Kebiri kimia dan psikoterapi perlu dilihat sebagai bantuan rehabilitatif agar predator seksual/pelaku kejahatan seksual berulang yang disertai kekerasan agar mampu mengendalikan seksualitasnya.Â
Riset Psikologi Forensik di Universitas Airlangga menemukan bahwa usia adalah prediktor penting pengulangan kejahatan seksual. Artinya, untuk mencegah pengulangan kejahatan seksual, pelaku dalam usia produktif seksual dengan korban/perilaku jamak dan disertai kekerasan, sangat disarankan mendapatkan hukuman maksimal dan dibantu untuk mampu mengelola seksualitasnya kelak.
Dampaknya, pelaku kejahatan seksual dengan ciri tersebut harus diberikan bantuan rehabilitatif kebiri kimia dan psikoterapi intensif selama minimal 2 tahun oleh negara.
Tulisan ini akan mengulas apa kejahatan seksual pada anak di bawah umur dan hubungannya dengan kebiri kimia, serta apa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah kejahatan seksual pada anak di bawah umur.
Mengapa kebiri kimia?
Sangat menyakitkan melihat kasus kejahatan seksual yang dilakukan seorang dewasa pada anak di bawah umur. Anak yang seharusnya dilindungi masa depannya, justru dihancurkan dengan cara yang sangat merusak.Â
Kekerasan seksual menghancurkan harga diri dan masa depan anak, merusak kepercayaan (trust) dalam relasi sosial, serta menimbulkan gangguan fisik dan psikologis yang bisa berdampak hingga jangka panjang.
Lebih terluka lagi, ketika kita ketahui, setelah mendapatkan hukuman pidana, si pelaku kejahatan seksual pada anak bisa bebas kembali ke masyarakat. Perasaan takut muncul akankah muncul lagi korban-korban baru?
Kebiri kimia saat ini dipilih untuk mengendalikan perilaku seksual pelaku kejahatan seksual anak di Indonesia. Berharap selama penggunaan obat kimia, hasrat seksual pelaku kejahatan seksual dapat dikendalikan dan diturunkan dalam rangka mencegah terulangnya kejahatan seksual.
Apakah pelaku kejahatan seksual pada anak adalah pedofil?
Pelaku kejahatan seksual adalah orang yang melakukan pelanggaran pidana kekerasan seksual (pemaksaan seksual), dan jika korbannya di bawah umur 18 tahun (dikategorikan sebagai anak), maka disebut sebagai pelaku kejahatan seksual pada anak.Â
Pelaku pedofilia (pedofil) adalah orang yang mengalami gangguan mental seksual dimana dia mengalami kepuasan seksual dari aktivitas seksual dengan anak di bawah usia puber (pra-pubertas); dimana usia pelaku sekurang-kurangnya 5 tahun lebih tua daripada korbannya.Â
Dari definisi ini bisa disimpulkan, pelaku pedofilia adalah pelaku kejahatan seksual pada anak, namun tidak semua pelaku kejahatan seksual pada anak adalah pedofil.
Di kasus-kasus yang tercatat di Lapas, tidak semua kejahatan seksual dilakukan pada anak pra-pubertas (ada pula yang korban pasca pubertas namun masih di bawah 18 tahun). Sebagian besar ditemukan adanya hubungan saling mengenal antara pelaku dan korban (bahkan menyatakan sebagai relasi pacaran), dan ada beberapa kasus yang antara korban dan pelaku tidak saling mengenal sebelumnya.Â
Bahkan ada juga yang pelakunya menyatakan diri sebagai kekasih si korban (seorang dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan anak di bawah umur 18 tahun).
Namun, perlu digarisbawahi bahwa hubungan seksual dengan anak di bawah umur 18 tahun, secara hukum positif dan norma sosial dianggap penyimpangan.Â
Perbedaan usia berpotensi memunculkan kesenjangan kekuasaan (power gap), anak selalu dianggap pihak yang lebih rentan; artinya si dewasa dianggap dapat memanipulasi pikiran si anak untuk turut keinginannya dan memenuhi kebutuhan seksualnya. Ini adalah kejahatan.Â
Seks yang sehat adalah yang kedua belah pihak menyatakan persetujuan tanpa paksaan dalam keadaan yang seimbang.
Perilaku kejahatan seksual berulang
Payung penelitian Kekerasan di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga pada tahun 2018-2019 melakukan kajian residivisme pelaku kejahatan seksual pada anak dan pelaku pedofilia di berbagai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di salah satu propinsi di Indonesia.Â
Beberapa temuan penting adalah: 1) perilaku kejahatan seksual terjadi jamak (multiple), 2) usia menentukan pengulangan perilaku kejahatan seksual, dan 3) terdapat persoalan kendali impuls seksual dan kesalahan berpikir pada pelaku.
Kejahatan seksual umumnya terjadi jamak, artinya dalam kasus kejahatan seksual ditemukan adanya pengulangan perilaku seksual yang dikenakan pada korban tertentu, atau ditemukan adanya beberapa/banyak korban oleh seorang pelaku.Â
Sering yang terjadi, kasus kejahatan seksual pada anak diketahui setelah korban jatuh sudah lebih dari satu orang. Besar kemungkinan, ketika berhadapan dengan satu pelaku kejahatan seksual, kita harus menggali lebih dalam berapa jumlah korban yang telah jatuh atau seberapa frekuentif dan intensif perilaku seksual yang dikenakannya pada korban.
Usia ditemukan sebagai faktor yang sangat menentukan apakah akan terjadi pengulangan perilaku kejahatan seksual. Hal ditemukan oleh riset Psikologi Forensik di Universitas Airlangga yang menggunakan alat actuarial Static-99 (yang diperbarui menjadi static-2002). Static adalah alat ukur yang berisi berbagai faktor resiko kejahatan seksual yang ditemukan dari berbagai review aktuarial kasus kejahatan seksual di dunia. Static telah banyak digunakan untuk mengukur resiko pengulangan kejahatan seksual dan hasilnya dijadikan salah satu pertimbangan pemberian hukuman pada pelaku kejahatan seksual. Semakin banyak faktor resiko yang dimiliki pelaku, maka semakin besar kemungkinannya ia akan melakukan ulang kejahatan seksual (residivisme). Oleh karena itu, semakin penting penegak hukum melakukan intervensi untuk mencegah kejahatan.
Tim peneliti menghitung resiko terjadinya pengulangan kejahatan seksual kelak di sampel pelaku kejahatan laki-laki di Lapas. Hasil statistik menemukan, usia adalah faktor yang signifikan menentukan resiko pengulangan kejahatan seksual. Jika seorang pelaku kejahatan lepas masa pidana di usia produktif (di bawah 65 tahun), maka resiko pengulangan kejahatan seksualnya tergolong beresiko sedang dan tinggi. Jika usia lepas dari penjara di atas 65 tahun, maka resiko pengulangan kejahatan secara signifikan menurun.Â
Temuan ini logis, karena pada masa usia produktif, hasrat seksual masih cukup tinggi dan frekuentif sehingga masih akan terjadi perilaku seksual. Namun, jika kebutuhan seksual yang masih tinggi disertai dengan kesulitan pengendalian impuls seks dan penyimpangan seksual, artinya resiko pengulangan kejahatan seksual menjadi tinggi. Artinya, korban kejahatan seksual dapat terus berjatuhan kelak.
Pelaku kejahatan seksual pada anak juga memunculkan kesalahan berpikir (cognitive distortions). Rata-rata pelaku kejahatan seksual memahami bahwa perilaku seks yang dilakukannya pada anak di bawah umur adalah salah.Â
Namun, mereka juga memiliki ide yang salah yang digunakannya untuk membenarkan perilaku seksual yang dikenakannya pada korban, misalkan: "anak itu yang menggoda saya", atau "dia duduk (berperilaku) dengan menggoda sehingga saya tidak bisa mengendalikan diri saya", atau "pasangan saya tidak bisa melayani saya maka saya tidak punya pilihan lain selain melakukannya pada anak itu". Kesalahan berpikir ini juga digunakan pelaku sebagai alasan lemahnya kemampuan kendali seksualnya, sehingga ia melakukan perilaku seksual berulang pada korbannya (atau korban jamak).
Dari temuan ini, dapat disimpulkan sementara, bahwa pelaku kejahatan seksual pada anak perlu dibantu untuk bisa merubah perilaku seksualnya yang menyimpang dan mencegah melanggar hukum. Kejahatan seksual pada anak terjadi karena lemahnya kendali pelaku atas perilakunya sendiri. Jelas, pelaku akan membutuhkan bantuan untuk mengendalikan impuls seksualnya, terutama ketika ia berada dalam masa usia produktif, serta bantuan intensif untuk merubah cara pandangnya yang salah tentang seks dengan anak.
Kebiri kimia: Bantuan kelola impuls seksual
Kebiri kimia (chemical castration) adalah upaya medis dengan menggunakan obat-obatan dalam rangka menurunkan libido atau hasrat seksual dan aktivitas seksual. Kebiri kimia hanya akan berdampak selama obat diminum, artinya seksualitas dapat Kembali normal jika obat tidak lagi diminum. Kebiri kimia bukan sterilisasi, dan banyak digunakan dalam pengobatan kanker dan juga pengelolaan perilaku seksual.
Salah satu peran kebiri kimia adalah untuk mengendalikan perilaku kecanduan seksual. Di dalam The Cut, dijelaskan bahwa seorang laki-laki berusia 62 tahun yang kecanduan seks dan sulit mengelola hasratnya untuk terus berhubungan dengan prostitusi, akhirnya memutuskan menggunakan obat kebiri kimia dengan keputusan sendiri/sukarela dalam rangka menyelamatkan pernikahannya yang berada di ambang kehancuran (Tsoulis-Reay, 2015).
Perlu dipahami, pelaku kejahatan seksual yang telah memahami betapa perilakunya telah merusak korban anak dan sungguh merasa bersalah, justru akan meminta bantuan untuk merubah dirinya agar mampu mengendalikan diri dan tidak melakukan kejahatan seksual lagi. Namun, jika pelaku masih belum mau bertanggungjawab atas dampak kerusakan kejahatannya pada anak, justru mereka akan menyangkal bantuan dengan berbagai alasan.
Koreksi kejahatan seksual, apakah kebiri kimia cukup?
Pelaku kejahatan seksual perlu dibantu memperbaiki perilaku seksualnya agar menjadi adaptif dan sehat. Pendekatan punitif hanya berdampak pada satu orang pelaku saja, tapi demi keadilan dan pencegahan jatuhnya korban di masa depan, maka si pelaku harus mendapatkan direhabilitasi.
Rehabilitasi psikologis sangat penting diberikan pada pelaku kejahatan. Predator seksual memiliki gangguan  penyimpangan perilaku seksual, yang menyebabkan seksualitasnya tidak sehat dan menghasilkan persoalan psikologis berkelanjutan.
Psikoterapi intensif untuk merubah perilaku seksual pelaku sangat mendasar dibutuhkan. Seiring dengan itu, psikoterapi juga harus berupaya untuk mengembangkan kemampuan pengelolaan persoalan dan stress (stress coping and management) akan mendukung munculnya kendali seks bagi pelaku kejahatan seksual. Karena sering ditemukan, pelaku kejahatan seksual kambuh ketika mengalami persoalan atau tekanan dalam hidupnya.
Selain itu, sistem preventif kejahatan seksual di Indonesia harus diperkuat dengan pembangunan database pelaku kejahatan seksual. Nama dan tempat tinggal pelaku kejahatan seksual harus disimpan dalam sistem yang dapat diakses oleh pembuat kebijakan dan kepolisian.
Database ini akan digunakan untuk membuat pertimbangan kelak, ketika pelaku keluar dari penjara maka sebaiknya dia hidup dan bekerja dalam lingkungan yang minimal resiko pengulangan kejahatannya. Misalkan, jangan sampai predator seksual anak, setelah keluar dari penjara kembali bekerja dengan anak di sekolah atau lingkungan yang banyak anak. Ketika bekerja pun, managemen perusahaan harus memahami riwayat pelaku dan memberikan pengawasan dan bantuan agar tidak jatuh mengulang perilakunya kembali.
Saat ini, banyak pelaku kejahatan yang memanfaatkan kelemahan tidak adanya database pelaku kejahatan di Indonesia. Akibatnya, setelah menjalani pidana, mereka pindah kota atau pulau atau negara; dan segera di tempat baru mendaftar bekerja di tempat yang memudahkan mereka mencari suplai korban berikutnya.
Simpulan
Sayangnya, bahkan menegakkan hukum maksimal pun tidak akan bisa memberikan rasa keadilan bagi korban. Namun kenyataan yang menyedihkan, masih banyak orang memiliki cara pikir "patriarki konservatif" yang lebih berat ke menyelamatkan alat kelamin laki-laki pelaku kejahatan seksual daripada mencegah jatuhnya korban jiwa manusia. Bahkan sebagian orang meremehkan dengan membuat humor seksual atas kejahatan seksual.
Padahal kebiri kimia yang diterapkan di Indonesia adalah temporer dan reversible. Padahal obat kebiri kimia pun tidak bisa menghentikan eksploitasi, pornografi, tangan dan otak yang jahat. Mereka lupa yang permanen dan irreversible adalah ingatan luka korban karena tubuhnya pernah dijarah dan jiwanya dilukai.
It's really not a joke for the victims.
Penulis: Margaretha
Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Sedang menempuh studi lanjut di the University of Melbourne
Tulisan ini juga dipublikasi di blog pribadi penulis.
Referensi
Gilchrist, C. (1998). Examination of the Effectiveness of California's Chemical Castration Bill in Preventing Sex Offenders From Reoffending. Southern California Interdisciplinary Law Journal, 7, 181.
Guay, D. R. (2009). Drug treatment of paraphilic and nonparaphilic sexual disorders. Clinical Therapeutics, 31, 1-31.
Harrison, J.L., O'Toole, S.K., Ammen, S., Ahlmeyer, S., Harrell, S.N. & Hernandez, J.L. (2020). Sexual Offender Treatment Effectiveness Within Cognitive-Behavioral Programs: A Meta-Analytic Investigation of General, Sexual, and Violent Recidivism. Psychiatry, Psychology and Law, 27, 1-25.
Koo, K. C., Shim, G. S., Park, H. H., Rha, K. H., Choi, Y. D., Chung, B. H., ... & Lee, J. W. (2013). Treatment outcomes of chemical castration on Korean sex offenders. Journal of Forensic and Legal Medicine, 20, 563-566.
Meyer III, W. J., & Cole, C. M. (1997). Physical and chemical castration of sex offenders: A review. Journal of Offender Rehabilitation, 25, 1-18.
Mpofu, E., Athanasou, J. A., Rafe, C., & Belshaw, S. H. (2018). Cognitive-behavioral therapy efficacy for reducing recidivism rates of moderate-and high-risk sexual offenders: A scoping systematic literature review. International journal of offender therapy and comparative criminology, 62, 170-186.
Cahyaningrum, A. E., & Margaretha, M. (2020). Does emotional congruence and compulsive sexual behavior increase the recurrence risks of child sexual abuse? Jurnal Psikologi, 19, 417-430.
Tsoulis-Reay, A. (2015). What it's like to be chemically castrated. Dari https://www.thecut.com/2015/12/what-its-like-to-be-chemically-castrated.html
Walter J. Meyer III & Collier M. Cole (1997). Physical and Chemical Castration of Sex Offenders. Journal of Offender Rehabilitation, 25, 1-18.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI