Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Menjadi Benar atau Salah Bisa Berujung pada Kejahatan? (Bagian I)

26 Oktober 2020   13:43 Diperbarui: 26 Oktober 2020   16:35 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
namastespace.wordpress.com

Akhir-akhir ini saya sering tercekat melihat fenomena dimana orang tega menyakiti orang lain dengan alasan nilai moral dan keyakinan yang dianutnya. "Dalam keyakinan saya, mereka harus dihukum karena telah salah melanggar aturan, kebenaran harus ditegakkan!" dengan lantang berteriak. 

Pihak yang "dihukum" juga berteriak "Apa salah kami? Mengapa kalian kalian jahat pada kami?" Di antara mereka, banyak orang memilih menjadi penonton bingung dan pasif, "Apakah yang benar yang harus saya lakukan? Manakah yang benar?". Masyarakat kita terpecah-pecah dalam mencari moralitas. 

Ini adalah tantangan besar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Hal ini membuat saya bertanya, dari mana asal moralitas sehingga kita tahu mana benar dan salah? Apakah ada hubungan antara moralitas dan kejahatan? 

Tulisan ini akan menguraikan beberapa pandangan saya terkait moralitas dan apa yang bisa dilakukan untuk mengelola kebaikan serta mencegah kejahatan. Menurut saya, tidak cukup hanya menalar moralitas, tapi juga sangat penting mengasah emosi moral, agar kita terhindar melakukan kejahatan atas nama moralitas.

Apakah moralitas?
Secara umum, moralitas diartikan sebagai prinsip yang memandu manusia dalam membedakan benar dan salah, atau perilaku baik dan jahat. Moralitas dari Bahasa Latin "moralitas" yang berarti karakter, sikap dan perilaku yang benar. 

Moralitas dibedakan dari imoral (immorality) yang berarti perilaku menentang moralitas secara aktif; dan juga berbeda dari amoral (amorality) yang berarti ketidaktahuan atau penolakan terhadap suatu nilai/standar moralitas. Baik imoral dan amoral bisa menjadi dasar munculnya kejahatan.

Dalam kajian psikologi, filsafat dan etika, banyak muncul perdebatan tentang arti moralitas, sehingga sulit menemukan konsensus definisi moralitas. Menurut Jonathan Haidt, moralitas adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penekanan keinginan diri dalam rangka memunculkan kerjasama.

Penalaran moral: Etika normatif berdasarkan konsekuensi dan batasan perilaku

Dalam melakukan perilaku moral, manusia biasanya menggunakan berpikir atau menalar tindakannya. Secara umum, ada dua cara penalaran moral dalam perspektif etika normatif: berpikir tentang konsekuensi dan berpikir tentang batasan perilaku.

Penalaran etika normatif pertama adalah kita berbuat baik karena akan menghasilkan kebaikan dan manfaat pada orang yang lebih luas (pendekatan konsekuensi atau utilitarian). Salah satu tokohnya Jeremy Bentham. Maka sebelum membuat perilaku moral, manusia harus mempertimbangkan apa dampak tindakan pada orang lain secara meluas, bukan hanya pada diri sendiri (the happiness for the greatest number). 

Proses pertimbangan ini lebih dipandu oleh intuisi atau apa yang "dirasa" benar atau baik oleh seseorang bukan berdasarkan kontrol penalaran. Misalkan: ketika akan membeli jam tangan mewah, orang perlu bertanya moralitas tindakannya. Apakah uang yang digunakan untuk membeli jam lebih memberikan kebaikan pada orang banyak? Ataukah harusnya ia memberikan uang tersebut untuk donasi ke orang miskin. Seorang moralis konsekuensi akan memilih memberikan uangnya untuk donasi karena akan memberikan kebaikan pada orang yang lebih banyak. 

Pemikiran moralis konsekuensi ini bisa jadi unggul untuk memberikan dampak positif pada masyarakat luas, namun juga bisa muncul permasalahan ketika prinsip moral hilang karena selalu mempertimbangkan dampak pada orang kebanyakan. 

Misalkan: pemerkosaan adalah salah, baik bagi korban karena dirugikan dan juga pelaku karena telah melanggar peraturan. Namun, prinsip moral bisa bengkok jika kebanyakan masyarakat berpikir bahwa pemerkosaan bukanlah masalah. Cara pandang yang menyalahkan korban yang dimiliki sebagian besar masyarakat akan berbenturan dengan kebenaran sebenarnya, dimana korban pemerkosaan justru dianggap berperilaku mengundang pemerkosaan (dianggap salah karena pakai baju yang tidak menutup semua tubuh dan keluar malam tanpa pendampingan laki-laki) dan aksi pemerkosaan yang dilakukan oleh pelaku hanyalah perilaku seks khas laki-laki untuk mendapatkan kepuasan.

Pendekatan etika normatif kedua adalah deontologi, yang menyatakan semua tindakan memiliki batasan moral. Deontologi berseberangan dengan konsekuensialis, perilaku moral diletakkan dalam keharusan melakukan kewajiban untuk menegakkan kebenaran demi kewajiban itu sendiri; bukan demi untung-rugi, diterima atau ditolak oleh masyarakat, dan juga bukan untuk mendapatkan kesenangan atau kesusahan.

Tindakan moral dibatasi oleh serangkaian peraturan yang lahir dari proses berpikir rasional dan intelek manusia, yaitu: rasionalitas (akal sehat digunakan untuk membuat argumen moral), dan mempromosikan nilai-nilai kebenaran universal (misalkan: kemanusiaan, hormat pada manusia). 

Salah satu tokoh moralis deontology adalah Imanuel Kant. Dalam pendekatan ini, perilaku moral perlu lahir dari proses berpikir mengenai apa motif serta dampak universal suatu perilaku. Misalkan: apakah saya perlu berbohong? 

Jika moralis konsekuensi akan mempertimbangkan dampak berbohong (akan berbohong jika akan menyelamatkan orang lain atau membuat keadaan tidak menjadi lebih buruk), sedangkan moralis deontologi akan berpikir secara intelek apakah berbohong memiliki keterbatasan moral. Deontologis akan bertanya bagaimana jika semua orang di dunia berbohong? maka akan terjadi kekacauan dan masalah. Oleh karena itu semua orang seharusnya jangan berbohong walaupun akibat bercerita yang sebenarnya bisa menyakitkan atau merugikan. 

Moralis deontologi akan berargumen bahwa pertimbangan moralitas seharusnya bukan diletakkan pada konsekuensi tindakan, tapi pada motif tindakan itu sendiri. Perilaku moral harus berdasarkan rasional yang benar. 

Namun, deontologi bisa memiliki kelemahan, kadang peraturan yang dipilih untuk membatasi perilaku manusia tidak melulu hasil kreasi rasionalitas, tapi bisa juga produk emosi subyektif seseorang yang telah dirasionalisasi. Dalam hal ini bisa terjadi adu argumen dan rasionalisasi.

Kedua pendekatan moral normatif dalam kapasitas kognitif ini cukup sering kita gunakan. Keduanya masuk akal. 

Namun perlu disadari proses penalaran moral apa yang tengah kita lakukan. Ada kemungkinan perbedaan cara penalaran moral antara satu orang dengan yang lainnya, sehingga menghasilkan perbedaan konsepsi benar dan salah, dan pada akhirnya berbeda perilaku moral. Hal ini wajar dan alamiah. 

Berikutnya, yang menjadi tantangan adalah bagaimana masing-masing orang berusaha memahami bagaimana orang lain bisa melakukan proses penalaran yang berbeda sehingga muncul pemahaman posisi masing-masing. Lalu, berangkat dari pemahaman tersebut berdiskusi untuk mencapai suatu "keselarasan" yang tepat pada konteksnya. 

Tentu saja, diskusi harus disertai dengan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan dan upaya obyektifitas. Karena menjadi benar saja tidak cukup, atau hanya menyalahkan orang lain adalah tidak layak, tanpa sungguh memahami apa dasar penalaran moral kita dan mempertimbangkan penalaran moral orang lain yang berbeda.

Tapi bahkan memahami kedua ini tidaklah cukup untuk membentuk moralitas. Kita juga perlu memahami, bahwa sebenarnya perilaku "moral" kita sangat dipengaruhi emosi. Emosi moral.

Bersambung ke tulisan Bagian II.

Referensi:

  1. Baron-Cohen, S. (2011). The science of evil. Basic books: New York.
  2. Damasio, A. Descartes' error. Putnam, New York, 1994.
  3. David, B.O., & Olatunji, B.O. (2011). The effect of disgust conditioning and disgust sensitivity on appraisals of moral transgressions. Personality and Individual Differences. 50, 1142-1146.
  4. Eisenberg, N., & Morris, A. S. (2001). The origins and social significance of empathy-related responding. A review of empathy and moral development: implications for caring and justice by ML Hoffman. Social Justice Research, 14, 95-120.
  5. Haidt, J. (2008). The Moral Roots of Liberals and Conservatives TED Talk.
  6. Haidt, J., & Joseph, C. (2004). Intuitive ethics: How innately prepared intuitions generate culturally variable virtues. Daedalus, 133, 55-66.
  7. Olatunji, B.O., David, B., & Ciesielski, B.G. (2012). Who am I to judge? Self-disgust predicts less punishment of severe transgressions. Emotion, 12, 169-73.
  8. Sandel, M.J. (2010). Justice What's the Right Thing. Farrar, Straus and Giroux: New York.
  9. Saxe, R., & Kanwisher, N. (2003). People thinking about thinking people: The role of the temporo-parietal junction in "theory of mind." Neuroimage, 19, 1835-1842.
  10. Stanger, N., Kavussanu, M., McIntyre, D., & Ring, C. (2016). Empathy inhibits aggression in competition: The role of provocation, emotion, and gender. Journal of sport and exercise psychology, 38, 4-14.
  11. Tangney, J.P., Stuewig, J., & Mashek, D.J. (2007). Moral emotions and moral behavior. Annual Review of Psychology, 58, 345-372.
  12. Tracy, J.L., & Robins, R.W. (2007). The self in conscious emotion. In essica L. Tracy, Richard W. Robins, June Price Tangney (Eds.) in The self-conscious emotions : theory and research. The Guilford Press: New York.
  13. Vartanian, L.R. Trewartha, T., & Vanman, E.J. (2016). Disgust predicts prejudice and discrimination toward individuals with obesity. Journal of Applied Social Psychology, 46, 369-375.

Oleh: Margaretha
Pengajar Psikologi Forensik
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Tulisan serupa pernah dipublikasi di website www.psikologiforensik.com yang dikelola pribadi oleh penulis.

dokpri
dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun