kejahatan seksual pada anak mengakui mengalami kesulitan mengontrol perilaku seksualnya dan cenderung mengalami stres karena perilaku seksual kompulsifnya tersebut.

Analisa statistik dilakukan untuk melihat pengaruh minat pada anak dan perilaku seksual kompulsif terhadap risiko residivisme kejahatan seksual. Temuan pentingnya, stres karena perilaku seksual kompulsif ditemukan berpengaruh signifikan pada peningkatan risiko residivisme kejahatan seksual (Cahyaningrum & Margaretha 2021). Sedangkan minat pada anak tidak signifikan dampaknya pada resiko kejahatan seksual berulang.

Artinya, hal yang paling memengaruhi pelaku mengulang perilaku kekerasan seksual pada korban anak disebabkan kelemahannya dalam mengelola stres dan menyelesaikan masalah.

Kebanyakan pelaku kejahatan seksual pada anak mengakui bahwa mereka mengalami stres jangka panjang tapi lemah atau kesulitan mengelola stresnya tersebut. 

Dan pada saat stresnya tinggi, mereka bisa melakukan tindakan kompulsif, perilaku yang mereka tahu salah bahkan melanggar hukum.

Relevansi hasil riset pada penanganan kasus kejahatan seksual pada anak
Kekerasan seksual pada anak walaupun tampaknya terkait dengan minat seksual dan afektif pada anak, namun manifestasinya lebih ditentukan oleh sejauh mana kemampuan pelaku mengelola stres seksual yang dimilikinya. Ketidakmampuan mengelola stress secara efektif membuatnya rentan memilih seks (menyimpang) sebagai pemuasan/pengalihan.

Kemampuan kelola stres sehari-hari ternyata punya dampak yang sangat signifikan atas munculnya perilaku kekerasan seksual. 

Sebagai dampaknya dalam rehabilitasi pelaku kejahatan seksual anak: penguatan keterampilan pengelolaan stres dan kontrol perilaku seks menjadi sangat penting (imperative) diberikan pada narapidana kasus kejahatan seksual selama di Lapas. Intervensi ini penting diberikan dalam rangka strategi koreksi dan rehabilitasi efektif kejahatan seksual pada anak.

Juga tak kalah penting, memperhatikan usia pelaku kejahatan seksual ketika mempertimbangkan hukuman dan koreksi pidana.

Jika pelaku kejahatan seksual pada anak telah melakukan kejahatan seksual berulang/korban jamak, masih berusia muda - produktif secara seksual, lemah dalam mengelola stres, memiliki kompulsi seksual yang sulit dikontrolnya, juga memiliki minat afektif-seksual pada anak yang tergolong tinggi - selayaknya diberikan hukuman maksimal.

Jika pelaku kejahatan seksual telah menyelesaikan masa pidananya, maka proses pengawasan perilaku sosialnya di masyarakat dan pembatasan/pelarangan kontak atau bekerja dengan anak harus ditegakkan. Pemberian dukungan rehabilitasi yang diperlukan juga tetap harus diselenggarakan untuk mencegah relapse dan jatuhnya korban baru.

Sudah waktunya, koreksi dan rehabilitasi dilakukan secara strategis untuk mencegah kejahatan seksual pada anak di Indonesia.

Sumber dari artikel riset "Does emotional congruence and compulsive sexual behavior increase the recurrence risks of child sexual abuse?" oleh Anindya Endah Cahyaningrum dan Margaretha.

Ucapan terima kasih
Tim Payung Kekerasan 2019-2020
Aisya Kusuma Cahya Mahardhika
Anindya Endah Cahyaningrum
Aprillia Wigar Kantiningtyas

Penulis: Margaretha
Peneliti Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Saat ini tengah menempuh studi lanjut di the University of Melbourne

Referensi:
Cahyaningrum, A.E. & Margaretha, M. (2021). "Does emotional congruence and compulsive sexual behavior increase the recurrence risks of child sexual abuse?," Jurnal Psikologi, 19, 4, Doi: https://doi.org/10.14710/jp.19.4.417-430 Diakses dari https://ejournal.undip.ac.id/index.php/psikologi/article/view/27726
Mantalean, V. (2022) Pemerintah catat 6500 lebih kasus kekerasan seksual. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2022/01/19/18555131/pemerintah-catat-6500-lebih-kasus-kekerasan-seksual-terhadap-anak-sepanjang?page=all
Undang-undang no 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/207944/uu-no-12-tahun-2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun