Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Tentang Menemukan Diri

2 Oktober 2021   16:14 Diperbarui: 4 Oktober 2021   05:51 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Consciousness is a much smaller part of our mental life than we are conscious of, because we cannot be conscious of what we are not conscious of." (Origin of consciousness in the breakdown of the Bicameral mind - Julian Jaynes, 1976)

Dalam pekerjaan saya sebagai konselor, saya bertemu dengan orang-orang yang sedang berproses menemukan dirinya. Ada orang tengah berusaha melihat dirinya yang dulu gagal dalam relasi, ada yang tengah mengalami stress karena kehilangan pekerjaan, ada yang tengah mengenali harapan dan impian dirinya di masa depan, dan banyak lainnya.

Namun, ada juga orang yang tidak bisa menemukan dirinya sendiri. Mereka juga kesulitan memahami diri karena tidak mampu melakukan refleksi diri. 

Mereka biasanya miskin berbicara tentang apa yang mereka ketahui tentang dirinya sendiri, kesulitan mengidentifikasi apa emosi yang tengah dirasakannya, serta kesulitan menguraikan perasaan, pikiran dan keinginannya pada orang lain. Saya biasanya bekerja dengan orang-orang seperti ini.

Dalam tulisan ini, saya ingin menguraikan apa "diri" (self) dan bagaimana mengenali diri sendiri dalam rangka menuju penerimaan diri.

Apakah diri satu?

Siapa aku? Jika dihadapkan dengan pertanyaan ini, apakah jawabnya? Biasanya orang akan menjawab saya adalah orang tua - dijawab dengan peran (roles); atau seorang guru - dijawab dengan tindakan/karya; atau seorang beriman - dijawab dengan konsep atau label yang ingin kita kenakan pada diri.

Ketika menjawab ini, menurut saya ada dua (2) diri yang tengah bekerja dan bisa diidentifikasi.

1."aku" (me): aku adalah diri sebagai obyek yang tengah diamati. Memahami aku bisa dilakukan dengan melihat diri yang tengah bekerja/melakukan sesuatu, yang sedang berhadapan dengan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor dari dalam diri (internal) atau dari luar diri (eksternal), yang tengah melakukan peran-peran dalam hidup, yang dikenai label/konsep, yang berada dalam konteks waktu di masa lalu (ingatan) atau di masa depan (harapan).

2."Aku" (I): Aku adalah diri sebagai subyek yang tengah mengamati. Memahami Aku bisa dilakukan dengan melihat diri yang tengah mengamati aku-aku yang tengah muncul di dalam diri (saat ini - present). Aku juga bisa bekerja dalam kesadaran menganalisa, menginterpretasi dan membayangkan merubah aku.

Diri tidak tunggal. Aku yang mengamati hanya ada satu (1) dan disadari ketika tengah mengamati aku. Sedangkan aku - jamak, ada banyak aku yang bisa diamati, sebagai ingatan, ide, peran, harapan, dan pengalaman.

Persepsi Aku juga bisa berubah. Seiring dengan bertambahnya pengalaman hidup, maka Aku juga terpengaruh berbagai faktor kontekstual dalam memahami aku-aku.

Aku dan aku dipengaruhi konteks waktu. Aku melihat aku di usia 15 tahunan, akan berbeda ketika Aku melihatnya di usia 18 tahunan (sebagai anak muda) atau di usia 40 tahunan (sebagai Ibu). Perspektif Aku berubah seiring pengalaman hidup. Maka diri bisa berubah seiring perubahan waktu.

Aku dan aku bisa dipengaruhi konteks sosial. Nilai dan sistem sosial yang dipahami Aku bisa mempengaruhi cara pandangnya. Juga, aku akan bertindak karena dipengaruhi nilai-nilai yang dianutnya di masa tertentu. 

Sepanjang hidup, nilai-nilai yang kita pelajari bisa berubah, juga bisa relatif sama. Diri bisa berubah dan relatif sama karena dipengaruhi nilai-nilai yang diserap dari lingkungan sosial.

Hal ini tidak mudah dipahami bukan? Ada beberapa penyebab kita agak sulit memahami diri seperti ini.

Dalam Bahasa Indonesia, kita kebanyakan hanya bisa mengenali diri sebagai satu konsep, contohnya: aku atau saya sebagai subyek dan obyek menggunakan kata yang sama. Maka menjadi agak sulit mengurai diri sebagai jamak. Berbeda dengan Bahasa Inggris yang membedakan I dan me. Mungkin aspek Bahasa ini turut mempengaruhi bagaimana kita memahami diri kita.

Faktor pengaruh lingkungan dan budaya juga besar dalam memahami diri. Dalam lingkungan konservatif, dimana jarang dibicarakan perasaan dan pikiran, atau anak tidak dilatih untuk memahami dan menyatakan perasaan, pikiran dan keinginannya, atau anak hanya diminta patuh dan tidak mempertanyakan otoritas orang tua, maka  pemahaman atas diri menjadi kurang kuat. 

Konsep diri yang terbentuk kemungkinan hanya imitasi dari orang tua atau bentukan kebiasaan tanpa proses yang disadari. Akibatnya, mereka cenderung menjadi pribadi rigid, sulit memahami dirinya sendiri serta kurang mampu mengelola perubahan.

Orang-orang yang dibesarkan dalam komunikasi terbuka dan difasilitasi berpikir reflektif, kemungkinan akan lebih mampu mengenali Aku dan aku. Dan jika kita bisa melatih kesadaran diri seperti ini, maka kita bisa menjadi manusia yang adaptif, diri yang selalu memiliki kemampuan merubah diri.

Dapat disimpulkan, bahwa kesadaran diri bukanlah kapasitas bawaan lahir, namun perlu dibangun dengan latihan-latihan menemukan diri sepanjang hidup.

Aku sebagai agen perubahan

Berikut beberapa contoh.

Contoh 1. Aku mengamati aku sebagai murid di sekolah yang mencontek ketika ujian di masa SMP. Aku adalah subyek yang sedang mengamati ingatan tentang aku di masa lalu. Aku mengamati bahwa aku mencontek karena tidak siap belajar untuk ujian dan tergoda dengan cara cepat mendapatkan nilai. 

Aku membayangkan, andai aku lebih bisa membuat prioritas belajar, maka aku menyediakan waktu belajar yang cukup sehingga tidak perlu mencontek ketika ujian.

Contoh 2. Aku mengamati diriku yang tengah menjelaskan mengapa aku melakukan pelecehan seksual pada banyak anak di bawah umur selama ini pada Polisi. Aku melihat bahwa cara berpikirku lebih mengedepankan kebutuhanku daripada pikiran tentang dampak perbuatanku pada anak-anak itu; bahwa aku butuh seks dan anak-anak itu mau melakukan seks untukku karena posisiku yang lebih berkuasa dari mereka. Aku mengingat tipu daya dan ancaman yang aku gunakan untuk membuat mereka menurut. Aku berpikir, betapa hancur dan sedihnya korban-korban anak itu karena perbuatanku. Aku berpikir apa yang aku harus lakukan untuk memperbaiki situasi ini, apa bantuan yang harus aku dapatkan untuk merehabilitasi diriku yang telah salah.

Contoh 3. Aku mengamati diri aku yang tengah mengucapkan kata-kata kasar penuh amarah pada seseorang di hadapanku. Aku tengah memahami bagaimana aku menjadi marah karena orang ini merendahkanku sebagai perempuan. Lalu aku membalas hinaannya dengan kata-kata yang lebih kasar. Aku bisa saja hanya mengamati aku yang tengah bereaksi atas penghinaan dengan kemarahan. Tapi, Aku bisa juga membayangkan bagaimana jika aku melakukan reaksi yang berbeda, misalkan: mengubah reaksi marah menjadi menghela napas dan pergi menenangkan diri dulu. Atau membayangkan bahwa dampak keributan ini berpotensi merugikan aku di masa depan. Aku bisa menyelaraskan pikiran pada aku, untuk mengubah kemarahan menjadi upaya menenangkan diri. Aku bisa merubah aku.

Aku yang aktif bisa mengenali kesedihan dan bekerja untuk mengubah reaksi sedih menjadi cara-cara memulihkan diri.

Aku yang aktif bisa mengenali kemarahan dan bergerak untuk menyelesaikan persoalan/ketidakadilan yang terjadi agar sumber kemarahan bisa teratasi.

Aku yang aktif bisa mengidentifikasi aku-aku yang tidak lagi sehat, yang harus dirubah atau ditinggalkan, agar tidak terpaku pada cara-cara yang tidak lagi relevan untuk mencapai tujuan hidup saat ini.

Aku yang aktif bisa memberikan arahan agar diri bisa bergerak menyelaraskan keseluruhan diri (intelek, sifat/watak, bakat, emosi dan berbagai aspek pribadi lainnya) untuk mencapai tujuan dan perkembangan diri yang dianggap penting dalam hidup saat ini.

Aku yang aktif bisa menjadi agen perubahan diri menuju kondisi sehat dan sejahtera.

Oleh karena itu, penting untuk mengasah kemampuan mengenali diri ini, mengenali Aku dan aku. Lebih lanjut, penting untuk terus berupaya memperkuat Aku agar mampu mengelola keseluruhan diri demi mencapai mental yang sehat dan sejahtera.

Integrasi diri

Mungkin, konseptualisasi Aku dan aku terkesan seperti pemecahan diri (self-fragmentation/ compartmentalization) yang beresiko membuat orang semakin sulit memahami dan menerima dirinya sendiri. Bahkan mungkin beresiko memperkuat kecenderungan kritik diri berlebihan (self-criticism).

Perlu dipahami, bukan itu tujuannya. 

Latihan membedakan Aku dan aku dilakukan dalam rangka membantu individu memahami secara lebih sederhana atas kompleksitas dirinya sebagai manusia. Namun, pada kelanjutannya, Aku dan aku perlu diselaraskan, diintegrasi (self-integration) untuk mencapai fungsi optimal.

Misalkan, ada perempuan yang mengalami trauma karena pernah mengalami pemerkosaan (seks tanpa persetujuan / non-consensual sex), lalu selanjutnya menjadi kesulitan menjalin relasi intim dengan lawan jenis. 

Pengalaman traumatik ini begitu berat. Sebenarnya, ia tidak sanggup menerima dan berhadapan dengan dirinya yang dulu pernah dijarah tubuhnya. Ia menolak ingatan peristiwa itu dan label dirinya sebagai perempuan yang telah terjarah tubuhnya, lalu secara tidak sadar pengalaman ini ditekan ke bawah sadar (represi). 

Sebagai akibatnya, kemarahan diri karena dijarah berubah menjadi penolakan pada orang yang beresiko menyakitinya dalam relasi intim. Ia menjadi sulit percaya pada lawan jenis, terutama ketika memunculkan niat seksual. 

Dalam kondisi ini, salah satu cara membantunya adalah melatih gerak dinamis Aku dan aku. Aku diajak sadar mengamati aku yang traumatik. Aku membantu untuk menuju ke pemahaman bahwa pengalaman tubuh aku yang terjarah tidak berarti seluruh diriku rusak. 

Aku dan aku yang selaras akan lebih mampu belajar bagaimana membedakan lawan jenis yang tulus dan tidak tulus dalam niat seksual. Aku dan aku yang terintegrasi akan mampu menyusun langkah-langkah membangun relasi yang lebih sehat di masa depan.

Diri yang berproses terintegrasi, akan lebih bisa mencapai penerimaan diri.

Penerimaan diri

Ketika seseorang menerima keseluruhan dirinya, termasuk kekuatan dan kelemahan, kelebihan dan keterbatasannya, kesuksesan dan kegagalannya, ini disebut penerimaan diri.

Sepanjang hidup, ada bagian kehidupan yang menarik, ada titik hidup menyedihkan, ada kala sakit, ada momen perjumpaan serta perpisahan. Berbagai pengalaman dan peristiwa ini telah mempengaruhi diri hingga menjadi bentuk saat ini.

Kadang, ada pengalaman yang di satu sisi dilihat sebagai kelemahan, di sisi lain bisa juga dipandang sebagai kekuatan. Pengalaman mengalami kekerasan dalam rumah tangga (kdrt) adalah pengalaman traumatik dan memalukan dalam hidup seorang korban (victim). Namun pengalaman kdrt juga bisa menjadi dasar terbentuknya ketangguhan membangun hidup kembali oleh seorang penyintas (survivor).

Bahkan, bisa menjadi pengalaman belajar orang lain untuk mencegah kdrt atau menginspirasi korban kdrt lain untuk bisa keluar dari pengalaman buruk yang sedang dialaminya. Perubahan dari korban menjadi penyintas hanya bisa terjadi ketika individu memahami diri dan menerima dirinya.

Anak dengan autisme biasanya mengalami kesulitan memahami informasi implisit atau sulit memahami makna secara umum karena kelemahannya yang terlalu terpaku pada informasi detail. Jika kondisi anak ini diterima, maka orang tua akan membantu belajar anak dengan menjelaskan secara gamblang setiap informasi implisit. 

Lebih lanjut, minat informasi detail bisa dikerahkan sebagai kekuatan, dimana anak didukung mengerjakan tugas-tugas yang membutuhkan ketelitian detail. 

Dengan demikian, anak bisa mengalami sukses karena orang tuanya telah menerimanya; tidak hanya fokus pada kelemahan tapi juga memfasilitasi kekuatannya.

Simpulan

Terkadang, menerima keindahan dan kesuksesan diri lebih mudah daripada menerima bahwa diri telah gagal dan pesakitan. Namun, untuk mencapai proses menerima kemanusiaannya, individu perlu berlatih agar Aku mengamati dan menelusuri berbagai kompartemen aku. Inilah yang menjadikan diri unik.

Latihan memahami diri (integrasi dan penyelerasan Aku dan aku) dilakukan dalam rangka proses penerimaan diri dan membantu mencapai kondisi sehat dan sejahtera. Karena dengan demikian, artinya kita manusia punya kemampuan berubah, belajar menjadi lebih baik.

"One does one's thinking before one knows what one is to think about."  (Origin of consciousness in the breakdown of the Bicameral mind" -Julian Jaynes, 1976)

Penulis: Margaretha

Pengajar di Universitas Airlangga, sedang menempuh studi lanjut di the University of Melbourne.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun