Ada banyak emosi yang kita alami, namun tidak semua kita pahami. Sebagian besar menjadi tidak dikenali bahkan tidak disadari. Pada keadaan sadar (consciousness), sering rasionalitas menekan emosi diri, karena dianggap tidak pantas, salah atau memalukan.
Misalkan, ada anak yang sangat marah pada orang tuanya karena menghardiknya di depan orang banyak, si anak menjadi sangat malu. Dalam keadaan sadar, anak akan berusaha mengalihkan perasaan marahnya menjadi rasionalisasi penerimaan, "saya harus menghormati orang yang lebih tua". Perasaan marah dan malu yang muncul diabaikan bahkan ditekan ke ketidaksadaran (unconsciousness) karena dianggap salah. Namun, satu waktu si anak menolak mengerjakan tugas rumahnya ketika disuruh orang tuanya; dan ketika tidur si anak bermimpi orang tuanya ditelan monster. Hal ini dapat terjadi karena dalam keadaan tidur, rasionalitas berkurang kendalinya atas emosi dan pikiran, sehingga kemarahan bisa muncul. Dalam keadaan sadar, anak paham orang tuanya memiliki kekuasaan lebih atas dirinya yang masih kecil, maka kemarahannya hanya bisa dimanifestasikan dalam bentuk penolakan. Jika kemarahan seperti terus terjadi, tidak dipahami dan tidak terselesaikan, hal ini dapat berkembang menjadi gangguan mental kecemasan pada si anak.
Emosi Marah: Tanda diri menolak ketidakadilan
Marah adalah reaksi ketika mengalami ketidakadilan atau ketika merasa mengalami hambatan dalam mencapai tujuan. Marah berpotensi memunculkan agresi/kekerasan, maka penting untuk memahami dan mampu mengelolanya.
Reaksi marah bisa diamati dalam mimik (alis mata turun dan mendekat, mata membelalak, dan bibir terkatup tegang), intonasi (suara menjadi lebih terkontrol, atau berteriak), dan juga gesture (otot tubuh tegang, berkeringat, otot dagu dan tangan mengencang, tubuh mendekat dan tampak lebih besar).
Marah dapat dipicu karena adanya gangguan, ketidakadilan, ada orang yang mau menyakiti diri atau orang yang kita kasihi, dan terjadinya perbuatan yang tidak menyenangkan pada diri kita (perselingkuhan, penelantaran, penolakan).
Marah juga dapat muncul bersamaan dengan emosi takut (pada diri jika akan menghancurkan diri sendiri atau orang lain) atau jijik (pada orang yang menyebabkan ketidakadilan atau menghalangi diri mencapai tujuan).
Dalam berbagai budaya, marah sering dilihat sebagai emosi yang jelek, dan harus dihindari ekspresinya. Namun, sebenarnya marah juga memiliki fungsi yang konstruktif, yaitu ketika marah dilakukan atas dasar welas kasih untuk menghentikan ketidakadilan.Â
Pengalaman marah juga membuka kesempatan belajar cara yang paling tepat dalam mengekspresikan emosi ini. Kita perlu terus belajar cara-cara mengelola kemarahan agar bisa menyelesaikan persoalan ketidakadilan yang dialami tanpa melukai orang lain.
Pertumbuhan pribadi dan kesehatan mental
Keterpurukan mental membuat kita tampak "tidak normal". Perasaan sedih, marah dan cemas membuat kita menolak melakukan tugas sehari-hari, berperilaku aneh, berantakan, beresiko merusak diri dan masa depan. Berhadapan dengan keterpurukan memunculkan perasaan tidak enak. Jika keterpurukan dilihat sebagai penyakit dan masalah, kita ingin segera menghentikannya dan menutupinya agar kembali "normal".
Namun, keterpurukan perlu dilihat sebagai kesempatan pertumbuhan pribadi (a process of growth/self-development). Keterpurukan menuntut diri melakukan introspeksi, refleksi lalu berupaya menerima keadaan diri yang sebenarnya; yang mungkin selama ini diabaikan atau dihindari. Hanya dari penerimaan diri, maka dapat lahir pertumbuhan diri.