Oedipus Rex dan Sangkuriang: Mitos untuk memahami dinamika psikologis hubungan orang tua dan anak laki-laki
Mitos yang berkembang dan bertahan di suatu masyarakat sebenarnya bisa digunakan untuk memahami alam berpikir masyarakat tersebut, terutama mengenai cara pandang diri serta hubungan antar manusia, serta antara manusia dengan alam semesta. Mitos biasanya bersifat implisit sehingga esensinya perlu ditelusur dan dianalisa bagian-bagian narasinya hingga mencapai suatu makna.
Untuk memahami bagaimana alam berpikir sebuah masyarakat mempengaruhi perilaku manusia, maka perlu digali komponen psikologis yang ada di dalam cerita mitos yang bertahan di masyarakat tersebut.Â
Dalam rangka memahami alam berpikir masyarakat tentang moralitas, kita bisa menelusuri nilai-nilai yang diungkap secara eksplisit atau implisit di dalam mitos.
Saya akan menggunakan konsepsi psikologis Oedipus complex dalam model pendekatan Psikodinamika untuk menganalisis mitos Oedipus Rex (Yunani) dan mitos Sangkuriang (Indonesia), dalam rangka memahami alam berpikir masyarakat mengenai dinamika hubungan antara orang tua dan anak laki-laki, serta nilai moral dalam kedua cerita tersebut.
Oedipus Complex dalam Psikodinamika
Oedipus complex adalah konsep teori psikoanalisa yang diperkenalkan oleh Sigmund Freud dalam bukunya Interpretation of Dreams (1899) dan diuraikan lebih lanjut dalam buku A Special Type of Choice of Object made by Men (1910).Â
Diambil dari mitologi Yunani "Oedipus Rex", tentang seorang anak laki-laki bernama Oedipus yang membunuh ayahnya dan menikahi ibunya; Freud mengkonseptualisasi perkembangan kepribadian dan psikoseksual manusia terjadi ketika invididu mengalami peristiwa seperti Oedipus.
Terutama pada masa Phallic (sekitar usia 3-6 tahun), anak laki-laki akan membenci ayahnya sebagai musuh karena harus bersaing untuk mendapatkan kasih ibunya, misalkan: ayah bisa mengambil dan tidur dengan ibu yang mengakibatkan ibu jauh dari anak.Â
Namun, anak akan mengetahui bahwa ia selalu lebih lemah dari ayahnya. Ia merasa tidak berdaya melawan dalam persaingan tidak seimbang ini.Â
Anak laki-laki jadi ketakutan jika melawan ayahnya. Â Takut akan dihancurkan atau dikebiri (fear of castration), akibatnya anak laki-laki memiliki perasaan benci tapi juga takut pada ayahnya.Â
Menghadapi konflik psikologis ini, anak dapat mengalami complex. Complex adalah kondisi dimana emosi anak ditekan atau tidak bisa diselesaikan yang bisa menyebabkan perilaku dan kondisi mental bermasalah.
Menurut Freud, penyelesaian atau resolusi Oedipus complex terjadi ketika anak laki-laki menerima kekuatan ayahnya dan berhenti membenci ayahnya. Kebencian dan permusuhan pada ayah harus ditekan (represi) agar bisa terbentuk seperangkat nilai (moral) pribadi yang mengatur perilaku (superego).
Lalu, anak melakukan identifikasi dengan ayahnya sehingga ia belajar identitas/peran jenis kelamin sebagai laki-laki dari ayahnya. Resolusi Oedipus complex inilah yang akan menjadi akar belajar identitas/peran seksual laki-laki sejak masa kanak. Kelak, di fase genital (masa remaja-dewasa), superego dan nilai peran gender yang telah dipelajari dan diinternalisasi akan mengarahkan cinta anak laki-laki dari ibunya ke perempuan lain, lalu mengeksplorasi seksualitas dengan alat kelamin (genitalia) dalam relasi heteroseksual.
Sedangkan Oedipus complex yang tidak berhasil diresolusi akan menyebabkan neurosis dan gangguan psikologis lainnya. Misalkan, anak tetap membenci ayahnya dan berkembang menjadi complex berkepanjangan membenci ayah atau figur-figur seperti ayahnya secara tidak sadar (selalu menampilkan perilaku menentang orang yang menunjukkan sikap autoritatif seperti ayah di rumah).
Oedipus Rex
Ketika muda, Pangeran Laius mengunjungi Raja Pelops di Pisa, dan menjadi guru anak laki-laki Pelops bernama Chrysippus. Chrysippus adalah pemuda yang tampan sehingga Laius pun jatuh cinta.Â
Laius mengajak Chrysippus berlatih mengendarai kereta perang lalu menculiknya. Laius membawa pemuda itu dan memperkosanya. Malu karena telah diperkosa, Chrysippus bunuh diri. Pelops sangat marah dan mengutuk Laius dan keturunan-keturunannya.
Berikutnya, Laius menjadi raja Thebes, ia menikahi Iokaste. Sebuah ramalan dari peramal di Delphi memperingatkan Laius untuk tidak memiliki anak, karena sang anak nantinya akan membunuh ayahnya dan menikahi ibunya sendiri.Â
Laius, dalam kondisi mabuk, mengabaikan ramalan tersebut dan menghamili istrinya. Iokaste melahirkan seorang putra. Laius melukai dan mengikat kaki bayinya dan menyuruh istrinya membunuh si bayi. Karena tidak sanggup, Iakoste menyuruh seorang pelayan untuk membuang bayi itu di Gunung Kitheron.
Namun sang pelayan kasihan pada bayi itu dan memberikan si bayi kepada gembala dari Korinthos. Si gembala memberikan bayi itu ke raja Polybos di Korinthos dan permaisurinya, Periboea yang tidak memiliki keturunan.Â
Periboea mengobati pergelangan kaki sang bayi dan menamakannya Oedipus, yang berarti "Si Kaki Bengkak". Oedipus akhirnya diadopsi dan dibesarkan seperti anak kandung oleh Polybos dan Periboea.Â
Ia tumbuh menjadi seorang pemberani yang menimbukan iri hati pada kawan-kawannya. Mereka meniupkan keraguan pada diri Oedipus, bahwa ia bukan anak kandung Polibos. Oedipus menanyakan kebenaran isu tersebut pada orang tuanya, namun tak menemukan jawaban.
Akhirnya bertanyalah ia pada peramal di Korinthos mengenai nasib dirinya. Sang peramal memperingatkannya agar pergi meninggalkan tanah airnya karena ia ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dan menikahi ibunya.Â
Jawaban samar-samar itu disimpulkan sendiri oleh Oedipus bahwa ia benar-benar anak kandung Polybos dan Periboea.Â
Menurut Oedipus, ia tidak seharusnya kembali ke Korinthos. Maka pergilah Oedipus dari kerajaan yang disangkanya sebagai tanah airnya.
Dalam perjalanan ke Thebes, ia berpapasan dengan rombongan raja Laius yang sedang bergegas ke Delphi. Dalam papasan di jalan sempit, pengawal Laius, Polifontes, menyuruh Oedipus untuk berhenti dan memberi jalan untuk raja. Keras kepala, Oedipus menolak.Â
Pengawal raja marah lalu membunuh kuda Oedipus, yang membuat Oedipus membalas membunuhnya. Laius mencoba menabrak Oedipus, melihatnya Oedipus menyeret kereta Laius dan hal itu membunuhnya beserta rombongannya. Hanya satu tersisa hidup menjadi saksi kematian Laius. Dengan demikian sesuai ramalan bahwa Oedipus membunuh ayahnya sendiri.
Kemudian pergilah ia ke Thebes, yang sesungguhnya merupakan tanah airnya. Dia berjumpa dengan Sphinx, mahluk yang menghentikan semua orang yang lewat jalan ke Thebes itu sambil memberinya sebuah teka-teki. Jika tidak bisa menjawab, Sphinx akan membunuhnya. Setelah berhasil memecahkan teka-teki Sphinx yang memagari kota itu, Oedipus kemudian berhasil membunuh Sphinx. Akhirnya Oedipus diangkat sebagai raja dan berhak menikah dengan janda raja Laius, yaitu Iokaste.
Oedipus berkuasa bertahun-tahun lamanya dan berhasil membuat Thebes aman, damai, dan sejahtera. Oedipus sangat mencintai istrinya, begitu pun Iokaste. Hasil perkawinan dengan Iokaste, menghasilkan empat orang anak, dua anak laki-laki; Polineikes dan Eteokles dan dua anak perempuan; Antigone dan Ismene.
Namun tiba-tiba, Thebes terkena pandemi yang dipercaya terjadi karena kutukan pembunuhan Laius. Oedipus memanggil peramal buta di Thebes bernama Teresias untuk membantunya mencari pembunuh Laius. Namun, Teresias menolak dan menyuruh agar Oedipus menghentikan usahanya mencari pembunuh Laius.Â
Banyak orang termasuk Iokaste juga meminta Oedipus menghentikan pencariannya. Tapi Oedipus malah mengejek kebutaan Teresias dan terus mencari pembunuh Laius untuk menghentikan kutukan di Thebes.
Sementara itu, Polybos meninggal, dan Periboea memutuskan untuk membuka rahasia Oedipus. Ia menyuruh pembawa pesan memberitahu Oedipus mengenai asal-usul Oedipus hingga akhirnya terkuak semua cerita dari saksi-saksi.Â
Setelah mengetahui hal yang sebenarnya, Iokaste shock dan merasa bersalah, hingga dia menggantung dirinya sendiri, sementara Oedipus menusuk matanya hingga buta. Ia menyerahkan tahta kepada putra-putranya lalu mengutuk mereka bahwa mereka akan terlibat perang saudara. Ia kemudian disuir dari Thebes dan mengasingkan diri.
Oedipus yang dulunya seorang raja, kini ia menjadi seorang pengemis buta yang berkelana tanpa tujuan dan ditemani oleh seorang putrinya, Antigone yang menjadi pemandu jalan. Sementara putrinya yang lain, Ismene mengabarkan pada Oedipus mengenai situasi di kerajaan. Kemudian Oedipus menghentikan pengembaraannya di Kolonos, dekat Athena. Dengan perlindungan Theseus, raja Athena. Akhirnya  Oedipus dapat tinggal dengan tenang di Kolonos hingga akhir hayatnya. Theseus lalu memakamkan Oidipus di Kolonos dan membantu putri-putri Oedipus kembali ke Thebes.
Moral:
Pesan utama mitos ini tidak ada orang yang bisa mengelak dari nasibnya. Kelemahan utama Oedipus adalah ketidaktahuannya tentang identitas dirinya sendiri. Maka, tidak ada upaya atau pemikiran yang bisa dilakukan Oedipus untuk mencegah kutuk terjadi padanya. Oedipus menjadi kisah kepahlawanan tragis karena ia tidak bisa bertanggungjawab atas segala kemalangan yang telah digariskan terjadi padanya. Walaupun Oedipus digambarkan sebagai orang memiliki keberanian, kekuatan dan kepemimpinan baik, namun ketidaktahuannya tentang nasib yang telah ditentukan sebelumnya membuatnya terjerat dalam kutukan yang tidak bisa dihindarinya.
Nilai universal lain yang bisa dipetik dari mitos Oedipus adalah tentang manusia bisa jatuh karena kesombongan dan egoisme. Ketika Oedipus tidak mendengarkan Teresias, karena keangkuhan dan sifat menghakimi, akibatnya ia menjadi kurang pertimbangan dan membabi buta. Justru itulah mula kejatuhannya.
Sangkuriang
Dahulu kala, karena kesalahannya, sepasang dewa-dewi dikutuk menjadi hewan di dunia. Si dewi menjadi babi hutan dan di dewa menjadi anjing di hutan. Suatu hari, si babi hutan minum air kencing seorang Raja yang ternyata berisi air maninya. Hal ini mengakibatkan si babi hutan hamil dan melahirkan bayi perempuan. Terkejut mendengar tangis bayi di dalam hutan, si Raja memungut si bayi perempuan dan membesarkannya dengan nama Dayang Sumbi. Ia berkembang menjadi perempuan yang sangat cantik.
Suatu hari, Dayang Sumbi sedang menenun. Tiba-tiba, alat tenun jatuh dari rumah panggungnya. Karena ia seorang puteri, dia dilarang menginjakkan kaki tanpa bantuan dayangnya. Karena kesal dan tidak sabar menunggu alat tenun yang jatuh untuk diambilkan dayang, dia mengucap, "Jika seorang pria mengambilnya, dia akan menjadi suami saya. Jika seorang wanita, dia akan menjadi saudara perempuan saya". Ternyata, seekor anjing jantan mengambilkan untuknya. Untuk menepati kata-katanya, dia menikahi anjing itu dan memanggilnya Tumang. Malu dengan kondisi anaknya, sang Raja membuatkan rumah buat Dayang Sumbi dan Tumang jauh di dalam hutan.
Karena sebenarnya Tumang adalah dewa yang dikutuk menjadi anjing, ia anjing yang sakti. Setiap bulan purnama Tumang bisa berubah menjadi laki-laki sehingga bisa bersama Dayang Sumbi. Setelah lama bersama, akhirnya Dayang Sumbi melahirkan seorang bayi bernama Sangkuriang. Tetapi Dayang Sumbi tidak pernah memberitahu Sangkuriang siapa ayahnya.
Suatu hari, Dayang Sumbi meminta Sangkuriang yang berumur sekitar 10 tahun untuk mencari hati Kijang untuk dimasak. Ketika Sangkuriang sedang berburu dengan Tumang di hutan, dia menemukan seekor babi hutan dan hendak membunuhnya.Â
Namun, Tumang menghentikannya karena menyadari si babi hutan adalah nenek dari Sangkuriang. Akibatnya si babi lepas dan Sangkuriang marah dan memukul Tumang. Kemarahan Sangkuriang tak sengaja mengakibatkan Tumang luka dan mati.Â
Tak ingin pulang tangan kosong, Sangkuriang mengambil hati Tumang dan membawanya untuk ibunya. Setelah hati dimasak dan dimakan, Dayang Sumbi meminta Sangkuriang memanggil Tumang untuk makan. Sangkuriang akhirnya mengaku bahwa hati yang mereka baru makan adalah Tumang.Â
Ketika Dayang Sumbi mengetahui hal itu, dia sangat murka dan memukul keras kepala Sangkuriang dengan centong nasi hingga meninggalkan luka di kepalanya. Ketakutan, Sangkuriang berjanji tidak akan pernah mau kembali ke rumahnya.
Bertahun-tahun kemudian, Sangkuriang telah menjadi laki-laki dewasa. Ia telah berguru dari berbagai guru yang hebat, maka ia menjadi kuat dan sakti. Namun, ia sudah lupa sama sekali dengan Ibunya.Â
Lalu, ia menemukan sebuah rumah di hutan, tempat tinggal seorang perempuan cantik bernama Dayang Sumbi. Mereka jatuh cinta tanpa mengetahui sebenarnya satu-sama lain. Hingga pada sehari sebelum pernikahan mereka, Dayang Sumbi, menyentuh kepala Sangkuriang dan melihat bekas luka di kepalanya.Â
Dayang Sumbi menyadari bahwa Sangkuriang adalah anaknya yang pergi 12 tahun lalu. Dayang Sumbi segera mengatakan pada Sangkuriang bahwa mereka tidak boleh menikah karena mereka ibu dan anak. Tapi Sangkuriang tidak percaya dan memaksa tetap menikah.
Maka Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara menggagalkan pernikahannya dengan anaknya sendiri. Dayang Sumbi meminta persyaratan yang mustahil kepada Sangkuriang, bahwa ia minta sungai Citarum dibendung hingga menjadi sebuah danau dan dibuatkan pula sebuah perahu besar untuk menikmatinya.Â
Kedua hal itu harus dipenuhi dalam waktu satu malam dan harus selesai sebelum fajar. Dengan angkuh dan keyakinan atas kesaktiannya, Sangkuriang menyetujuinya. Ia membangunnya dengan bantuan pada makhluk halus.
Ketika hampir selesai, Dayang Sumbi yang gelisah meminta bantuan dewa-dewa dan mendapatkan petunjuk. Ia menebarkan kain tenun berwarna putih yang mengeluarkan cahaya, yang membuat ayam-ayam jantan berkokok berpikir fajar pagi telah datang. Akibatnya, orang-orang bangun segera bekerja dan perempuan-perempuan segera memukul lesung untuk menumbuk biji-bijian. Mahluk halus melarikan diri takut pada fajar, dan akibatnya Sangkuriang gagal menyelesaikan perahunya.Â
Dia sangat marah dan menendang perahu tersebut menjadi terbalik. Kemudian, perahu terbalik itupun berubah menjadi Gunung Tangkuban Perahu.Â
Sisa pohon dan tumpukan kayu pun berubah menjadi Gunung Burangrang dan Gunung Bukit Tunggul. Sungai Citarum yang disumbat menjadi Danau Bandung. Terakhir, Dayang Sumbi ketakutan dikejar Sangkuriang yang marah, memohon bantuan dewa lalu dirubah menjadi Bunga Jaksi di daerah Gunung Putri. Akhirnya, Sangkuriang yang tidak berhasil menemukan Dayang Sumbi menjadi gila dan hilang gaib di dalam hutan.
Moral:
Pesan utama dari mitos ini tentang filosofi pencerahan hati nurani dan pencarian jati diri manusia. Sangkuriang yang tidak memahami asal-usulnya membunuh ayahnya karena ketidaktahuannya, bahkan memaksa menikahi ibunya karena ketidaksadarannya. Hati nurani yang tergelapkan oleh amarah dan kesombongan bisa membuat manusia jatuh dalam kesalahan.
Pencarian jati diri juga digambarkan oleh berbagai tokoh lain, seperti Dewa dan Dewi yang dikutuk menjadi anjing dan babi hutan. Mereka awalnya memiliki status tinggi, lalu jatuh dalam kesalahan dan akhirnya direndahkan. Manusia yang jatuh dalam kesalahan masih bisa memperbaiki diri dengan melakukan pencarian diri yang disertai dengan sikap berhati-hati dan penuh kesadaran. Jika kita menolak penerimaan kesadaran, hasilnya adalah terus menerus hidup dalam kecemasan dan kegelisahan. Nilai lain yang penting adalah kekerasan hati dan kesombongan adalah sumber kehancuran dan ketersesatan diri. Seperti Sangkuriang yang terbutakan akan cinta dan kesombongannya, akhirnya tidak bisa menerima kegagalannya dan menjadi gila.
DINAMIKA PSIKOLOGIS RELASI ORANG TUA DAN ANAK LAKI-LAKI
Keterpisahan traumatik dengan Ibu untuk mencapai kemandirian dan kematangan
Ketika anak manusia lahir ke dunia, kondisinya lemah dan tergantung pada orang tua dan pengasuhnya. Pengasuh utama anak biasanya Ibunya. Maka, Ibu menjadi sumber makan, aman dan nyamannya.Â
Di tahun-tahun awal, anak hampir tidak pernah lepas dari Ibunya. Anak yang dibesarkan dalam kondisi pada umumnya (tidak dalam kekerasan dan penelantaran berat), seakan-akan merasa Ibunya dan dia adalah satu, satu ego (kondisi egosentrisme).Â
Ibu bisa memahami berbagai tangis dan kebutuhan anak, hingga anak merasa selalu aman dan nyaman bersama Ibunya. Anak akan selalu menginginkan bersama Ibunya, hasrat yang tidak bisa dibendung menginginkan Ibu (incestuous desire).
Namun, akan tiba waktu, anak harus mengalami peristiwa perpisahan. Misalkan pisah tidur, pisah karena Ibu harus keluar rumah tanpa anak, Ibu bekerja, Ibu melakukan proses sapih, kehadiran adik atau anggota keluarga baru, atau beberapa waktu harus hidup tanpa Ibu.Â
Perpisahan ini bisa menjadi stress traumatik bagi anak. Pada beberapa anak, ditemukan luka psikologis berat jika perpisahan tidak secara alamiah (misalkan, terjadi tiba-tiba, disertai kekerasan dan tekanan psikis). Dalam keterpisahan, anak berpikir ulang, "Mengapa Ibu melakukan ini padaku? Bukankah ini menyakitkanku" (dalam pikiran egosentris aku = kita).
Secara alamiah, anak akan menyadari bahwa pikirannya dan ibunya berbeda, bahwa Ibu dan anak tidak satu. Kelanjutannya, anak harus melanjutkan hidupnya sendiri menjadi pribadi berbeda dari pengasuhnya, untuk menjadi individu mandiri (proses individuasi).Â
Dari proses mandiri inilah, anak akan berkembang melampaui kesakitan/trauma perpisahannya dari Ibu, hingga menjadi pribadi dewasa yang kuat dan mampu.
Dalam mitos Oedipus dan Sangkuriang, kedua anak laki-laki ini mengalami perpisahan traumatis dengan Ibunya. Bahkan meninggalkan bekas luka (di kaki Oedipus dan di kepala Sangkuriang).Â
Kedua mitos ini eksplisit menerangkan, Oedipus dan Sangkuriang lepas dari Ibunya untuk berkembang, kuat dan menjadi pribadi mandiri.Â
Relasi yang aman dan nyaman harus robek untuk memberikan kesempatan pertumbuhan pribadi anak laki-laki. Anak laki-laki perlu menyadari pentingnya melepaskan diri dari kenyamanan dan perlindungan Ibunya untuk bisa berkembang menjadi laki-laki dewasa yang matang, cakap dan tangguh.
Perlu dipahami, berbeda prosesnya bagi anak laki-laki yang dibesarkan oleh ayah yang absen (tidak hadir/terlibat atau tidak ada). Tidak ada persaingan untuk akses terhadap Ibu, dan Ibu menjadi segalanya bagi si anak. Dampaknya, bisa terjadi kesulitan anak untuk melepaskan diri dari pengaruh Ibu (tidak terjadi individuasi).Â
Dalam psikodinamika, situasi seperti ini bisa menghasilkan Oedipal winner - anak laki-laki yang terstimulasi seksual berlebih oleh Ibunya karena Ayahnya absen. Dampaknya, anak akan kesulitan mengembangkan autonomi ego dan kematangan emosional pada masa dewasa.
Mimesis dengan Ayah untuk membentuk relasi baruÂ
Dalam tahun-tahun awal hidupnya, anak menyadari bahwa selain Ibunya (sumber utama makanan, keamanan dan kenyamanan), ada pula figur-figur lain (misalkan ayah, pembantu, nenek-kakek, saudara kandung, dan lainnya). Yang cukup menonjol kehadirannya kemungkinan adalah Ayahnya, si pasangan Ibu.Â
Ada masa dimana kehadiran ayah dianggap mengganggu. Anak akan merasa dipisahkan dari Ibunya karena Ayahnya, misalkan: ketika Ibu memilih tidur dengan ayah sehingga anak sendirian, atau ketika ibu harus berbelanja maka anak ditinggal dengan ayah.Â
Hal-hal ini membuat anak melihat ayahnya sebagai kompetitor dalam mengakses kebutuhan-kebutuhannya dari Ibu. Ini adalah proses mimesis negatif - persaingan karena menginginkan hal yang sama, yaitu perhatian Ibu. Anak jadi ingin mengalahkan ayahnya (dalam Psikodinamik: "membunuh") untuk bisa menguasai seluruh perhatian Ibu.
Akan tetapi, Ayah juga tampil keras, tiran, bahkan kejam ketika memberikan aturan-aturan pada anak, misalkan "jangan menangis!" atau "cepat tidur!". Bahkan ada waktu-waktu, Ibu pun terlihat menurut pada perintah Ayah. Anak jadi paham bahwa ayah adalah figur yang memiliki kekuatan yang lebih darinya karena bisa mengatur perilaku orang-orang di rumah. Hal ini membuat anak memiliki perasaan takut melawan ayah (fear of castration).
Sebagai akibatnya, kompleksitas perasaan permusuhan dan takut akan dimiliki anak laki-laki muda pada ayahnya. Bagaimana meresolusi hubungan Ayah-anak laki-laki rumit ini?
Cara yang ditawarkan dalam mitos Sangkuriang dan Oedipus Rex adalah anak laki-laki membunuh ayahnya. Tidak bisa mengelak nasib, Oedipus membunuh Lauis sebagai figur ayah yang buruk; sedangkan Sangkuriang membunuh Tumang karena ketidakmampuannya mengelola emosi.
Lalu setelah anak laki-laki membunuh ayahnya, muncul rasa bersalah dan malu serta ingin berhenti melakukan perilaku salahnya (pada Oedipus berhenti melakukan incest; dan pada Sangkuriang tidak lagi berbohong/menyakiti). Ini adalah emosi moral yang diharapkan muncul setelah melakukan sesuatu yang dianggap salah. Emosi moral ini kelak berkembang menjadi nilai-nilai pribadi yang memandu perilaku.
Harapannya, ketika suatu kesalahan disadari, maka akan muncul bentuk relasi baru yang lebih sesuai dengan nilai moral (Oedipus menyadari kesalahannya dan mengutuk dirinya). Namun sebaliknya, jika tidak mencapai kesadaran, maka kesalahan ini akan membawa ke kehancuran (Sangkuriang tidak mau sadar atas kesalahannya akhirnya membabi buta dan gila).
Dalam kondisi alamiah, pembunuhan bisa diartikan secara simbolis. Anak perlu membunuh karakter "Ayah yang kejam" atau "Ayah pencuri perhatian Ibu" dalam alam berpikirnya.Â
Setelah "membunuh ayah", alamiahnya anak akan merasa bersalah karena menyadari selain seorang kompetitor namun ayah jugalah pemberi nafkah keluarga. Atau muncul perasaan malu, karena telah melanggar hati nuraninya yang juga menyayangi ayahnya.Â
Dari "kematian ayah" diharapkan muncul relasi baru ayah-anak yang lebih positif (lebih menghargai, lebih mengasihi). Karakter-karakter buruk ayah di dalam kepala anak laki-laki ini memang harus dibunuh karena adalah penghambat munculnya sikap menghargai ayah.
Anak laki-laki yang mengakui ayah sebagai figur otoritatif positif di keluarga akan mau mendekati dan meniru perilaku ayahnya (mimesis positif - meniru ayahnya yang berjenis kelamin sama dengannya untuk belajar peran gender sebagai laki-laki). Pada akhirnya, anak akan berusaha membuat relasi yang lebih dekat dengan ayahnya.
NILAI MORAL DALAM MITOS
Perpisahan dan individuasi dari Orang tua
Dari mitos, diceritakan bahwa anak terpisah dari orang bisa muncul karena takdir ataupun krisis/konflik. Secara alamiah, memenuhi takdir tumbuh dan berkembang akan membuat anak perlu melakukan proses individuasinya. Namun, bisa juga hidup memberikan krisis yang membuat anak harus terpisah dari orang tua secara tiba-tiba atau dengan konflik. Perpisahan akan menghasilkan luka.Â
Baik karena nasib atau konflik, keduanya tidak terelakkan. Namun ini tetap penting dalam hidup seorang anak laki-laki. Perpisahan tetap bisa menjadi awal jalan bagi anak untuk berkembang melampaui kecacatannya hingga menjadi pribadi laki-laki dewasa yang resilien dan mandiri.
Dari mitos, baik Oedipus dan Sangkuriang digambarkan berkembang menjadi laki-laki dewasa yang kuat dan pandai. Mereka melampaui kecacatan yang telah tergores dari peristiwa perpisahan dari orang tua mereka. Inilah proses yang diharapkan terjadi pada anak laki-laki dalam masa perkembangannya menjadi pribadi autonomi.
Resolusi konflik melalui kesadaran
Dalam mitos, diceritakan bahwa proses perpisahan dari orang tua adalah krisis penuh kekacauan yang muncul dan mengakibatkan kurangnya pengetahuan anak tentang identitas dirinya.
Dalam kehidupan manusia, perpisahan dari orang tua adalah masa ketidakseimbangan psikologis bagi anak. Kemungkinan besar ada tatanan dan cara-cara relasi lama yang perlu dirusak, agar anak bisa membentuk identitas barunya sebagai individu.
Dari mitos kita pahami, bahwa anak yang telah melakukan kesalahan ketika berhadapan dengan konflik perlu diberikan kesempatan memahami apa yang telah dialaminya dan berkaca dari kesalahannya. Lalu, ia juga perlu berhadapan dengan emosinya serta dampak tindakannya pada orang lain. Sepertinya, dibutuhkan figur dewasa bijak yang membantu si anak mencapai kesadaran untuk bisa optimal meresolusi konfliknya.
Upaya-upaya mencapai pemahaman diri ini sangat penting karena dari sinilah kesadaran muncul. Kelak kesadarannya inilah yang akan membawa anak melakukan perubahan/koreksi perilaku. Dari titik kesadaran baru, si anak mengenal siapa dirinya dan apa yang harus dilakukannya sebagai individu mandiri di masa depan.
Simpulan
Mitos bisa menunjukkan alam berpikir suatu masyarakat, yang menerangkan apa jiwa atau roh nilai yang mempengaruhi anggota masyarakat dalam berperilaku, memilih aturan dan pembentukan karakter. Mitos Oedipus Rex dan Sangkuriang dapat dianalisis untuk memahami dinamika psikologis relasi antara orang tua dan anak laki-lakinya.
Dalam mitos Oedipus Rex dan Sangkuriang, relasi antara orang tua dan anak laki-laki digambarkan akan mengalami konflik, perpisahan dengan ibu, dan mimesis dengan ayah. Anak laki-laki perlu mengalami perpisahan dari orang tuanya dan melampaui perasaan sakit/terluka untuk mencapai individuasi agar menjadi manusia mandiri dan matang kelak. Anak laki-laki juga perlu memahami apa yang terjadi dalam hidupnya dan berkaca dari kesalahan yang telah dilakukannya, demi bisa mencapai integrasi diri dan mampu melanjutkan hidupnya secara sehat di masa depan. Mitos telah menceritakan dan mengarahkan bagaimana pola relasi orang tua dan anak laki-lakinya untuk masyarakat di Eropa (khususnya dari Yunani) dan di Indonesia (khususnya dari Jawa Barat).
Namun, perlu dipahami bahwa interpretasi mitos dalam tulisan ini bukanlah kemutlakan, maka perlu direfleksikan dan dikritisi penggunaannya.
Referensi:
Dongeng cerita rakyat (2021). Legenda Sangkuriang: Asal Gunung Tangkuban Perahu. Diakses November 2021 dari https://dongengceritarakyat.com/legenda-sangkuriang-asal-gunung-tangkuban-perahu/
Girard, R. (1971). Violence and the sacred. John Hopkins University Press: Baltimore.
Lasky, R. (1984). Dynamics and problems in the treatment of the "Oedipal Winner". Psychoanalytic review, 71, 351-374.
Paris, J. (1975). The Oedipus complex: A critical re-examination. Canadian Psychiatry Association Journal, 21, 173-180.
Perelberg, R.J. (2009). Murdered father; dead father: Revisiting the Oedipus complex. The International Journal of Psychoanalysis, 90, 713-732.
Wikipedia (2020). Oedipus Rex. Diakses pada November 2021 dari https://en.wikipedia.org/wiki/Oedipus_Rex#Birth_of_Oedipus
Wikipedia (2020). Oedipus. Diakses November 2021 dari https://en.wikipedia.org/wiki/Oedipus#Ancient_sources_(5th_century_BC)
Wikipedia (2021). Sangkuriang. Diakses pada November 2021 https://en.wikipedia.org/wiki/Sangkuriang
Penulis:
Margaretha
Peneliti Psikologi sedang menempuh pendidikan lanjut di the University of Melbourne.
*Tulisan ini fokus pada anak laki-laki, sedangkan dinamika psikologis untuk anak perempuan, akan saya uraikan dalam tulisan lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H