Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Menjadi Benar atau Salah Bisa Berujung pada Kejahatan? (Bagian IV)

27 Oktober 2020   13:50 Diperbarui: 27 Oktober 2020   16:14 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejahatan yang dilakukannya berasal dari emosi yang salah seperti marah dan jijik. Dengan mengkoreksi emosi moral yang salah, diharapkan dapat menghasilkan perilaku moral adaptif, seperti Empati (Bagian III).

Mengapa berpikir menjadi benar dan salah tidak cukup? Pentingnya memperkuat kesadaran emosi moral
Tangney, Stuewig, dan Mashek (2007) mengemukakan bahwa emosi moral memberikan motivasi - kekuatan dan energi - untuk berbuat berperilaku moral, yaitu berbuat baik dan menghindari berbuat jahat. 

Dukungan empiris muncul dari penelitian neurosains, ditemukan bahwa individu dengan gangguan di bagian otak yang terkait dengan pemrosesan emosional biasanya menunjukkan perilaku yang kurang pro-sosial; lebih berperilaku antisosial; kurang memiliki empati dan penyesalan jika melakukan kesalahan; dan mereka beresiko tinggi melakukan penganiayaan/pelecehan terhadap orang lain.

Dari berbagai contoh tentang dampak emosi pada perilaku moral, bisa disimpulkan bahwa proses moral sangat kuat dipengaruhi oleh emosi yang dialami manusia. 

Selama manusia mengabaikan komponen emosi moral, dan bertindak seakan-akan keputusan moralnya tanpa bias emosi, yang mungkin terjadi tanpa disadarinya, maka hal ini dapat menciptakan kerentanan keputusan moral.

Bisa terjadi, muncul manusia yang berpikir apa yang dilakukannya sangat benar dan keputusan moralnya sudah berdasarkan nilai moralitas yang paling unggul, tapi dia abai bahwa semua proses moralnya sebenarnya berdasarkan kebencian yang telah dibangun sejak kecil, yaitu: emosi jijik dan menganggap rendah terhadap orang lain yang berbeda.

Orang-orang yang tidak punya kesadaran emosi moral akan melakukan rasionalisasi - penalarannya dan dapat tanpa ragu melakukan"aksi moral"menyerang orang lain yang dianggap salah. Inilah yang sering kita lihat di Indonesia saat ini. 

Orang-orang yang berteriak-teriak menyatakan diri melakukan tindakan moral, namun sebenarnya sedang membenci. Kebencian yang sudah dipupuk sejak lama dalam kemarahan dan sikap jijik pada manusia lain. Kebencian yang lama kelamaan diformalisasi dalam nilai-nilai moral semu yang telah dirasionalisasi. Perlu dipahami, moralitas yang adaptif sesungguhnya tidak terbentuk dari emosi negatif pada orang lain.

Kesadaran emosi moral menjadi penting. Emosi moral yang disadari tidak sama dengan menjadi emosional. 

Emosi adalah suatu respon psiko-fisik atas stimulus yang terjadi di alami manusia, misalkan: ketika seseorang dimarahi, hal ini bisa menjadi stimulus munculnya emosi takut. 

Namun kesadaran emosi moral adalah suatu kondisi, dimana individu menyadari apa yang sedang dialaminya, sehingga memunculkan suatu emosi tertentu, serta bagaimana emosi tersebut mempengaruhi penalarannya serta pembuatan keputusan moralnya.

Salah satu contohnya misalkan: ketika seseorang menyadari sedang merasakan amarah pada orang lain, dan memahami bagaimana kemarahannya itu membuatnya berpikir tentang cara mengungkapkan kejengkelannya tersebut dalam koridor aturan yang diterima di masyarakat. 

Tanpa kesadaran, maka perilaku yang muncul hanya reaksi emosional. Dengan kesadaran, emosi bisa diarahkan untuk mencapai tujuan sosial yang kompleks, seperti perilaku moral (Tracy & Robins, 2007).

Perlu digarisbawahi, bahwa kesadaran emosi moral akan sangat penting untuk munculnya perilaku moral, dan kesadaran hanya didapatkan dari proses refleksi dan evaluasi diri.

Oleh karena itu, pengembangan kesadaran emosi moral dalam berbagai proses sosialisasi perlu didukung sejak kecil; baik dalam pengasuhan di rumah, pendidikan di sekolah formal dan non-formal, hingga hidup bermasyarakat. 

Dalam proses sosialisasi, anak manusia perlu dilatih kemampuan refleksi dan penilaian diri. Hanya dengan kemampuan inilah, kesadaran dirinya dapat tumbuh. Pengalaman sosialisasi di berbagai konteks akan memperluas dan meluweskan kesadaran emosi moral sehingga bisa berjalan bersama dengan penalaran moral untuk mencapai keputusan dan perilaku moral yang proporsional dan adaptif. 

Proses penumbuhan emosi moral harus menjadi suatu kebiasaan yang disadari, artinya dipersiapkan, direncanakan dan dievaluasi terus-menerus.

Memperkuat emosi moral empati
Empati adalah salah satu proses emosi moral yang penting. Banyak penelitian menemukan empatilah yang berperan besar dalam membentuk perilaku moral adaptif atau perilaku yang diterima sebagai baik oleh masyarakat luas (lihat review oleh Eisenberg & Morris, 2001). 

Empati adalah salah satu bentuk emosi kompleks karena memiliki komponen kognitif (berpikir), afektif (merasakan), dan konasi (perilaku). Fesbach (1975 dalam Tangney, 2007) mendefinisikan empati sebagai peristiwa berbagi respon emosional antara seorang pengamat dan partner interaksinya. 

Untuk melakukan empati dibutuhkan beberapa kemampuan:
1.kemampuan kognitif untuk mengambil perspektif orang lain,
2.kemampuan kognitif untuk mengidentifikasi pengalaman emosi/afektif orang lain, dan
3.kemampuan afektif untuk mengalami secara pribadi berbagai macam emosi (termasuk ikut merasakan pengalaman emosi orang lain yang dia lihat).

Simon Baron-Cohen juga (2011) menjelaskan bahwa empati terdiri dari dua tahap: proses empatik yang terjadi secara internal kognitif dan afektif, lalu dilanjutkan dengan respon empati yang akan mengarah pada munculnya keinginan dan perilaku membantu orang lain. 

Dapat disimpulkan bahwa jika dilihat secara utuh, empati akan terdiri dari komponen kognitif, afektif serta aksi. Pengembangan emosi moral empati bisa menjadi salah satu cara memperkuat perilaku moral yang pro-sosial.

Banyak penelitian menemukan bahwa kapasitas empati adalah hasil belajar, dan tempat yang paling awal berperan menumbuhkan empati adalah di keluarga, di rumah. 

Peran pengasuhan orang tua menjadi sangat penting. Orang tua perlu menyadari perannya sebagai contoh dan panutan (role model) empati. Panutan yang dapat diamati baik kapasitasnya dalam memahami kondisi orang lain (kognitif), merasakan pengalaman emosional orang lain (afektif), serta mampu menciptakan tindakan untuk merespon keadaan orang lain tersebut (aksi empati). 

Seiring dengan perkembangan manusia, anak akan bergerak belajar empati dari lingkungan di luar rumah, seperti sekolah, lingkungan rumah, dan masyarakat. Semakin sering anak belajar dan memperluas wawasannya tentang emosi empati di berbagai konteks, maka semakin ia akan menjadi lebih luwes dalam menggunakan kesadaran emosi moralnya untuk menentukan keputusan dan perilaku moralnya.

Simpulan
Masalah moral dapat timbul dari proses moral yang buruk. Secara umum, dalam mencapai keputusan moral, ada 2 cara yang bisa dilakukan, yaitu:
1) Rasionalisasi: sebenarnya tidak ada proses berpikir, dimulai dengan simpulan yang diarahkan oleh nilai, berkembang dengan didorong oleh emosi yang tidak disadari, hingga menjadi suatu pembenaran perilaku yang telah dipilih sebelumnya; dan
2) Kesadaran emosi dan penalaran moral: menyadari emosi moral yang dialami, melakukan proses berpikir yang mengarahkan munculnya simpulan dan perilaku moral. Perbedaan utamanya adalah komponen kesadaran peran emosi moral manusia.

Berbagai kajian telah menunjukkan proses moral bukan hanya berisi penalaran atau proses kognititif moral, namun juga emosi moral memberikan dampak besar pada penalaran dan perilaku moral manusia.

Berbahaya justru ketika manusia hanya menggunakan penalaran tanpa disertai kesadaran emosi moralnya, karena dapat melahirkan rasionalisasi moral tanpa didasari kehati-hatian dan obyektivitas. Akibatnya, orang merasa "benar" dapat membuatnya melakukan kekerasan dan kekejian pada orang lain atas nama rasionalisasi moralnya.

Jika kita ingin mendorong orang melakukan penalaran moral untuk bertindak secara moral, maka kita juga perlu meningkatkan kesadaran emosi moralnya. Pengembangan emosi moral empati bisa menjadi salah satu cara memperkuat perilaku moral yang pro-sosial. 

Keterkaitan antara emosi moral, penalaran moral dan perilaku moral harus didasari oleh kemampuan refleksi diri. Pengembangannya juga dilakukan secara terus menerus sejak masa kecil hingga dewasa, pada berbagai konteks hidup baik dari pribadi, keluarga hingga masyarakat.

"Stop menyebarkan kebencian berbalut moralitas semu di dunia pendidikan di Indonesia".


Referensi:

  1. Baron-Cohen, S. (2011). The science of evil. Basic books: New York.
  2. Damasio, A. Descartes' error. Putnam, New York, 1994.
  3. David, B.O., & Olatunji, B.O. (2011). The effect of disgust conditioning and disgust sensitivity on appraisals of moral transgressions. Personality and Individual Differences. 50, 1142-1146.
  4. Eisenberg, N., & Morris, A. S. (2001). The origins and social significance of empathy-related responding. A review of empathy and moral development: implications for caring and justice by ML Hoffman. Social Justice Research, 14, 95-120.
  5. Haidt, J. (2008). The Moral Roots of Liberals and Conservatives TED Talk.
  6. Haidt, J., & Joseph, C. (2004). Intuitive ethics: How innately prepared intuitions generate culturally variable virtues. Daedalus, 133, 55-66.
  7. Olatunji, B.O., David, B., & Ciesielski, B.G. (2012). Who am I to judge? Self-disgust predicts less punishment of severe transgressions. Emotion, 12, 169-73.
  8. Sandel, M.J. (2010). Justice What's the Right Thing. Farrar, Straus and Giroux: New York.
  9. Saxe, R., & Kanwisher, N. (2003). People thinking about thinking people: The role of the temporo-parietal junction in "theory of mind." Neuroimage, 19, 1835-1842.
  10. Stanger, N., Kavussanu, M., McIntyre, D., & Ring, C. (2016). Empathy inhibits aggression in competition: The role of provocation, emotion, and gender. Journal of sport and exercise psychology, 38, 4-14.
  11. Tangney, J.P., Stuewig, J., & Mashek, D.J. (2007). Moral emotions and moral behavior. Annual Review of Psychology, 58, 345-37.
  12. Tracy, J.L., & Robins, R.W. (2007). The self in conscious emotion. In essica L. Tracy, Richard W. Robins, June Price Tangney (Eds.) in The self-conscious emotions : theory and research. The Guilford Press: New York.
  13. Vartanian, L.R. Trewartha, T., & Vanman, E.J. (2016). Disgust predicts prejudice and discrimination toward individuals with obesity. Journal of Applied Social Psychology, 46, 369-375.

Oleh: Margaretha
Pengajar Psikologi Forensik
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Tulisan serupa pernah dipublikasi di website www.psikologiforensik.com yang dikelola pribadi oleh penulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun